JAKARTA - Di tengah upaya pemerintah meningkatkan akses masyarakat terhadap hunian layak melalui program rumah bersubsidi, keluhan sejumlah warga di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, mencuat sebagai peringatan bahwa kualitas dan transparansi informasi tetap menjadi isu krusial dalam sektor properti. Salah satu kasus yang mencuri perhatian datang dari kawasan Serang Baru, tempat di mana warga perumahan subsidi merasa telah dirugikan akibat janji pemasaran yang tidak sesuai kenyataan.
Adam Maulana (29), salah satu penghuni perumahan tersebut, mengungkapkan kekecewaannya setelah rumah yang ia beli justru sering mengalami kebanjiran saat hujan deras. Padahal, saat penawaran, pihak marketing menjanjikan bahwa kawasan ini bebas banjir.
“Saya tertarik beli karena dijanjikan bebas banjir. Tapi kenyataannya, saat hujan lebat, air masuk sampai ke dalam rumah. Ini sangat mengecewakan,” ungkap Adam kepada wartawan.
Kekecewaan Kolektif dan Dampak Nyata
Pengalaman Adam tidaklah berdiri sendiri. Sejumlah penghuni lain pun mengalami hal serupa. Mereka merasa dikelabui oleh informasi yang tidak jujur saat proses penjualan rumah berlangsung. Iming-iming lingkungan aman, bebas banjir, dan fasilitas lengkap ternyata tidak sejalan dengan kondisi lapangan.
Sebagian warga bahkan mengaku telah melakukan perbaikan saluran air secara mandiri karena pihak pengembang tidak merespons keluhan mereka secara serius. Hal ini menimbulkan beban tambahan bagi warga, yang seharusnya tidak perlu terjadi jika infrastruktur perumahan dibangun sesuai standar dan janji awal.
“Sudah sering kami laporkan, tapi belum ada tindak lanjut dari pengembang. Terpaksa warga gotong royong bersihin saluran air agar nggak banjir,” ujar warga lainnya yang enggan disebutkan namanya.
Isu Klasik dalam Program Rumah Subsidi
Kasus di Bekasi ini bukan kali pertama terjadi dalam program rumah subsidi. Sejak lama, sejumlah laporan dari berbagai daerah mengungkap bahwa masih banyak pengembang yang tidak sepenuhnya memenuhi komitmen terhadap konsumen. Masalah seperti kualitas bangunan yang buruk, lokasi yang tidak strategis, dan lingkungan yang tidak sesuai dengan brosur pemasaran kerap mencuat setelah konsumen mulai menempati rumah.
Hal tersebut mengindikasikan adanya kesenjangan antara regulasi yang sudah ditetapkan pemerintah dan pelaksanaannya di lapangan. Dalam konteks ini, pengawasan dari pihak terkait, termasuk Kementerian PUPR, Dinas Perumahan, dan lembaga perlindungan konsumen, perlu diperkuat agar konsumen tidak menjadi korban janji-janji kosong.
Tanggung Jawab Pengembang: Antara Etika dan Regulasi
Dalam hukum perlindungan konsumen, penjual atau pihak yang memasarkan produk—termasuk rumah—wajib memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur tentang kondisi produk yang ditawarkan. Dalam hal ini, apabila marketing menyampaikan perumahan sebagai "bebas banjir" tetapi ternyata secara nyata sering tergenang air, maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai pembohongan publik atau misrepresentasi.
Selain itu, pengembang sebagai pihak bertanggung jawab atas pembangunan kawasan perumahan juga memiliki kewajiban moral dan hukum untuk menjamin bahwa lingkungan tempat tinggal yang mereka bangun aman dan layak huni.
Sayangnya, dalam banyak kasus, penegakan regulasi terhadap pengembang yang mengabaikan kualitas ini masih terbilang lemah. Warga seperti Adam Maulana akhirnya harus menanggung dampaknya sendiri, baik secara finansial maupun psikologis.
Peran Pemerintah Daerah dan Lembaga Pengawas
Dalam kasus ini, pemerintah daerah Kabupaten Bekasi diharapkan turun tangan untuk meninjau ulang izin pembangunan serta menindaklanjuti laporan warga. Selain itu, keberadaan Balai Pelaksana Penyediaan Perumahan (BP2P) yang menjadi perpanjangan tangan Kementerian PUPR di daerah juga perlu lebih proaktif melakukan monitoring atas proyek-proyek rumah subsidi.
Sementara itu, warga juga didorong untuk melaporkan secara resmi kejadian semacam ini ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan ke Komisi Perlindungan Konsumen Indonesia (KPKN) agar ada jalur hukum yang bisa ditempuh.
“Konsumen rumah subsidi tetap memiliki hak penuh atas perlindungan hukum. Jangan ragu melaporkan jika ada unsur penipuan,” tegas salah satu aktivis konsumen dari YLKI saat dimintai tanggapan.
Solusi dan Jalan ke Depan
Untuk menghindari terulangnya kasus serupa, beberapa langkah perlu diambil:
Transparansi Pemasaran
Marketing dan pengembang wajib mencantumkan fakta-fakta tentang lingkungan dan risiko banjir secara terbuka kepada calon pembeli.
Audit Infrastruktur
Pemerintah perlu mendorong audit teknis terhadap proyek rumah subsidi sebelum izin hunian diberikan.
Kewajiban Tanggap Darurat
Pengembang harus memiliki unit tanggap darurat untuk menangani keluhan warga, terutama yang berkaitan dengan keselamatan dan kenyamanan tinggal.
Pendidikan Konsumen
Calon pembeli perlu lebih kritis dalam memverifikasi klaim yang disampaikan dalam brosur atau saat presentasi marketing.
Evaluasi Izin Pengembang
Pengembang yang terbukti melanggar etika dan regulasi bisa dikenakan sanksi, termasuk pencabutan izin dan blacklisting dalam program rumah subsidi nasional.
Apa yang dialami Adam Maulana dan warga lain di Serang Baru seharusnya menjadi refleksi bagi semua pihak bahwa pembangunan rumah subsidi bukan sekadar program pencapaian angka, melainkan tentang membangun kepercayaan dan martabat warga negara. Rumah adalah hak dasar manusia, dan sudah semestinya dilindungi dari praktik-praktik bisnis yang merugikan.
Kasus banjir di perumahan bersubsidi ini menjadi pengingat bahwa keadilan dalam sektor perumahan harus terus diperjuangkan, terutama bagi mereka yang paling rentan. Pengawasan ketat, transparansi, dan penegakan hukum adalah kunci untuk memastikan setiap warga mendapatkan rumah yang benar-benar layak, aman, dan bebas dari janji manis yang menipu.