UMKM Penopang Ekonomi, Ini Tantangan dan Solusinya

Selasa, 15 Juli 2025 | 11:24:05 WIB
UMKM Penopang Ekonomi, Ini Tantangan dan Solusinya

JAKARTA - Untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8 persen pada 2029, Indonesia tak hanya membutuhkan strategi makro yang solid, tetapi juga penopang kuat dari sektor riil. Di antara berbagai penggerak ekonomi, sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dipandang sebagai tulang punggung yang paling menjanjikan. Namun, potensi besar ini tidak lepas dari tantangan mendasar yang menghambat langkah mereka untuk naik kelas.

Menurut data Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, terdapat lebih dari 66 juta unit UMKM yang aktif di Tanah Air pada 2023. Kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 61 persen atau setara Rp9.580 triliun, dan sektor ini menyerap sekitar 117 juta tenaga kerja mencakup 97 persen dari total tenaga kerja Indonesia.

Namun demikian, kendati jumlah dan kontribusinya besar, daya saing UMKM masih menjadi tantangan utama. Hal ini tercermin dari rendahnya tingkat ekspor UMKM yang hanya berada di kisaran 15,7 persen pada 2024. Salah satu akar permasalahan tersebut terletak pada minimnya literasi digital dan terbatasnya akses terhadap pelatihan dan fasilitas penunjang transformasi usaha ke ranah digital.

Program-program seperti UMKM Go Digital yang digagas pemerintah memang telah menjadi upaya konkret untuk mendukung transformasi tersebut. Berbagai pelatihan digelar oleh kementerian, dinas daerah, maupun sektor swasta untuk mempercepat adaptasi pelaku usaha terhadap teknologi digital. Namun, implementasinya kerap menemui kendala, mulai dari keterbatasan materi hingga tidak berkelanjutan.

Umbar Basuki, pemilik Batik Tulis Seodjono asal Lamongan, Jawa Timur, menceritakan tantangan yang ia hadapi saat memulai usaha di masa pandemi 2020. Ia mengaku kesulitan mengenali pasar, membangun pengikut di media sosial, dan memanfaatkan pelatihan yang ada karena tidak sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan usahanya.

“Rata-rata pelatihannya hanya satu hari dan materinya kurang mendalam. Setelah itu, tidak ada mentoring atau pendampingan lebih lanjut,” ujarnya.

Kondisi serupa dirasakan Firman Setyaji, pelaku UMKM Bengok Craft. Ia mengaku sering mencari pelatihan secara mandiri dan menyayangkan bahwa sebagian besar program yang tersedia bersifat jangka pendek.

“Kami yang harus aktif mencari sendiri. Kalau sudah pernah ikut pelatihan, baru lebih mudah mendapat informasi lanjutan,” kata Firman.

Kedua pelaku usaha tersebut berharap ke depannya ada perbaikan dalam sistem pelatihan, seperti pendampingan berkelanjutan dan penyesuaian materi dengan tahapan usaha masing-masing. Optimalisasi platform digital yang menjembatani pelaku UMKM dengan praktisi digital marketing juga menjadi harapan besar.

Menjawab kompleksitas itu, pemerintah tengah mengembangkan platform terpadu bernama SAPA UMKM. Sistem ini diharapkan mampu mengintegrasikan berbagai data dan program pengembangan UMKM dari 27 kementerian dan lembaga yang saat ini berjalan sendiri-sendiri. SAPA UMKM dirancang menjadi pusat layanan terintegrasi, termasuk untuk pelatihan, bantuan, dan pendampingan.

Platform lain yang turut dikembangkan adalah EntrepreneurHub atau E-Hub, yang juga menjadi jembatan interaksi antara pelaku UMKM dengan ekosistem wirausaha, penyedia pelatihan, layanan bisnis, dan sumber pembiayaan. E-Hub menyediakan informasi program-program bantuan dan ruang kolaborasi antarpelaku usaha.

Apresiasi terhadap pengembangan SAPA UMKM juga datang dari lembaga riset DFS Lab dan Somia CX, yang menilai langkah pemerintah sejalan dengan temuan riset mereka di lapangan. Jake Kendall, Founder and Director DFS Lab, mengatakan bahwa tantangan pemberdayaan UMKM seperti yang terjadi di Indonesia juga dialami negara berkembang lain. Ia mencontohkan India yang telah membangun sistem Unified Lending Interface (ULI) untuk menghubungkan data usaha mikro dengan akses pembiayaan berbasis profil usaha.

“Indonesia punya peluang besar untuk belajar dari praktik-praktik ini agar bisa membangun ekosistem pemberdayaan UMKM yang benar-benar sistemik,” ujar Jake.

Sementara itu, Nathaniel Orlandy dari Somia CX menekankan bahwa tantangan yang dihadapi UMKM tidak hanya berkutat pada adopsi teknologi, tetapi juga mencakup manajemen usaha dasar seperti penentuan harga jual, pengelolaan stok, hingga pencatatan keuangan.

“Banyak pelaku usaha mikro baru belum memiliki fondasi pengelolaan bisnis yang kuat. Ketika mereka langsung masuk ke dunia digital tanpa bekal yang cukup, risikonya justru bertambah,” kata Nathaniel.

Ia juga menyoroti adanya kesan keliru bahwa penggunaan media sosial sudah cukup untuk disebut digitalisasi. Padahal, pelaku UMKM sering kali belum memanfaatkan teknologi secara menyeluruh dalam aspek manajemen usaha.

Rayi Harjani dari Somia CX menambahkan bahwa sebagian pelatihan hanya menjangkau kelompok peserta tertentu berulang kali, sementara sebagian besar pelaku usaha lain belum pernah mendapat akses yang sama. Penyebabnya antara lain karena kurangnya integrasi data peserta dan keterbatasan visibilitas lembaga penyelenggara pelatihan terhadap kebutuhan peserta.

“Banyak program yang disusun masih bersifat terlalu umum dan tidak menjawab kebutuhan riil,” ujar Rayi.

Karena itu, pendekatan bertahap dan berbasis data menjadi hal mendesak. Program pelatihan idealnya dirancang berdasarkan tahapan kesiapan masing-masing UMKM, mulai dari penguatan manajemen dasar, digitalisasi operasional, hingga ekspansi pasar.

Salah satu komponen krusial dalam pemberdayaan UMKM adalah peningkatan literasi dan inklusi keuangan. Literasi ini mencakup pemahaman pencatatan arus kas dan transaksi, sedangkan inklusi terkait dengan penggunaan layanan keuangan formal, seperti pembayaran digital.

Adopsi sistem pembayaran digital, selain membantu pencatatan transaksi, juga menjadi penghubung pelaku usaha dengan pasar yang lebih luas, termasuk e-commerce. Namun, manfaat tersebut baru bisa optimal jika pelaku UMKM mampu menganalisis dan memanfaatkan data transaksi untuk pengembangan usaha.

Di sinilah peran SAPA UMKM menjadi krusial. Platform ini diproyeksikan sebagai fondasi koordinasi lintas pemangku kepentingan pemerintah, sektor swasta, penyedia layanan keuangan, komunitas usaha, hingga lembaga pelatihan untuk membangun ekosistem UMKM yang tangguh dan berkelanjutan.

Jika pengembangan data, pelatihan, dan kolaborasi bisa berjalan dalam satu ekosistem yang terkoneksi, target pertumbuhan ekonomi 8 persen bukan lagi angan-angan. UMKM bisa menjadi motor utama yang mendorong ekonomi nasional naik kelas dan lebih siap bersaing di tingkat global.

Terkini