JAKARTA - Ketika wacana global tentang transisi energi bersih semakin mengemuka, Indonesia dihadapkan pada satu kenyataan yang kompleks: ketergantungan besar terhadap batu bara sebagai sumber energi utama. Dalam lanskap ini, Pulau Kalimantan memegang peranan yang tidak bisa diabaikan. Bukan hanya sebagai wilayah kaya sumber daya alam, Kalimantan juga menjadi pilar utama dalam menjaga pasokan energi nasional tetap stabil, terutama melalui produksi batu bara.
Data terbaru dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa pada tahun 2024, Kalimantan menyumbang 688 juta ton batu bara, setara dengan 82% dari total produksi nasional. Angka ini tidak hanya menegaskan posisi Kalimantan sebagai lumbung energi fosil, tetapi juga memperlihatkan tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap wilayah ini untuk menjaga keberlanjutan sektor energi dan kelistrikan nasional.
Ketergantungan Sistem Listrik Nasional terhadap Batu Bara
Masih menurut Kementerian ESDM, sebesar 40,56% dari seluruh pembangkit listrik di Indonesia masih menggunakan batu bara sebagai bahan bakar utama. Dari angka tersebut, sekitar 70% pasokan batu baranya berasal dari Kalimantan, menjadikan pulau ini sebagai penyuplai utama kebutuhan energi domestik.
Siti Sumilah Rita Susilawati, Sekretaris Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, menjelaskan bahwa dominasi batu bara dalam sistem energi nasional tidak lepas dari faktor efisiensi, ketersediaan, dan biaya yang lebih murah dibandingkan sumber energi lain. Namun, ia juga menekankan bahwa pemerintah kini berada dalam posisi strategis untuk menyeimbangkan antara kebutuhan energi dan komitmen terhadap transisi energi bersih.
“Peran Kalimantan dalam menjaga keandalan pasokan listrik nasional sangat signifikan, terutama karena sebagian besar pembangkit masih berbasis batu bara,” ujar Siti Sumilah Rita.
Dilema Energi Fosil dan Komitmen Transisi
Di satu sisi, Kalimantan adalah tulang punggung ketahanan energi Indonesia. Namun di sisi lain, kondisi ini juga menciptakan tantangan besar dalam mewujudkan komitmen Indonesia terhadap pengurangan emisi karbon dan transisi menuju energi bersih. Ketergantungan yang tinggi terhadap batu bara bisa menjadi hambatan dalam pencapaian target emisi nol bersih (net-zero emission) pada 2060.
Transisi energi tentu tidak bisa dilakukan secara instan. Pemerintah pun menyadari bahwa keberadaan batu bara masih dibutuhkan dalam jangka menengah untuk menjaga stabilitas pasokan energi nasional, terutama dalam konteks pembangunan dan peningkatan elektrifikasi di berbagai wilayah.
Namun demikian, strategi jangka panjang tengah disiapkan, termasuk mendorong diversifikasi sumber energi di Kalimantan sendiri. Beberapa proyek pembangkit berbasis energi terbarukan sudah mulai direncanakan di beberapa provinsi di Kalimantan, sebagai bagian dari rencana jangka panjang transisi energi nasional.
Potensi Kalimantan di Tengah Perubahan Paradigma Energi
Kalimantan tak hanya memiliki kekayaan batu bara, tetapi juga potensi luar biasa dalam pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT). Wilayah ini kaya akan potensi pembangkit tenaga air, panas bumi, dan tenaga surya. Bahkan, dengan adanya proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur, peluang pengembangan EBT semakin terbuka luas.
Proyek pembangunan IKN pun membawa semangat baru dalam membangun ekosistem energi yang lebih hijau. Pemerintah berkomitmen bahwa sistem kelistrikan di kawasan IKN akan mengandalkan energi terbarukan hingga mencapai 80% pada tahap awal. Dengan demikian, Kalimantan dapat bertransformasi dari sekadar lumbung energi fosil menjadi laboratorium energi hijau nasional.
Dukungan Infrastruktur dan Ekonomi Daerah
Peran Kalimantan sebagai sentra batu bara nasional juga memberikan dampak ekonomi yang besar bagi daerah. Pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor pertambangan, penciptaan lapangan kerja, serta pembangunan infrastruktur seperti pelabuhan, jalan tambang, dan rel kereta menjadi salah satu penggerak utama perekonomian lokal.
Namun, di balik kontribusi ekonomi itu, muncul pula tantangan lingkungan dan sosial. Eksploitasi batu bara dalam skala besar telah meninggalkan lahan bekas tambang yang kritis, pencemaran sungai, serta konflik lahan dengan masyarakat lokal. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan baru dalam pengelolaan sumber daya alam yang lebih berkelanjutan.
Sejumlah daerah di Kalimantan mulai mendorong penerapan praktik pertambangan yang lebih bertanggung jawab, termasuk pemulihan lahan pascatambang dan pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan energi.
Sinergi Pemerintah Pusat dan Daerah
Mengurangi ketergantungan terhadap batu bara sembari tetap menjaga pasokan energi tentu membutuhkan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah. Kalimantan, dalam konteks ini, memiliki posisi strategis yang perlu didukung dengan kebijakan fiskal, investasi infrastruktur, dan peningkatan kapasitas SDM.
Siti Sumilah Rita dalam pernyataannya menekankan pentingnya pendekatan holistik. Ia menyebutkan bahwa pemerintah akan terus mengatur keseimbangan antara eksploitasi energi fosil dan pengembangan energi bersih.
“Kita tidak bisa serta-merta menghentikan penggunaan batu bara, tapi harus kita kelola dengan bijak. Kalimantan tetap akan jadi pusat energi, namun arahnya mulai kita geser ke yang lebih ramah lingkungan,” tuturnya.
Jalan Panjang Menuju Energi Berkelanjutan
Kisah Kalimantan sebagai lumbung energi nasional menggambarkan dilema klasik antara kebutuhan pembangunan dan pelestarian lingkungan. Sebagai wilayah yang menyumbang lebih dari 80% produksi batu bara nasional, perannya sangat penting. Namun pada saat yang sama, Kalimantan juga memikul tanggung jawab besar dalam proses transformasi energi Indonesia.
Dengan strategi yang tepat, Kalimantan bukan hanya akan dikenal sebagai penghasil batu bara terbesar, tetapi juga sebagai pionir dalam membangun masa depan energi yang bersih, adil, dan berkelanjutan.