Rujak di Sabang: Kuliner Tradisional yang Menyatukan Cerita dan Rasa di Titik Terjauh Indonesia

Minggu, 06 Juli 2025 | 13:31:03 WIB
Rujak di Sabang: Kuliner Tradisional yang Menyatukan Cerita dan Rasa di Titik Terjauh Indonesia

JAKARTA - Sabang, sebuah kota kecil di ujung barat Indonesia, tidak hanya terkenal karena posisi geografisnya yang strategis sebagai Tugu Nol Kilometer, tetapi juga karena kekayaan kuliner yang menyimpan kisah dan tradisi. Di sela-sela keindahan panorama laut yang menghampar luas dan angin pantai yang menyegarkan, tercium aroma khas yang mampu menarik perhatian siapa pun yang melintas. Aroma itu berasal dari rujak buah tradisional yang disajikan oleh para penjual di kawasan Tugu Nol Kilometer. Meski sederhana, rujak ini bagaikan jembatan rasa yang menghubungkan masyarakat lokal dan wisatawan dari berbagai latar belakang budaya dan negara.

Di balik lapak kecil yang sederhana, Hasbi dengan cekatan mengaduk bumbu rujak di dalam cobek besar. Tangan yang piawai dan ramahnya menyambut setiap pengunjung yang datang dengan senyum hangat. Ia menjelaskan, “Kami siapkan rujak buah yang resepnya tidak pernah kami ubah.” Kalimat ini mencerminkan kesetiaan pada resep leluhur yang sudah diwariskan secara turun temurun, menjaga rasa asli rujak Sabang yang khas dan autentik.

Tidak jauh dari tempat Hasbi berjualan, Eti juga menggelar lapaknya dengan semangat yang sama. Ia adalah generasi penerus yang melanjutkan tradisi keluarganya dalam membuat dan menjajakan rujak di titik paling barat Indonesia ini. “Saya penerusnya,” kata Eti sederhana, menggambarkan betapa tradisi kuliner ini bukan sekadar pekerjaan, tetapi juga bagian dari identitas dan warisan budaya yang terus dilestarikan.

Campuran buah dalam rujak Sabang ini bukan sembarang campuran. Mangga muda yang kecut, jambu renyah, timun segar, pepaya, nanas, dan bengkoang menjadi perpaduan yang menyegarkan. Namun, yang paling unik adalah buah rumbia yang menjadi bahan rahasia dan pembeda dari rujak ini. Buah rumbia memberi sensasi rasa sepat yang tidak ditemukan pada rujak di daerah lain. Proses pembuatan bumbu rujak juga sangat khas, di mana kacang tanah dan cabai diulek bersama buah rumbia sampai halus sebelum kemudian disiramkan ke dalam campuran buah segar. “Lalu kita sajikan kepada pengunjung, kita kasih sendok dan lidi,” jelas Eti, menambahkan keunikan tradisi penyajian yang sudah menjadi ciri khas tersendiri.

Harga yang ditawarkan sangat terjangkau, sekitar Rp 10 ribu per porsi, sudah termasuk segelas air putih yang menemani rasa segar rujak. Untuk melengkapi kenikmatan, pengunjung biasanya memilih air kelapa muda khas Sabang yang sudah menjadi ikon minuman menyegarkan di wilayah ini. Minuman ini tidak kalah legendaris dan selalu menjadi pelengkap sempurna untuk mencicipi rujak buah.

Pengalaman menikmati rujak di Tugu Nol Kilometer bukan hanya soal rasa. Bagi banyak wisatawan, seperti Tasya yang datang dari Medan, momen itu menjadi alasan kuat untuk selalu kembali ke Sabang. “Enak sekali. Rasanya pas di lidah siapa saja,” ujarnya sambil menikmati suapan rujak dan menyeruput kelapa muda. Hal ini membuktikan bahwa cita rasa rujak ini mampu melintasi batas daerah dan budaya, diterima dan disukai oleh berbagai kalangan.

Senja yang mulai merayap di cakrawala menambah keindahan suasana di sekitar Tugu Nol Kilometer. Warna oranye keemasan membalut langit di atas Samudera Hindia, menciptakan latar sempurna bagi pengunjung yang duduk bersila menikmati sajian rujak sambil menyaksikan pemandangan laut yang tenang. Di antara mereka, Muna merasakan lebih dari sekadar kuliner. “Saya takjub, warga Aceh sangat menghargai kami, meski kami berbeda agama,” katanya. Ini menunjukkan bahwa kuliner menjadi jembatan budaya yang tidak hanya menghadirkan rasa, tapi juga nilai-nilai toleransi dan kehangatan antar manusia.

Tugu Nol Kilometer bukan hanya sebuah simbol geografis sebagai titik paling barat Indonesia. Tempat ini juga menjadi saksi bisu bagaimana sebuah kuliner sederhana mampu menautkan rasa, cerita, dan pengalaman dari beragam orang yang datang dari seluruh penjuru dunia. Rujak buah yang dijajakan di sudut lapak Hasbi dan Eti itu lebih dari sekadar makanan. Ia adalah sebuah warisan hidup yang menjaga kenangan, tradisi, dan hubungan antarmanusia tetap terjalin erat.

Bagi masyarakat lokal, rujak ini merupakan bagian dari identitas dan kebanggaan. Bagi wisatawan, ia menjadi kenangan manis yang tidak mudah terlupakan. Sebuah sajian yang membawa lebih dari sekadar rasa; ia membawa sebuah cerita tentang keindahan sederhana yang dimiliki Aceh dan Sabang sebagai ujung barat Indonesia.

Dalam era modern dan globalisasi yang bergerak cepat, tradisi seperti pembuatan rujak ini seringkali terancam hilang. Namun di Tugu Nol Kilometer, tradisi itu tetap hidup, dilestarikan dengan penuh cinta oleh Hasbi, Eti, dan banyak penjual lain yang menjadikan rujak buah sebagai jembatan rasa dan budaya yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Kesederhanaannya justru menjadi kekuatan yang membuatnya bertahan dan tetap dicintai banyak orang.

Rujak di Sabang mengajarkan kita sebuah pelajaran penting: bahwa sebuah makanan sederhana, yang dibuat dengan cinta dan diwariskan secara turun-temurun, mampu membawa kita pada perjalanan rasa yang kaya makna, mempertemukan perbedaan, dan menciptakan kebersamaan di antara berbagai latar belakang. Momen menikmati rujak di Tugu Nol Kilometer bukan hanya soal mengisi perut, tapi juga mengisi hati dengan kehangatan dan rasa syukur atas kekayaan budaya dan alam Indonesia.

Terkini