Minyak

Minyak Pertama dari Bumi Nusantara

Minyak Pertama dari Bumi Nusantara
Minyak Pertama dari Bumi Nusantara

JAKARTA - Sejarah panjang industri minyak bumi Indonesia ternyata bermula dari sebuah eksperimen yang dilakukan lebih dari satu abad lalu. Di tengah kondisi alam tropis dan keterbatasan teknologi kala itu, dua lokasi di tanah air menjadi saksi bisu dari awal mula eksplorasi sumber daya yang kelak menggerakkan roda perekonomian nasional: Maja di Jawa Barat dan Telaga Said di Sumatera Utara. Meski berbeda nasib, keduanya menempati posisi penting dalam catatan sejarah energi Indonesia.

Kisah pertama datang dari Maja, sebuah daerah di kaki Gunung Ciremai, Majalengka. Tahun 1871, seorang pedagang Belanda bernama Jan Reerink menemukan rembesan cairan hitam pekat dari dalam tanah. Ia mencium aroma bahan bakar dari cairan itu dan melihat potensi besar di dalamnya. Berbekal mesin uap dari Kanada dan kekuatan tenaga sapi, Reerink memulai pengeboran sumur minyak di kawasan Cibodas, Maja. Inilah yang kini dikenal sebagai sumur bor minyak pertama di Indonesia, dengan nama Cibodas Tangat‑1 atau Maja‑1.

Empat sumur sempat dibor, dan dari satu di antaranya berhasil dikeluarkan sekitar 6.000 liter minyak mentah bercampur air panas. Namun, meski berhasil menemukan cadangan minyak, upaya Reerink terhenti karena ia gagal mendapatkan dukungan dana lanjutan dari perusahaannya. Pada 1876, seluruh proyek ditutup. Eksplorasi berhenti, dan potensi minyak di Maja pun belum sempat dikembangkan secara komersial.

Sementara itu, belasan tahun kemudian, di ujung barat Sumatera, babak baru sejarah minyak Indonesia dimulai. Seorang tokoh bernama Aeilko Jans Zijker menemukan genangan minyak saat sedang memeriksa area perkebunan tembakau tempat ia bekerja. Sampel cairan tersebut kemudian diuji dan terbukti mengandung minyak bumi dalam kadar tinggi. Penemuan ini memicu semangat Zijker untuk melakukan pengeboran secara lebih serius.

Setelah memperoleh konsesi wilayah dari penguasa setempat dan mendapatkan suntikan dana dari Eropa, Zijker memulai pengeboran di Desa Telaga Said, Langkat. Pengeboran awal di lokasi pertama menghasilkan sedikit minyak. Namun upaya berlanjut hingga ke titik baru yang disebut Telaga Said‑1. Hanya dalam waktu 48 jam, sebanyak 1.710 liter minyak berhasil diangkat dari kedalaman sekitar 22 meter. Puncaknya terjadi pada 15 Juni 1885, saat pengeboran menembus kedalaman 121 meter dan menghasilkan semburan kuat gas dan minyak. Sumur ini kemudian dikenal sebagai Telaga Tunggal I.

Inilah tonggak resmi dimulainya era eksploitasi minyak secara komersial di Indonesia. Dalam masa jayanya, Telaga Tunggal I mampu menghasilkan hingga 180 barel minyak per hari. Keberhasilan ini menarik perhatian perusahaan-perusahaan besar yang mulai berdatangan untuk mengembangkan industri migas di wilayah tersebut.

Konsesi yang awalnya dipegang oleh Zijker akhirnya diambil alih oleh perusahaan minyak besar yang kemudian membangun berbagai fasilitas penunjang produksi. Di antaranya kilang minyak di Pangkalan Brandan dan pelabuhan pengapalan di Pangkalan Susu. Langkat pun berkembang menjadi pusat awal industri minyak tanah air. Sumur Telaga Tunggal I terus berproduksi hingga dekade 1930-an, sebelum akhirnya ditinggalkan pada tahun 1934.

Dua kisah ini memperlihatkan dua sisi dari perjalanan awal minyak di Indonesia. Maja, yang meskipun lebih dulu dibor, justru tidak berkembang karena keterbatasan dana dan dukungan investasi. Sedangkan Telaga Said berkembang pesat dan menjadi fondasi awal industri minyak nasional yang berujung pada pembentukan perusahaan migas besar di masa mendatang.

Meski begitu, keduanya sama-sama berperan penting. Maja menjadi pelopor yang menandai keberanian melakukan eksplorasi awal. Telaga Said menjadi simbol keberhasilan yang membuka pintu bagi pengembangan industri energi di Indonesia. Hingga kini, sisa-sisa peninggalan di Telaga Said masih dapat ditemukan. Pipa-pipa tua dan tugu penanda lokasi sumur pertama menjadi pengingat dari sebuah titik awal perjalanan panjang yang kini menjadikan Indonesia sebagai salah satu pemain penting di sektor energi global.

Menariknya, peralatan dan metode pengeboran yang digunakan pada masa itu masih mengandalkan sistem mekanik sederhana, seperti alat bor bertenaga uap dan rangka kayu. Namun justru dari keterbatasan itulah lahir gebrakan yang melampaui zaman. Pengeboran minyak pertama Indonesia bahkan tak kalah cepat dibanding beberapa negara besar di dunia.

Saat ini, warisan sejarah dari dua lokasi itu menjadi sumber kebanggaan dan pembelajaran. Maja dan Telaga Said tidak hanya menyimpan cerita tentang eksplorasi dan pengeboran, tetapi juga tentang kegigihan, pengorbanan, serta pentingnya keberanian mengambil risiko dalam menghadapi ketidakpastian. Seiring waktu, eksplorasi minyak berkembang ke berbagai penjuru Nusantara, dan Indonesia pun menjadi negara yang dikenal dengan kekayaan sumber daya alamnya.

Melalui kilas balik ini, terlihat jelas bahwa perjalanan panjang minyak Indonesia tidak dimulai secara instan. Ia lahir dari kerja keras, eksperimen yang berani, dan keberuntungan yang dipadukan dengan perhitungan cermat. Dari Maja ke Langkat, jejak itu masih tertinggal hingga kini—menjadi saksi dari bagaimana energi pertama kali ditemukan dan digali dari rahim bumi pertiwi.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index