JAKARTA - Ketapel mungkin selama ini dikenal sebagai permainan masa kecil yang akrab dengan suasana pedesaan. Namun, kini citra itu mulai bergeser. Di Kalimantan Selatan, alat sederhana ini menjelma menjadi salah satu bentuk olahraga alternatif yang kian digemari lintas usia, bahkan mulai dipertandingkan secara serius.
Transformasi ketapel dari sekadar permainan menjadi olahraga kompetitif tidak datang begitu saja. Sejak beberapa tahun terakhir, semangat untuk menghidupkan kembali tradisi lama dengan pendekatan modern terus digelorakan berbagai komunitas pecinta ketapel. Salah satunya adalah Forum Silaturahmi Pecinta Ketapel Indonesia (FORSPEK) Kalimantan Selatan yang aktif membina dan memperluas jaringan peminat ketapel di wilayah Banua.
“Di kampung-kampung, ketapel itu sudah ada sejak puluhan tahun lalu. Biasanya dibuat dari dahan pohon jambu atau waru, pakai karet ban dan potongan kulit sebagai pelontarnya,” ujar Ketua FORSPEK Kalsel, Pandu Setiawan.
Memang, bagi sebagian besar masyarakat Kalimantan Selatan, ketapel bukanlah hal asing. Dahulu, alat ini digunakan oleh anak-anak sebagai permainan sehari-hari, atau oleh para warga untuk keperluan berburu burung dan tupai di kebun. Tapi dalam perjalanannya, ketapel berkembang lebih jauh, melampaui sekadar nostalgia masa kecil.
Pandu mengungkapkan bahwa FORSPEK hadir untuk membawa ketapel ke level yang lebih tinggi: sebagai olahraga keterampilan yang mengandalkan fokus, presisi, dan kedisiplinan. “Kami di FORSPEK mencoba membawa ketapel ke arah yang lebih positif dan kompetitif. Selain menjaga tradisi, tujuannya juga mengenalkan ketapel sebagai olahraga keterampilan dan konsentrasi,” katanya.
Di Kalimantan Selatan, geliat ketapel mulai tampak signifikan sejak tahun 2022. Komunitas-komunitas kecil bermunculan di sejumlah wilayah seperti Banjarmasin, Hulu Sungai, dan Banjarbaru. Mereka rutin mengadakan turnamen dan latihan bersama, bahkan membangun jejaring untuk menjangkau lebih banyak kalangan, termasuk anak-anak sekolah.
Salah satu momen penting dalam perjalanan komunitas ketapel Kalsel adalah partisipasi mereka dalam ajang Festival Olahraga Rekreasi Nasional (FORNAS) VIII tahun 2025 yang digelar di Nusa Tenggara Barat. Di ajang tersebut, Kalsel tak hanya mengirimkan tim, tetapi juga mempersembahkan pegiat termuda mereka, Athaya Safa Alfaeyza, yang baru berusia 11 tahun.
Bagi Pandu, partisipasi di ajang nasional ini menjadi bukti bahwa ketapel tidak lagi bisa dipandang sebelah mata. “Anak-anak muda sekarang mulai tertarik, apalagi dengan adanya kelas kompetisi. Ini jadi cara bagus menjaga tradisi lokal agar tidak punah, sekaligus menjadi ajang melatih fokus dan disiplin,” ujarnya.
Tumbuhnya minat dari generasi muda terhadap olahraga ketapel menjadi tanda bahwa alat sederhana ini masih relevan di tengah gempuran teknologi dan permainan digital. Melalui pendekatan komunitas dan kompetisi, FORSPEK berhasil membuka ruang baru untuk melestarikan warisan budaya sekaligus menciptakan sarana pembinaan karakter.
Antusiasme terhadap ketapel juga terlihat dalam sejumlah kegiatan lokal. Turnamen-turnamen yang digelar, seperti yang memeriahkan Hari Jadi Kota Banjarmasin, berhasil menarik perhatian masyarakat. Ketapel bukan hanya menjadi tontonan menarik, tetapi juga wadah pertemuan antargenerasi yang menyatukan nilai tradisi dan semangat sportivitas.
Pandu menjelaskan bahwa FORSPEK Kalsel selalu membuka diri bagi siapa saja yang ingin belajar atau sekadar mencoba. Komunitas ini tidak membatasi usia atau latar belakang. Misi mereka sederhana, namun mendalam: menjadikan ketapel sebagai warisan budaya yang tetap hidup dan berkembang.
“Kami ingin ketapel tidak hanya berhenti sebagai kenangan masa kecil, tapi bisa menjadi bagian dari gaya hidup aktif dan sehat masyarakat. Apalagi, ini bisa dimainkan oleh siapa saja, dari anak-anak sampai orang tua,” ungkap Pandu.
Ketapel sebagai olahraga memang masih terbilang baru dalam peta cabang rekreasi di Indonesia. Namun, geliat yang terjadi di Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa potensi besar ada di depan mata. Dengan pendekatan komunitas, edukasi, dan kompetisi, ketapel bisa menjadi alternatif olahraga yang inklusif dan bernilai edukatif.
Perjalanan FORSPEK Kalsel dan komunitas ketapel di Banua bisa menjadi contoh bagaimana warisan tradisional tidak harus tenggelam di tengah modernitas. Sebaliknya, justru bisa diangkat dan dikembangkan menjadi sesuatu yang bermakna, baik secara budaya maupun sosial.
Melihat semangat dan komitmen komunitas yang terlibat, bukan hal mustahil jika suatu saat nanti ketapel bisa masuk dalam kategori olahraga resmi yang diakui lebih luas. Setidaknya, langkah-langkah awal seperti partisipasi di FORNAS dan lahirnya pegiat-pegiat muda menjadi fondasi yang kokoh menuju ke sana.