JAKARTA - Insiden tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di perairan Selat Bali bukan sekadar sebuah musibah tunggal. Tragedi ini mengingatkan kita pada masalah mendasar yang selama ini kerap terabaikan dalam pengelolaan keselamatan transportasi laut di Indonesia. Dengan sedikitnya enam korban jiwa dan puluhan penumpang yang selamat namun dalam kondisi trauma, peristiwa ini menjadi alarm keras yang menuntut evaluasi menyeluruh terhadap sistem pelayaran nasional.
Seringkali, ketika kecelakaan terjadi di laut, tanggapan awal kita adalah mengaitkannya dengan faktor alam atau nasib buruk. Namun, dalam kasus KMP Tunu Pratama Jaya, penyebab awal gangguan mesin yang diungkapkan hanyalah bagian dari cerita yang jauh lebih kompleks. Masalahnya bukan semata teknis, melainkan juga terkait pengawasan yang lemah, pelatihan awak kapal yang kurang memadai, serta pengabaian prosedur keselamatan yang seharusnya menjadi prioritas.
Hal ini bukan kasus pertama di Indonesia. Selama dua puluh tahun terakhir, tragedi serupa berulang kali terjadi, menunjukkan adanya pola kegagalan sistemik yang berakar dalam manajemen keselamatan laut. Seharusnya setiap insiden menjadi bahan pembelajaran dan perbaikan. Namun, faktanya, Indonesia tampak mengalami amnesia nasional terkait upaya meningkatkan standar keselamatan pelayaran publik.
Salah satu masalah yang sering menjadi sorotan adalah kelaikan kapal. Banyak kapal penumpang yang sudah tua dan kondisi teknisnya meragukan tetap dioperasikan. Ini bukan hanya soal kesalahan operator, melainkan juga cerminan dari longgarnya pengawasan oleh otoritas berwenang. Pemeriksaan rutin kadang menjadi formalitas belaka, di mana sertifikat laik laut dapat diperpanjang tanpa inspeksi mendalam. Kondisi ini tentu sangat berisiko bagi keselamatan penumpang. Tidak hanya itu, publik pun tidak memiliki akses transparan terhadap informasi kelayakan kapal, sehingga menggunakan jasa kapal laut ibarat mempertaruhkan nyawa.
Ketiadaan sistem peringatan dini yang efektif pun semakin memperparah situasi. Meskipun KMP Tunu Pratama Jaya sempat mengirim sinyal darurat, respons terhadap kondisi darurat tersebut berlangsung lamban dan tidak terkoordinasi dengan baik. Komunikasi antara kapal, otoritas pelabuhan, dan lembaga terkait seperti BMKG belum berjalan secara terpadu. Akibatnya, banyak penumpang tidak mendapatkan kesempatan untuk menyelamatkan diri secara maksimal.
Idealnya, kapal-kapal tidak diperbolehkan berlayar dalam kondisi cuaca buruk, tetapi tanpa sistem deteksi dan peringatan yang memadai, keputusan tersebut menjadi tidak pasti dan berisiko tinggi. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar: sejauh mana negara hadir dan bertanggung jawab atas keselamatan warganya di laut? Keselamatan pelayaran bukan hanya tugas operator kapal, melainkan kewajiban pemerintah yang harus memastikan regulasi ditegakkan dengan ketat.
Tragedi ini seharusnya menjadi panggilan serius bagi pemerintah untuk memperketat pengawasan dan inspeksi kapal secara berkala, memberlakukan sanksi berat terhadap pelanggaran keselamatan, serta menginvestasikan teknologi mutakhir dalam sistem pelayaran dan peringatan dini. Selain itu, keterlibatan masyarakat dalam pelaporan kondisi kapal dan insiden keselamatan juga penting untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.
Peran masyarakat dalam keselamatan pelayaran juga tidak kalah penting. Edukasi dan sosialisasi mengenai prosedur keselamatan laut masih sangat minim. Banyak penumpang yang tidak memahami cara menggunakan pelampung dengan benar atau tidak tahu apa yang harus dilakukan saat terjadi keadaan darurat. Kesadaran ini harus dibangun melalui kampanye keselamatan yang masif dan berkelanjutan, agar setiap orang memahami pentingnya kesiapsiagaan.
Bayangkan jika semua penumpang kapal mengerti lokasi pintu darurat, prosedur evakuasi, dan tindakan cepat dalam keadaan darurat. Potensi penyelamatan nyawa bisa jauh lebih besar ketika setiap individu bertindak tepat pada waktunya.
Untuk mencegah kejadian serupa berulang, beberapa langkah konkrit harus segera dilakukan, antara lain: audit menyeluruh terhadap armada kapal penumpang di seluruh Indonesia, transparansi penuh terkait kondisi kelaikan kapal dan rekam jejak kecelakaan, simulasi keselamatan rutin bagi kru dan penumpang, pemasangan sistem deteksi cuaca dan pelacakan kapal berbasis teknologi satelit, serta kampanye edukasi publik mengenai keselamatan pelayaran.
Tragedi KMP Tunu Pratama Jaya harus menjadi titik balik bagi seluruh pihak terkait. Bukan hanya sekadar reaksi emosional sesaat, melainkan transformasi nyata dalam paradigma keselamatan transportasi laut. Keselamatan adalah hak asasi manusia yang tidak boleh dikompromikan oleh alasan efisiensi atau keuntungan ekonomi semata.
Sebagai negara maritim, transportasi laut adalah urat nadi penghubung antarpulau yang vital. Jika tidak aman, maka ia justru menjadi ancaman bagi keselamatan rakyat dan penghambat kemajuan bangsa. Oleh karena itu, tindakan tegas dan reformasi menyeluruh harus dijalankan dengan sungguh-sungguh.
Jangan menunggu tragedi berikutnya terjadi untuk bertindak. Mari kita dorong pemerintah dan operator kapal agar lebih transparan, bertanggung jawab, dan mengutamakan keselamatan penumpang. Keselamatan bukan pilihan, melainkan kewajiban mutlak.
Sudah saatnya kita bersuara dan bertindak agar insiden seperti tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya tidak lagi menjadi bagian dari kisah kelam transportasi laut Indonesia. Bersama, kita bisa mewujudkan sistem pelayaran yang aman, terpercaya, dan berkelanjutan demi masa depan yang lebih baik.