JAKARTA - Di tengah dorongan transformasi digital dan inklusi keuangan yang semakin masif, industri fintech lending Indonesia menghadapi dinamika baru. Setelah sempat mencatat laju ekspansi yang impresif pada kuartal pertama 2025, sektor ini kini mengalami perlambatan pertumbuhan menjelang pertengahan tahun.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk periode Mei 2025 menunjukkan bahwa pertumbuhan tahunan (year-on-year/YoY) penyaluran pinjaman daring atau pinjaman online (pindar) berada di level 27,95%. Angka ini sedikit melandai dibandingkan bulan sebelumnya, yakni April 2025, yang masih mencatatkan pertumbuhan 29,01% YoY. Meski masih berada di zona positif, tren ini mengindikasikan bahwa pelaku industri tengah menghadapi tantangan struktural dan perubahan perilaku pasar.
Fenomena tersebut juga dialami oleh sejumlah penyelenggara platform fintech lending. Salah satunya adalah Samir, perusahaan teknologi finansial yang fokus pada pemberdayaan pinjaman mikro dan produktif. Samir mencatat bahwa pada Mei 2025, total penyaluran pinjaman mencapai sekitar Rp 255 miliar, yang menunjukkan penurunan jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Penyesuaian Pasar dan Selektivitas Kreditur
Melambatnya laju pertumbuhan tidak serta-merta menunjukkan bahwa sektor ini kehilangan daya tarik. Sebaliknya, para pemain industri justru tengah memasuki fase penyesuaian strategis, terutama dalam menghadapi kualitas debitur, pengelolaan risiko, dan efisiensi operasional.
Pertumbuhan yang tinggi di awal tahun kerap diwarnai oleh strategi ekspansi agresif dari banyak platform, terutama dalam menjangkau segmen masyarakat yang belum tersentuh layanan keuangan konvensional. Namun memasuki kuartal kedua, tren tersebut mulai terkoreksi seiring dengan ketatnya regulasi, peningkatan risiko kredit macet, dan naiknya ekspektasi profitabilitas dari investor maupun pemberi dana (lender).
Bagi platform seperti Samir, penyesuaian ini menjadi langkah penting dalam menjaga kesehatan portofolio pinjaman. Strategi berfokus pada selektivitas calon peminjam serta evaluasi ulang terhadap algoritma pemeringkatan risiko menjadi kunci agar pertumbuhan tetap berkualitas, meskipun tidak setinggi sebelumnya.
Perlambatan sebagai Sinyal Konsolidasi
Banyak pengamat industri menilai bahwa perlambatan ini justru merupakan fase konsolidasi alami. Setelah masa euforia pertumbuhan selama dua tahun terakhir pasca-pandemi, kini sektor fintech lending sedang mengalami pemurnian model bisnis, dengan fokus pada keberlanjutan dan tanggung jawab keuangan.
Sejumlah faktor yang turut berkontribusi pada perlambatan di antaranya adalah:
Pengetatan kebijakan suku bunga acuan, yang berdampak pada biaya dana.
Peningkatan kehati-hatian pemberi pinjaman, termasuk institusi dan individu.
Perubahan daya beli masyarakat, seiring dengan inflasi dan beban ekonomi rumah tangga.
Penyesuaian regulasi perlindungan konsumen, terutama terkait transparansi biaya dan pengelolaan data pribadi.
Dengan ekosistem yang lebih matang, pemain yang mampu bertahan dan beradaptasi di masa penyesuaian ini akan memiliki keunggulan kompetitif dalam jangka panjang.
Fintech Lending Masih Punya Potensi Besar
Meski pertumbuhannya tengah melambat, prospek jangka panjang industri fintech lending tetap menjanjikan. Indonesia masih memiliki tingkat inklusi keuangan yang belum optimal, terutama di luar Pulau Jawa dan pada segmen pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Menurut survei nasional literasi dan inklusi keuangan terakhir, masih banyak masyarakat yang belum memiliki akses pada pembiayaan formal, sementara kebutuhan modal usaha dan dana darurat terus meningkat. Di sinilah peran strategis platform seperti Samir dalam menjembatani kesenjangan antara institusi keuangan formal dan masyarakat unbanked.
Dengan teknologi, kemudahan akses, dan pendekatan berbasis data, fintech lending bisa terus menjadi motor penggerak bagi pembiayaan yang cepat, inklusif, dan efisien—selama tetap memperhatikan tata kelola risiko dan etika bisnis.
Strategi Adaptif Menjadi Penentu
Dalam lanskap industri yang terus berubah, kemampuan untuk beradaptasi menjadi kunci keberhasilan. Platform seperti Samir kini memperkuat sistem risk scoring berbasis machine learning, memperluas kemitraan dengan institusi keuangan dan e-commerce, serta menerapkan digital onboarding yang lebih aman dan transparan.
Selain itu, edukasi terhadap peminjam dan pemberi dana juga menjadi fokus utama. Dengan peningkatan pemahaman publik terhadap hak dan kewajiban dalam pinjaman daring, diharapkan tingkat keterlambatan dan gagal bayar dapat ditekan, sehingga ekosistem fintech lending tetap sehat dan tumbuh berkelanjutan.
Harapan pada Regulasi yang Adaptif
Pelambatan pertumbuhan juga menjadi momen refleksi bagi regulator. OJK diharapkan dapat terus mengembangkan kebijakan yang adaptif dan akomodatif, sehingga industri dapat tumbuh dalam koridor perlindungan konsumen tanpa mengekang inovasi.
Beberapa pelaku industri menyampaikan bahwa kejelasan regulasi mengenai pembiayaan produktif, mitigasi risiko teknologi, dan batasan pengumpulan dana akan sangat membantu platform fintech untuk merumuskan arah bisnis yang lebih pasti.
Dalam konteks ini, sinergi antara regulator, pelaku industri, dan masyarakat menjadi sangat penting agar manfaat dari fintech lending dapat dirasakan lebih luas tanpa mengabaikan prinsip kehati-hatian.
Perlambatan pertumbuhan industri fintech lending pada Mei 2025 menjadi refleksi atas transformasi mendalam yang sedang berlangsung. Bukan sebagai tanda surut, tetapi sebagai fase stabilisasi dan konsolidasi, yang justru membuka jalan bagi perkembangan yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Dengan pelaku seperti Samir yang tetap bertahan dan berinovasi, serta dengan dukungan ekosistem yang matang, sektor fintech lending masih akan memainkan peran strategis dalam mendukung inklusi keuangan Indonesia di masa depan.