GAS

Atasi Kelangkaan Elpiji 3 Kg, Disperindag Blitar Bergerak Cepat

Atasi Kelangkaan Elpiji 3 Kg, Disperindag Blitar Bergerak Cepat
Atasi Kelangkaan Elpiji 3 Kg, Disperindag Blitar Bergerak Cepat

JAKARTA - Blitar kembali dihadapkan pada krisis pasokan elpiji 3 kilogram. Warga, terutama para ibu rumah tangga, mengaku kesulitan memperoleh tabung gas bersubsidi tersebut yang dikenal dengan sebutan “gas melon”. Kondisi ini memaksa sebagian masyarakat harus mencari dari satu tempat ke tempat lain, bahkan hingga ke desa tetangga, demi memenuhi kebutuhan memasak sehari-hari.

Kondisi semakin diperburuk dengan harga elpiji yang melambung tinggi di tingkat pengecer. Meski harga eceran tertinggi (HET) telah ditetapkan pemerintah, kenyataan di lapangan menunjukkan harga bisa mencapai Rp24.000 hingga Rp25.000 per tabung.

“Susah sekali sekarang cari gas elpiji 3 kilogram, kalau ada sekarang di tempat saya harganya ada yang Rp.24 ribu, ada juga yang Rp.25 ribu,” ujar Nunik, warga Kecamatan Wates Blitar.

Situasi ini tidak hanya memunculkan kepanikan, tetapi juga mengundang keresahan akibat ketidakpastian distribusi elpiji yang seharusnya rutin dan terpantau. Bagi sebagian warga, apalagi yang hidup dalam keterbatasan ekonomi, naiknya harga dan kelangkaan gas melon tentu menjadi beban tambahan.

Menanggapi kondisi tersebut, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Blitar mengonfirmasi bahwa pihaknya telah menerima berbagai keluhan dari masyarakat. Kepala Disperindag Kabupaten Blitar, Darmadi, menyampaikan bahwa mereka telah melakukan monitoring terhadap situasi tersebut dan langsung mengambil langkah koordinatif.

“Kami sudah monitor, kita koordinasikan dengan Hiswana Migas dan Pertamina,” ucapnya.

Darmadi menekankan bahwa kewenangan utama dalam hal distribusi elpiji berada di tangan Hiswana Migas dan Pertamina. Dengan demikian, langkah-langkah yang bisa dilakukan pemerintah daerah dalam jangka pendek adalah memastikan koordinasi berjalan efektif agar permasalahan ini cepat teratasi.

“Kewenangan distribusi dan tata kelola elpiji ada di Pertamina, sehingga kita melakukan monitoring dan koordinasi,” ujarnya.

Koordinasi ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi akar persoalan dari kelangkaan yang terjadi. Apakah ini murni persoalan distribusi yang terganggu, adanya indikasi penimbunan oleh oknum tertentu, atau faktor lain seperti permintaan yang melonjak mendadak. Semua kemungkinan tersebut tengah ditelaah.

Pihak Disperindag juga menyebutkan adanya rencana untuk memperketat pengawasan di lapangan, terutama di titik-titik distribusi seperti pangkalan dan agen-agen elpiji. Langkah ini diambil untuk memastikan bahwa tidak terjadi praktik penjualan di atas HET maupun penimbunan yang merugikan masyarakat kecil.

“Disperindag akan memperkuat pengawasan untuk memastikan tidak ada pelanggaran distribusi, termasuk pengawasan harga di atas HET,” tegas Darmadi.

Sebagai barang subsidi, elpiji 3 kilogram sejatinya diperuntukkan bagi masyarakat miskin dan usaha mikro. Ketika distribusinya tersendat, maka yang paling terdampak adalah kelompok yang selama ini sangat bergantung pada gas bersubsidi tersebut. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius soal efektivitas pengawasan distribusi dan sejauh mana sistem pendistribusian elpiji saat ini mampu menjangkau masyarakat sasaran secara tepat.

Tak sedikit warga yang menduga bahwa persoalan kelangkaan ini sudah menjadi masalah musiman, karena hampir setiap tahun atau beberapa bulan sekali, kondisi serupa terjadi. Namun, sejauh ini belum terlihat adanya solusi jangka panjang untuk mencegah hal tersebut berulang.

Disperindag berharap bahwa kerja sama lintas pihak yang kini sedang dijalin, terutama dengan Hiswana Migas dan Pertamina, mampu membawa titik terang bagi permasalahan yang ada. Penelusuran distribusi akan menjadi prioritas utama agar pemerintah bisa menentukan kebijakan lanjutan yang lebih tepat sasaran.

Situasi di Blitar ini mencerminkan betapa pentingnya tata kelola energi bersubsidi yang transparan dan akuntabel. Pemerintah daerah tak bisa berjalan sendiri, melainkan memerlukan sinergi dari seluruh pihak yang terlibat dalam rantai distribusi energi, mulai dari pusat hingga agen penyalur di tingkat lokal.

Apabila pengawasan tidak diperketat dan permasalahan ini tidak segera ditangani, maka potensi kerugian masyarakat akan semakin besar. Terlebih lagi, potensi penyelewengan gas subsidi ke sektor yang tidak berhak masih menjadi ancaman laten yang harus diantisipasi sejak awal.

Pemerintah daerah diharapkan bisa melakukan evaluasi berkala terhadap efektivitas distribusi energi bersubsidi seperti elpiji 3 kilogram. Tak hanya bersandar pada data dari Pertamina atau lembaga terkait, namun juga memperkuat mekanisme pelaporan dari warga. Dengan begitu, potensi penyimpangan bisa dideteksi lebih awal.

Sementara itu, masyarakat Blitar hanya bisa berharap agar kelangkaan ini segera berakhir. Kepastian pasokan gas melon tidak hanya berdampak pada kelangsungan aktivitas rumah tangga, tetapi juga pada sektor usaha mikro yang bergantung pada ketersediaan elpiji setiap hari.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index