JAKARTA - Cuaca ekstrem yang melanda kawasan timur Bali memicu gangguan serius terhadap aktivitas transportasi laut dan kehidupan nelayan. Gelombang tinggi dan angin kencang tidak hanya memaksa layanan penyeberangan fast boat dihentikan sementara, tetapi juga memaksa para nelayan berhenti melaut dan menambatkan kapal mereka untuk waktu yang belum bisa ditentukan.
Kondisi ini menggambarkan betapa rentannya sektor transportasi laut dan perikanan terhadap cuaca buruk. Ketika laut menjadi tak bersahabat, dua sektor yang bergantung padanya pun ikut lumpuh: logistik dan ekonomi pesisir. Di titik ini, keselamatan menjadi prioritas mutlak, sementara dampak sosial-ekonomi menjadi konsekuensi yang tak bisa dihindari.
Penutupan sementara jalur penyeberangan Padangbai–Lombok menjadi salah satu keputusan yang diambil untuk meminimalkan risiko bagi para penumpang fast boat. Kepala Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Padangbai, I Ketut Muliana, menyatakan bahwa penghentian layanan tersebut dilakukan sejak siang hari karena gelombang tinggi yang mengancam keselamatan pelayaran cepat.
“Untuk kapal fast boat sementara ditunda mulai siang tadi. Sedangkan untuk kapal ferry tetap operasi seperti biasa,” ungkap Muliana.
Meski belum ada kepastian kapan rute tersebut akan kembali dibuka, otoritas pelabuhan terus memantau perkembangan kondisi laut. Layanan fast boat dikenal lebih cepat namun lebih rentan terhadap perubahan cuaca, berbeda dengan kapal ferry yang memiliki bobot lebih besar dan lebih stabil saat menghadapi gelombang besar.
Di sisi lain, nelayan di pesisir timur Karangasem juga merasakan dampak langsung dari kondisi ekstrem tersebut. Aktivitas mereka praktis terhenti karena risiko keselamatan yang tinggi. Di wilayah Ujung, Kecamatan Karangasem, mayoritas nelayan memilih untuk tidak melaut. Istilah “lego jangkar” pun menjadi simbol keputusasaan sementara, karena tanpa laut yang tenang, mereka tak punya mata pencaharian.
Ketua Kelompok Nelayan Inti Samudra, Mahmud, menyampaikan bahwa cuaca buruk sudah berlangsung selama beberapa hari terakhir. Menurutnya, hanya segelintir nelayan dengan perahu cepat yang masih berani melaut, sementara nelayan yang menggunakan jukung tradisional memilih tidak mengambil risiko.
“Beberapa nelayan yang pakai speed boat masih berani melaut, tapi yang memakai jukung tidak berani karena sangat berbahaya. Tadi pagi ada yang melaut 4 orang, saya juga sempat mau turun tapi tidak jadi setelah melihat kondisi ombak,” jelas Mahmud.
Cuaca buruk seperti ini bukanlah hal baru bagi nelayan di Karangasem. Mahmud menyebutkan bahwa kondisi gelombang tinggi biasanya mulai muncul menjelang bulan Agustus dan bisa berlangsung hingga tiga bulan ke depan. Dengan tidak adanya jaminan keselamatan di laut, banyak nelayan terpaksa beralih sementara profesi.
Sebagian besar memilih menjadi petani musiman, sementara yang lain menggunakan masa tenang ini untuk memperbaiki alat tangkap seperti jaring dan mesin perahu. Meskipun tidak ada pendapatan tetap selama mereka berhenti melaut, aktivitas alternatif ini sedikit banyak membantu menopang kehidupan keluarga mereka.
Menariknya, ketika sebagian besar nelayan tidak melaut, terjadi kelangkaan pasokan ikan di pasar lokal. Kondisi ini menyebabkan harga ikan naik, meski saat itu bukan musim puncak penangkapan ikan. Para nelayan yang tetap berani melaut pun mendapatkan hasil yang cukup baik untuk menutupi kebutuhan operasional serta kebutuhan rumah tangga mereka.
Situasi ini mencerminkan dinamika ekonomi pesisir yang sangat bergantung pada kondisi alam. Di satu sisi, cuaca buruk memaksa banyak nelayan berhenti bekerja; di sisi lain, pasar ikan justru mengalami fluktuasi harga yang bisa menguntungkan sebagian pihak. Namun demikian, risiko tetap menjadi faktor yang tak bisa diabaikan.
Cuaca ekstrem yang mengganggu sektor pelayaran dan perikanan di wilayah ini juga menyoroti pentingnya peringatan dini dan kebijakan mitigasi dari pihak terkait. Koordinasi yang kuat antara pihak pelabuhan, nelayan, dan pemerintah daerah menjadi hal krusial dalam menghadapi cuaca tak menentu yang semakin sering terjadi akibat perubahan iklim.
Selain memperkuat sistem peringatan cuaca, penting pula adanya dukungan sosial ekonomi bagi para nelayan yang terdampak. Ketika gelombang tinggi dan angin kencang melumpuhkan mata pencaharian mereka, jaminan penghasilan alternatif atau bantuan produktif akan sangat membantu menjaga stabilitas ekonomi keluarga nelayan.
Demikian juga pada sektor transportasi laut komersial, seperti layanan fast boat, diperlukan sistem informasi pelayaran yang akurat dan responsif terhadap perubahan kondisi alam. Penumpang dan operator kapal harus mendapatkan kepastian informasi yang memadai untuk mencegah risiko perjalanan di tengah cuaca ekstrem.
Dari sisi kebijakan, penting bagi pemerintah pusat dan daerah untuk merumuskan skema dukungan jangka pendek dan jangka panjang bagi masyarakat pesisir. Program diversifikasi ekonomi, pelatihan keterampilan, serta bantuan permodalan untuk usaha alternatif bisa menjadi solusi konkret saat nelayan tidak dapat melaut.
Kondisi perairan yang tidak bersahabat memang tidak dapat dikendalikan, namun dampaknya bisa dikelola secara lebih baik jika sistem mitigasi dan adaptasi disiapkan dengan serius. Masyarakat pesisir, baik sebagai pelaut, nelayan, atau operator transportasi laut, membutuhkan dukungan agar tetap dapat bertahan menghadapi tantangan cuaca ekstrem yang kian sering terjadi.