JAKARTA - Di tengah arus modernisasi dan gempuran teknologi olahraga, warga Kabupaten Pati justru semakin menggemari kegiatan panahan tradisional yang sarat nilai budaya: jemparingan. Di berbagai sudut kota, mulai dari lapangan terbuka hingga halaman rumah, kegiatan memanah ala keraton Jawa ini kian ramai diminati. Bukan hanya karena unsur kebugaran fisiknya, melainkan juga karena nilai-nilai budaya dan keunikan metode pelatihannya.
Olahraga jemparingan dikenal sebagai warisan budaya dari masa kerajaan yang kini bertransformasi menjadi bagian gaya hidup masyarakat modern. Tanpa alat bantu teknologi canggih, jemparingan mengandalkan busur dan anak panah yang dibuat secara manual oleh pengrajin lokal. Material seperti bambu dan kayu tetap menjadi pilihan utama dalam setiap peralatan jemparingan, menjadikan olahraga ini tetap otentik dan penuh makna historis.
Ketua Persatuan Panahan Indonesia (Perpatri) Kabupaten Pati, Mulyono, melihat bahwa keberlanjutan olahraga jemparingan tidak hanya mempertahankan kekayaan budaya, tetapi juga menjadi media pembentukan karakter masyarakat. Ia menyampaikan bahwa meskipun tak didukung oleh peralatan modern seperti panahan pada umumnya, jemparingan tetap memiliki efektivitas yang tinggi.
“Jemparingan tidak hanya sekadar olahraga, tapi juga cara melestarikan budaya keraton yang sudah ratusan tahun. Dulu ini latihan prajurit keraton, sekarang jadi olahraga tradisional yang bisa dinikmati masyarakat luas,” ujarnya.
Mulyono menjelaskan bahwa filosofi dari olahraga ini terletak pada keseimbangan antara kekuatan fisik dan ketajaman mental. Jemparingan bukan soal kecepatan atau kekuatan semata, melainkan soal kesabaran, ketenangan, serta konsentrasi tinggi. Ini menjadikannya sebagai salah satu olahraga yang cocok untuk semua kalangan usia, dari anak-anak hingga lansia.
Secara visual dan atmosferik, sesi jemparingan memang tampak jauh dari hiruk-pikuk olahraga kompetitif modern. Peserta duduk bersila dalam posisi yang telah diatur, menembakkan anak panah ke sasaran dengan busur tradisional, tanpa perlengkapan serba canggih. Inilah nilai lebih jemparingan: sederhana, namun penuh tantangan.
Salah satu anggota aktif Perpatri Pati, Anisa, mengaku menemukan banyak nilai dalam olahraga ini, termasuk dari sisi fleksibilitasnya. Ia mulai mengenal dan aktif dalam jemparingan sejak masih duduk di bangku kuliah. Kini, ia menjadikan kegiatan memanah sebagai bagian dari rutinitas akhir pekannya.
“Cukup halaman rumah dan sasaran sederhana, kita sudah bisa latihan rutin jemparingan setiap akhir pekan. Daripada ke gym, saya pilih jemparingan karena bisa olahraga, berkumpul, sekaligus melestarikan budaya lokal,” tutur Anisa.
Alasan yang disampaikan Anisa seolah menggambarkan tren baru di kalangan generasi muda, yang kini mencari kegiatan yang bukan hanya memberi manfaat fisik, tapi juga emosional dan sosial. Jemparingan, dalam konteks ini, menawarkan kombinasi dari semua itu.
Lebih dari sekadar olahraga individu, jemparingan juga telah menjadi ajang rekreasi keluarga dan komunitas. Tak jarang, kegiatan panahan tradisional ini menjadi bagian dari acara car free day yang digelar rutin oleh pemerintah daerah. Warga dari berbagai kalangan usia turut serta, tak hanya untuk berolahraga, tetapi juga untuk belajar sejarah dan merasakan atmosfer kebersamaan yang kental.
“Panahan tradisional ini membentuk karakter. Di situ ada disiplin, ada ketekunan, dan tentu saja nilai kebersamaan. Karena ketika kita menekuni jemparingan, kita belajar mengatur emosi dan fokus,” jelas Mulyono.
Ia juga menegaskan bahwa jemparingan merupakan salah satu sarana pendidikan karakter yang efektif. Bukan semata mengejar hasil, tetapi menekankan pada proses sebuah nilai yang sejalan dengan filosofi kehidupan masyarakat Jawa yang menjunjung tinggi keseimbangan dan ketekunan.
Sebagai bagian dari strategi pelestarian budaya, pihak Perpatri Pati secara aktif menggelar kompetisi dan pelatihan jemparingan di berbagai kesempatan. Kegiatan ini juga ditujukan untuk menjaring minat generasi muda agar tertarik mengenal lebih dalam budaya leluhur mereka sendiri.
Menariknya, para pengrajin alat jemparingan di Pati juga merasakan dampak positif dari kembalinya minat masyarakat terhadap olahraga ini. Permintaan busur dan anak panah tradisional meningkat, sehingga ikut mendongkrak ekonomi lokal. Alat-alat tersebut dibuat dengan keterampilan tangan yang diwariskan secara turun-temurun, menjadikan setiap busur dan anak panah tak hanya alat olahraga, tapi juga karya seni.
Di tengah upaya pemerintah untuk memajukan industri olahraga, kehadiran jemparingan menjadi pengingat bahwa tidak semua inovasi harus meninggalkan akar tradisi. Justru, pelestarian budaya bisa menjadi fondasi kuat untuk membangun identitas olahraga yang berkarakter.
Masyarakat Pati telah membuktikan bahwa olahraga tradisional seperti jemparingan tidak hanya layak dipertahankan, tetapi juga bisa menjadi tren baru di tengah dunia yang semakin digital. Dengan memadukan nilai budaya, gaya hidup sehat, dan semangat komunitas, jemparingan menjelma sebagai simbol dari keseimbangan masa lalu dan masa kini.