Batu Bara

Bea Keluar Batu Bara Dinilai Ancam Daya Saing Ekspor RI

Bea Keluar Batu Bara Dinilai Ancam Daya Saing Ekspor RI
Bea Keluar Batu Bara Dinilai Ancam Daya Saing Ekspor RI

JAKARTA - Wacana penerapan tarif bea keluar (BK) yang bersifat fleksibel terhadap komoditas batu bara dan emas mulai 2026 menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku dan analis industri. Fleksibilitas yang dimaksud mengacu pada penerapan tarif BK yang akan mengikuti dinamika harga pasar komoditas, namun kebijakan ini dinilai dapat berbalik arah merugikan industri pertambangan nasional dalam persaingan ekspor global.

Dalam skema fleksibel tersebut, tarif BK akan diberlakukan lebih tinggi ketika harga komoditas melonjak, dan bisa ditiadakan saat harga mengalami penurunan tajam. Secara teori, skema ini bertujuan agar negara tetap mendapatkan manfaat dari lonjakan harga pasar dunia, sembari meringankan beban produsen saat pasar sedang lesu. Namun, dari sisi pelaku usaha dan analis pasar, kebijakan ini justru dapat menciptakan risiko ketidakpastian dan menurunkan daya saing Indonesia.

Liza Camelia, Head of Research di Kiwoom Sekuritas Indonesia, menyampaikan bahwa fleksibilitas tarif BK bisa menjadi boomerang bagi para eksportir batu bara nasional, terutama ketika harga komoditas sedang tinggi.

“Ketika harga batu bara tinggi dan dikenai bea keluar, potensi pembeli untuk beralih ke negara lain meningkat, terutama untuk pasar-pasar yang sangat sensitif terhadap harga seperti India, China, dan negara-negara berkembang lainnya,” kata Liza.

Ia mengingatkan bahwa Indonesia saat ini berada di pasar yang sangat kompetitif, dengan sejumlah negara eksportir besar lain seperti Australia, China, Afrika Selatan, Rusia, dan Kanada yang dapat menawarkan harga lebih bersaing. Bila bea keluar diterapkan saat harga tinggi, selisih harga jual antara Indonesia dan negara pesaing bisa menjadi terlalu besar, sehingga menurunkan minat pembeli.

“Sehingga harga jual menjadi kurang kompetitif dibandingkan dengan negara pesaing,” tambahnya.

Permintaan global terhadap batu bara dalam beberapa tahun terakhir memang mengalami fluktuasi tajam, seiring dengan dinamika geopolitik, krisis energi, dan transisi energi bersih. Sementara itu, di pasar utama seperti India dan China, kebutuhan terhadap batu bara thermal masih tetap tinggi, terutama untuk kebutuhan energi pembangkit listrik. Kondisi ini menjadikan sensitivitas harga sebagai faktor krusial dalam perdagangan internasional komoditas batu bara.

Dari sisi industri, pengenaan bea keluar meski bersifat fleksibel dapat memberikan tekanan tambahan terhadap margin keuntungan ekspor. Ketika harga sedang tinggi dan permintaan cukup besar, seharusnya penambang bisa memaksimalkan margin dengan menjual pada harga pasar. Namun jika margin tersebut terpangkas akibat tarif ekspor, insentif bagi penambang untuk meningkatkan produksi dan ekspor bisa menurun.

Sebaliknya, saat harga global anjlok dan bea keluar ditiadakan, perusahaan memang mendapat kelonggaran untuk bersaing harga, tetapi situasi permintaan global justru melemah. Dalam kondisi seperti itu, volume perdagangan tetap berisiko rendah karena tekanan permintaan dari negara konsumen utama.

“Ketika harga batu bara rendah dan tidak dikenai BK, perusahaan memang dapat bersaing secara harga. Tapi saat itu juga, permintaan biasanya sedang menurun,” jelas Liza.

Fleksibilitas bea keluar sejatinya dirancang untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan negara dan pelaku industri. Negara ingin tetap mendapatkan manfaat maksimal dari kekayaan sumber daya alam ketika harga global sedang tinggi, tanpa terlalu membebani pengusaha saat pasar lesu. Namun, eksekusinya memerlukan sensitivitas kebijakan dan kalkulasi yang sangat cermat terhadap dinamika perdagangan global.

Sejumlah analis juga menilai bahwa dalam konteks batu bara, ketergantungan Indonesia pada pasar ekspor cukup tinggi, sehingga setiap kebijakan fiskal yang memengaruhi harga jual harus dipertimbangkan secara strategis. Bila harga jual dari Indonesia menjadi terlalu mahal, bukan tidak mungkin negara-negara tujuan akan mencari alternatif lain.

“Pasar batu bara adalah pasar yang sangat cepat berubah. Kebijakan fiskal yang tidak adaptif terhadap dinamika permintaan dan pasokan global dapat berdampak langsung pada ekspor dan pertumbuhan industri,” ujar seorang analis komoditas yang enggan disebutkan namanya.

Di sisi lain, Indonesia juga menghadapi tantangan dari kebijakan dekarbonisasi dan energi bersih global. Sejumlah negara konsumen mulai mengurangi ketergantungan terhadap batu bara dan beralih ke sumber energi rendah emisi. Hal ini secara bertahap akan menurunkan permintaan jangka panjang, sekaligus mempersulit posisi daya saing batu bara Indonesia jika harga jual tidak kompetitif.

Untuk menjaga daya saing, pemerintah perlu mengkaji lebih jauh dampak dari kebijakan bea keluar yang fleksibel ini. Kebijakan fiskal seperti bea keluar sebaiknya diselaraskan dengan strategi perdagangan luar negeri dan skenario pasar jangka menengah hingga panjang. Kebijakan yang hanya bertumpu pada optimalisasi penerimaan negara dari harga tinggi bisa merugikan potensi jangka panjang industri tambang nasional.

Liza Camelia menutup pandangannya dengan menekankan bahwa sinergi antara pemerintah dan industri sangat dibutuhkan dalam menavigasi masa depan perdagangan batu bara Indonesia.

“Penting untuk melibatkan pelaku usaha dalam perumusan kebijakan. Jangan sampai niat baik negara untuk meningkatkan penerimaan justru menekan daya saing dan menghambat pertumbuhan industri secara keseluruhan,” pungkasnya.

Dengan persaingan global yang semakin ketat dan ketidakpastian pasar yang terus membayangi, Indonesia perlu memastikan bahwa setiap kebijakan fiskal yang diterapkan memiliki dampak positif yang seimbang antara penerimaan negara dan kelangsungan ekspor nasional.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index