Transportasi

Transportasi Umum, Kunci Akses Kerja

Transportasi Umum, Kunci Akses Kerja
Transportasi Umum, Kunci Akses Kerja

JAKARTA - Ketimpangan antara tempat tinggal dan lokasi pekerjaan kini menjadi tantangan serius dalam pembangunan kota-kota besar. Seiring meningkatnya arus urbanisasi, banyak penduduk yang terpaksa tinggal di pinggiran kota karena keterbatasan daya beli, namun tetap harus melakukan perjalanan jauh ke pusat-pusat aktivitas ekonomi. Dalam konteks ini, transportasi umum bukan hanya sekadar alat mobilitas, melainkan menjadi penentu kualitas hidup dan peluang kerja yang layak.

Fenomena urbanisasi di Indonesia memunculkan persoalan klasik: pertumbuhan penduduk yang pesat di wilayah aglomerasi tidak diimbangi dengan sistem transportasi publik yang memadai. Akibatnya, pekerja berpenghasilan menengah ke bawah harus mengalokasikan sebagian besar pendapatannya untuk ongkos transportasi harian. Kondisi ini memperburuk ketimpangan ekonomi yang telah ada sebelumnya.

Merujuk data dari Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk bekerja memang meningkat cukup signifikan. Namun ironi muncul karena lebih dari separuhnya, yakni sekitar 57,95%, berada di sektor informal. Ini menjadi catatan penting, sebab dominasi pekerjaan informal tak hanya menurunkan daya beli masyarakat, tetapi juga memperbesar kerentanan ekonomi.

Pekerjaan di sektor informal sering kali tidak menawarkan jaminan pendapatan tetap, tunjangan, atau perlindungan sosial. Lebih dari itu, data menunjukkan penurunan jumlah penduduk kelas menengah, serta stagnannya kelompok calon kelas menengah yang mendominasi proporsi penduduk sebesar 49,2%. Indikator ini mencerminkan keterbatasan mobilitas sosial, di mana akses terhadap pekerjaan yang lebih layak tidak berjalan seiring dengan perkembangan ekonomi wilayah.

Faktor utama dari kondisi ini adalah deindustrialisasi prematur. Transformasi ekonomi yang belum matang justru mengarah pada pengalihan tenaga kerja ke sektor dengan keterampilan rendah dan nilai tambah kecil. Akibatnya, sebagian besar penduduk migrasi ke kota dengan harapan mendapat pekerjaan lebih baik, namun realitasnya mereka terjebak dalam struktur informal.

Di sinilah transportasi publik mengambil peran vital. Mobilitas penduduk dari wilayah tempat tinggal menuju lokasi kerja harus ditunjang oleh sistem transportasi yang efisien, murah, dan terjangkau. Tanpa itu, masyarakat akan terus menghadapi beban biaya perjalanan yang tinggi. Seperti yang terjadi di wilayah Jabodetabek, biaya transportasi penduduk bahkan mencapai lebih dari 22% dari penghasilan bulanan mereka—angka yang jauh melampaui batas ideal sebesar 10% menurut standar internasional.

Sayangnya, selama ini kebijakan publik lebih banyak berfokus pada subsidi bahan bakar minyak ketimbang membangun transportasi massal yang berkelanjutan. Hal ini menyebabkan ketergantungan tinggi pada kendaraan pribadi, padahal dari sisi ekonomi, penggunaan mobil pribadi justru menimbulkan beban terbesar.

Ketika biaya transportasi menjadi kendala utama, pilihan tempat tinggal dan pekerjaan pun semakin sempit. Banyak keluarga akhirnya tinggal di pinggiran kota tanpa jaminan aksesibilitas yang baik terhadap pusat-pusat pekerjaan formal. Ini memperbesar potensi eksklusi sosial, karena masyarakat tidak memiliki pilihan selain bertahan di pekerjaan informal yang tidak memberikan prospek ekonomi jangka panjang.

Solusi mendesak yang perlu dilakukan adalah pengembangan sistem transportasi publik berbasis kawasan metropolitan. Transportasi yang terintegrasi dan terjangkau akan membantu masyarakat mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi, menghemat waktu tempuh, serta mendorong mobilitas sosial ekonomi. Selain itu, keberadaan transportasi publik juga berpotensi menekan tingkat kemacetan, emisi karbon, dan kerugian ekonomi akibat waktu tempuh yang panjang.

Transportasi juga punya dampak besar terhadap ketenagakerjaan perempuan. Masih rendahnya partisipasi angkatan kerja perempuan yang hanya berkisar antara 53 hingga 56 persen dibandingkan laki-laki yang mencapai lebih dari 83 persen menunjukkan masih adanya hambatan struktural. Jarak yang jauh antara rumah dan tempat kerja, ditambah beban ganda mengurus rumah tangga, membuat banyak perempuan memilih tidak bekerja. Transportasi umum yang nyaman dan aman bisa menjadi solusi bagi mereka agar tetap produktif tanpa mengorbankan keseimbangan kehidupan keluarga.

Upaya pemerintah dalam mendukung penyelenggaraan transportasi publik sebenarnya telah diatur dalam undang-undang. Namun, pelaksanaannya masih belum merata. Di beberapa daerah, kapasitas fiskal dijadikan alasan untuk tidak mengalokasikan dana secara signifikan bagi sektor ini. Padahal, peraturan telah mengamanatkan penggunaan dana dari pajak kendaraan bermotor dan opsennya minimal 10 persen untuk pengembangan angkutan umum.

Kota-kota seperti Semarang telah menjadi contoh positif dengan menyisihkan sekitar 5 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk membangun sistem transportasi publik. Namun di banyak daerah lain, alokasi rata-ratanya masih berada di kisaran 1 persen. Ini menunjukkan bahwa persoalan bukan hanya terletak pada keterbatasan anggaran, melainkan juga pada prioritas kebijakan daerah.

Transportasi umum seharusnya tidak dipandang sebagai beban subsidi, tetapi sebagai investasi sosial jangka panjang. Ketika masyarakat memiliki akses terhadap mobilitas yang layak, mereka dapat memilih pekerjaan yang lebih baik, meningkatkan produktivitas, dan pada akhirnya memperkuat ekonomi keluarga.

Pembangunan ekonomi yang adil tidak bisa tercapai hanya dengan membuka lapangan kerja. Diperlukan dukungan kebijakan yang memudahkan masyarakat menjangkau pekerjaan tersebut. Dalam hal ini, transportasi publik menjadi fondasi penting bagi mobilitas kerja, pemerataan pembangunan, dan kesejahteraan yang berkelanjutan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index