JAKARTA - Di tengah tantangan global terhadap keberlanjutan produksi minyak sawit, pendekatan baru dalam pemanfaatan lahan mulai menemukan momentumnya. Salah satunya adalah model koronisasi, sebuah sistem tanam tumpang sari inovatif yang mengintegrasikan kelapa sawit, kacang koro, dan padi IPB 9G. Model ini digagas oleh tim IPB University dan mitra internasional sebagai bagian dari solusi konkret bagi praktik pertanian berkelanjutan.
Model koronisasi tidak hanya menawarkan efisiensi pemanfaatan lahan, tetapi juga mencerminkan komitmen terhadap prinsip keberlanjutan dan ketahanan pangan. Inisiatif ini merupakan hasil kolaborasi antara IPB University, Wageningen University and Research (WUR) Belanda, Universitas Lambung Mangkurat (ULM), serta sektor swasta, PT Citra Putra Kebun Asri (CPKA).
Kolaborasi ini merupakan bagian dari kerja sama Indonesia-Belanda dalam program SustainPalm, yang bertujuan mendukung produksi minyak sawit secara berkelanjutan dan sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Fokusnya adalah mendorong pemanfaatan optimal lahan sawit melalui sistem tumpang sari yang produktif dan ramah lingkungan.
Lokasi uji coba model ini dilakukan di Desa Jorong, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Tahap awal berupa penanaman kacang koro di antara tanaman kelapa sawit yang belum menghasilkan. Dalam periode Februari 2023 hingga Februari 2025, sistem tumpang sari sawit-koro menunjukkan hasil yang menggembirakan. Produktivitas kacang koro mencapai 2,5 hingga 3 ton per hektare, bahkan dengan penggunaan pupuk yang minimal.
Langkah selanjutnya adalah mengintegrasikan penanaman padi IPB 9G dalam sistem tumpang sari. Tahapan ini dimulai sejak April dan berhasil mencatat produktivitas padi sekitar 3 ton per hektare. Menurut tim pelaksana, angka ini berpotensi meningkat jika tidak terganggu oleh serangan hama, khususnya walang sangit.
Prof Sudradjat dari IPB University menjelaskan bahwa istilah "koronisasi" diambil karena kacang koro menjadi elemen kunci dari sistem ini. Tanaman ini tidak hanya mampu tumbuh di lahan replanting sawit, tetapi juga berperan memperbaiki kualitas tanah secara kimia dan fisik.
“Selain itu, akar koro juga memperbaiki struktur tanah, meningkatkan porositas, dan memperbesar kapasitas tanah dalam menyimpan air,” paparnya.
Dalam praktiknya, kacang koro ditanam terlebih dahulu untuk memperbaiki kesuburan tanah sebelum ditanami padi. Prof Sudradjat menyebut pendekatan ini menjadi penentu keberhasilan, mengingat upaya menanam padi langsung di lahan replanting sawit tanpa pendahuluan koro seringkali gagal.
Tak hanya memperbaiki kondisi tanah, kacang koro juga memiliki nilai ekonomi dan gizi tinggi. Kandungan protein dalam biji koro mencapai 25–27 persen, menjadikannya kandidat potensial sebagai bahan baku pakan ternak. Setelah diolah, kacang koro juga bisa dijadikan produk pangan seperti tempe koro dan camilan.
Lebih lanjut, Prof Sudradjat menilai keberhasilan penanaman padi IPB 9G di lahan sawit muda—yang masih dalam fase belum menghasilkan (TBM)—membuka peluang besar bagi optimalisasi lahan replanting sawit. Model ini mendemonstrasikan bahwa masa tunggu sawit yang selama ini dianggap tidak produktif bisa diubah menjadi sumber pendapatan tambahan bagi petani.
Optimisme terhadap model koronisasi tidak hanya datang dari kalangan akademisi, tetapi juga petani lokal. H Sariman dan istrinya, Sari, mengaku terkesan dengan pertumbuhan padi di lahan replanting sawit meskipun ditanam saat akhir musim hujan (April–Juli). Padahal sebelumnya, petani setempat hanya menanam padi ladang antara Oktober hingga Maret. Melihat hasilnya, mereka berencana menanam padi IPB 9G di lahan seluas tiga hektare pada musim tanam berikutnya.
Dukungan juga datang dari pihak perusahaan. Ir Eko, Manajer PT CPKA, menyampaikan bahwa keberhasilan uji coba pada lahan seluas 1,5 hektare mendorong pihaknya memperluas area penanaman hingga 10 hektare. Hasil panen nantinya akan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan internal perusahaan dengan biaya yang 20–25 persen lebih murah dibandingkan harga pasar.
Menurut Prof Sudradjat, pendekatan ini sangat cocok diintegrasikan ke dalam program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Selama masa TBM, petani bisa tetap memperoleh penghasilan melalui panen kacang koro dan padi, tanpa harus menunggu sawit berproduksi.
Untuk memperluas dampaknya, ia menekankan pentingnya pendekatan kemitraan pentahelix yakni kolaborasi antara akademisi, dunia usaha, pemerintah, komunitas, dan media. Model seperti ini dinilai paling efektif untuk mempercepat replikasi inovasi ke wilayah lain yang juga menghadapi tantangan serupa dalam peremajaan sawit.
“SustainPalm berkomitmen menerapkan strategi efektif untuk mendorong keberlanjutan di seluruh proses produksi minyak sawit. Strateginya dengan menargetkan pemanfaatan lahan yang efisien dan efektif melalui penanaman tumpang sari sawit dengan tanaman pangan,” jelas Prof Sudradjat.
Ia berharap, program ini ke depan mampu memperkuat ketahanan pangan, meningkatkan pendapatan petani, sekaligus menjadi contoh nyata bagaimana integrasi pertanian pangan dan komoditas ekspor dapat berjalan beriringan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan.