JAKARTA - Upaya mengolah limbah menjadi produk bernilai tambah terus berkembang di berbagai daerah. Salah satu contoh nyata terlihat di Kalurahan Sukoreno, Kapanewon Sentolo, Kabupaten Kulonprogo. Di desa ini, sisa kain perca batik yang dulunya hanya dianggap sampah kini menjelma menjadi produk fashion unggulan. Menariknya, hasil kreativitas tersebut bahkan telah berhasil menembus pasar internasional, dengan ekspor rutin ke Jerman.
Dwi Wahyuni, Ketua Desa Wisata Sukoreno, mengungkapkan bahwa ide memanfaatkan kain perca muncul dari keprihatinan melihat tumpukan sisa potongan kain yang sering kali tidak terpakai. Dari situ, ia bersama beberapa warga mulai bereksperimen untuk menciptakan produk baru. “Produk daur ulang kain perca batik ini sudah diekspor ke Jerman, kita sudah ada MoU setiap tiga bulan kami kirim produknya ke sana,” ujarnya saat ditemui di sela-sela pameran UMKM Kalimenur Gumregah Fest 2025 baru-baru ini.
Menurut Dwi, produksi fashion berbahan kain perca batik sudah dimulai sejak 2024. Awalnya, produk yang dibuat hanya sebatas daster sederhana. Namun seiring waktu, variasi produk semakin berkembang hingga meliputi blouse, rompi, outer, celana pendek maupun panjang, topi, sprei, selimut, bedcover, hingga sarung bantal. “Kebetulan kita penjahit otodidak, melihat banyak sisa-sisa potongan kain yang menumpuk dan kalau kain itu kan pengap ya. Maka kita buat untuk menjadi sebuah produk baru. Awalnya daster, terus berkembang ada rompi, outer, celana pendek dan panjang, topi, sprei serta sarung bantal/selimut,” terang Dwi.
- Baca Juga Pho: Kuliner Ikonik Vietnam
Kebutuhan bahan baku yang terus meningkat membuat kelompok perajin ini harus mencari pasokan tambahan dari luar daerah. Batik Pekalongan menjadi salah satu sumber utama kain perca yang kini dibeli untuk memenuhi permintaan produksi. “Kain-kain perca awalnya disuruh ambil saja, tapi karena sekarang sudah ada nilainya, sekarang bayar,” imbuhnya.
Saat ini, di wilayah Sukoreno terdapat lebih dari sembilan orang yang aktif memproduksi fashion berbahan kain perca batik. Harga produknya pun bervariasi, tergantung pada model dan tingkat kerumitan. Untuk celana panjang misalnya, dibanderol mulai Rp30 ribu. Namun jika ada tambahan detail seperti banyak saku, maka biaya produksinya otomatis bertambah. “Harga menyesuaikan dengan permintaan atau motifnya,” jelas Dwi.
Selain memproduksi fashion dari kain perca batik, Desa Wisata Sukoreno juga mengembangkan kerajinan ecoprint. Ada dua teknik yang digunakan, yakni sistem pounding dan sistem kukus. Menariknya, proses ecoprint dengan sistem kukus dapat dijadikan atraksi wisata edukasi, karena wisatawan yang datang bisa ikut serta mencoba langsung proses pembuatannya. Hal ini sejalan dengan misi Desa Wisata Sukoreno yang tidak hanya fokus pada produksi, tetapi juga menghadirkan pengalaman belajar bagi para pengunjung.
Menurut Dwi, pengembangan produk fashion daur ulang ini tidak hanya berorientasi pada pasar semata, tetapi juga menjadi bagian penting dari program wisata edukasi desa. Para wisatawan yang berkunjung dapat melihat langsung bagaimana kain perca disulap menjadi produk bernilai ekonomi tinggi. “Selain produksi untuk usaha, daur ulang kain perca menjadi bagian wisata edukasi Desa Wisata Sukoreno,” tuturnya.
Dukuh Kalimenur, Sukoreno, Eko Yuliyanto, turut memberikan apresiasi atas berkembangnya UMKM berbasis kain perca batik dan ecoprint di wilayahnya. Menurutnya, selain mendukung pelestarian lingkungan dengan mengurangi limbah tekstil, kegiatan ini juga memberikan dampak positif secara ekonomi. “Tentu selain ramah lingkungan, bisa untuk wisata edukasi juga, dari sisi ekonomi warga juga ada peningkatan, termasuk serapan tenaga kerja. Ini tentu sangat bagus,” katanya.
Kehadiran UMKM berbasis daur ulang ini memang membawa multiplier effect yang luas. Warga yang sebelumnya tidak memiliki pekerjaan tetap kini bisa memperoleh penghasilan tambahan. Sementara itu, desa juga mendapat manfaat berupa peningkatan daya tarik wisata dan citra sebagai destinasi yang peduli pada lingkungan.
Keberhasilan produk fashion kain perca Sukoreno menembus pasar ekspor, khususnya Jerman, menjadi bukti nyata bahwa kreativitas lokal mampu bersaing di kancah internasional. Pasar global saat ini memang semakin mengapresiasi produk yang berorientasi pada prinsip keberlanjutan, ramah lingkungan, dan memiliki sentuhan budaya lokal. Hal inilah yang membuat produk perca batik dari Sukoreno memiliki daya tarik tersendiri di mata konsumen luar negeri.
Meski demikian, Dwi menyadari tantangan ke depan tidak ringan. Konsistensi kualitas produk, ketersediaan bahan baku, serta kapasitas produksi menjadi pekerjaan rumah yang harus terus diperkuat. Namun dengan semangat kolaborasi antara perajin, dukungan desa wisata, dan permintaan pasar yang terus meningkat, optimisme itu tetap terjaga.
Transformasi kain perca menjadi produk fashion ekspor dari Sukoreno ini membuktikan bahwa limbah bukanlah akhir dari sebuah proses, melainkan awal dari peluang baru. Dengan kreativitas, kerja keras, dan dukungan komunitas, potongan kain yang semula tak bernilai kini menjelma menjadi karya fashion yang tidak hanya memperkuat ekonomi warga, tetapi juga mengangkat nama Kulonprogo di kancah internasional.