JAKARTA - Pemerintah kembali merilis harga acuan batu bara dan mineral untuk periode kedua bulan berjalan, sebuah kebijakan rutin namun berdampak besar bagi stabilitas industri pertambangan nasional. Kali ini, perhatian tertuju pada penurunan signifikan harga batu bara kalori tinggi, yang menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku usaha, terutama yang berorientasi ekspor.
Penetapan Harga Batu Bara Acuan (HBA) dan Harga Mineral Acuan (HMA) dilakukan melalui Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang baru ditandatangani. Dalam keputusan tersebut, tercatat bahwa batu bara kalori tinggi dengan nilai kesetaraan 6.322 kcal/kg GAR kini dihargai US$97,65 per ton. Angka ini menunjukkan penurunan tajam dari harga sebelumnya yang mencapai US$107,35 per ton pada periode sebelumnya.
Turunnya harga batu bara kalori tinggi menjadi indikator penting dari dinamika pasar global yang saat ini tengah mengalami tekanan, baik karena penurunan permintaan dari negara-negara mitra dagang maupun karena fluktuasi harga energi global. Penurunan ini turut berdampak pada potensi pendapatan negara dari royalti dan devisa ekspor, serta menambah beban perusahaan-perusahaan tambang yang mengandalkan komoditas kalori tinggi sebagai produk unggulan.
- Baca Juga OPEC Optimis Permintaan Minyak Stabil
Meski demikian, tidak semua segmen batu bara mengalami tren negatif. HBA untuk batu bara dengan nilai kalori 5.300 kcal/kg GAR justru mengalami kenaikan menjadi US$75,94 per ton dari sebelumnya US$71,5. Pergerakan ini menunjukkan bahwa jenis batu bara menengah masih memiliki daya tarik di pasar, baik untuk keperluan industri dalam negeri maupun ekspor ke negara-negara berkembang yang masih mengandalkan pembangkit listrik berbasis batubara.
Sebaliknya, batu bara kalori rendah turut mencatatkan perubahan harga yang bervariasi. Untuk nilai kalori 4.100 kcal/kg GAR, HBA ditetapkan sebesar US$48,35 per ton, mengalami sedikit penurunan dari harga sebelumnya yang berada di kisaran US$49,78. Adapun untuk kalori lebih rendah, yakni 3.400 kcal/kg GAR, harga justru naik tipis menjadi US$36 per ton dari sebelumnya US$35,87.
Perhitungan HBA ini didasarkan pada ketentuan dalam Keputusan Menteri ESDM tentang Pedoman Penetapan Harga Patokan untuk Penjualan Komoditas Mineral Logam dan Batu Bara. Penetapan HBA periode kedua bulan berjalan menggunakan rata-rata tertimbang volume dan harga jual batu bara pada titik serah secara free on board di atas kapal pengangkut (FOB vessel), dengan rentang spesifikasi 6.100–6.500 kcal/kg GAR. Data yang digunakan berasal dari transaksi penjualan pada aplikasi ePNBP Minerba, mencakup periode pengapalan dua bulan sebelumnya hingga minggu ketiga bulan sebelumnya.
Selain HBA, pemerintah juga merilis HMA untuk sejumlah komoditas mineral. HMA nikel, misalnya, ditetapkan sebesar US$14.926 per dmt, sedikit menurun dibanding periode sebelumnya yang mencapai US$14.942 per dmt. Penurunan ini berpotensi menekan margin keuntungan perusahaan smelter yang bergantung pada ekspor nikel olahan.
Sebaliknya, HMA aluminium mengalami kenaikan menjadi US$2.577,4 per dmt dari sebelumnya US$2.515,1 per dmt, memberikan sedikit angin segar bagi pelaku industri hilir. HMA tembaga juga menunjukkan tren positif dengan harga baru US$9.952,5 per dmt, meningkat dari sebelumnya US$9.822,07 per dmt.
Untuk kobalt, harga acuan mengalami penurunan tipis, dari US$32.944 menjadi US$32.896 per dmt. Fluktuasi ini menjadi cerminan dinamika pasokan dan permintaan global, terutama dengan meningkatnya penggunaan kobalt dalam produksi baterai kendaraan listrik.
Penetapan HBA dan HMA kini dilakukan dua kali setiap bulan, yakni pada tanggal 1 dan 15, sebagaimana diatur dalam Kepmen ESDM tentang Harga Mineral Logam Acuan dan Harga Batu Bara Acuan. Skema dua mingguan ini bertujuan memberikan respons lebih cepat terhadap dinamika harga global, sekaligus menjadi acuan penting dalam perhitungan royalti dan perencanaan ekspor.
Namun demikian, bagi pelaku usaha, perubahan harga acuan dalam jangka pendek bisa memicu ketidakpastian. Terutama dalam menghadapi wacana kebijakan tambahan seperti pemberlakuan bea keluar atas ekspor emas dan batu bara, yang masih menjadi kekhawatiran utama di sektor ini.
Banyak pengusaha tambang menilai bahwa bila kebijakan tersebut diterapkan bersamaan dengan tren penurunan harga acuan, maka beban finansial yang mereka tanggung bisa semakin berat. Perusahaan-perusahaan seperti PT Bukit Asam (PTBA) bahkan sudah mulai menyuarakan sikap antisipatif terhadap dampak dari potensi regulasi baru ini terhadap daya saing ekspor batu bara Indonesia.
Pemerintah dalam hal ini didorong untuk melakukan harmonisasi antara kebijakan fiskal dan keekonomian industri tambang. Keseimbangan antara penerimaan negara dan keberlangsungan usaha menjadi kunci dalam menjaga agar sektor ini tetap produktif, menyerap tenaga kerja, dan memberikan kontribusi terhadap pembangunan nasional.
Fluktuasi harga komoditas memang tidak bisa dihindari. Namun, dengan tata kelola yang transparan dan data yang kredibel, HBA dan HMA tetap menjadi acuan penting bagi investor, pelaku industri, dan regulator. Penetapan harga yang realistis di tengah kondisi global yang dinamis akan sangat menentukan arah kebijakan energi dan mineral nasional di masa mendatang.