JAKARTA - Dalam upaya membangun perekonomian nasional yang berkelanjutan dan mandiri, pemerintah Indonesia mulai menegaskan pentingnya penguatan sektor-sektor industri dasar. Di tengah perlambatan ekonomi global dan tantangan struktural dalam negeri, industri kimia dan logam dasar, khususnya baja, kembali disorot sebagai elemen krusial untuk menopang pertumbuhan ekonomi nasional yang ditargetkan mencapai 8 persen.
Hal ini bukan tanpa alasan. Kedua sektor ini bukan hanya berfungsi sebagai penyedia bahan baku bagi berbagai industri turunan, tetapi juga sebagai pengungkit bagi ketahanan ekonomi, transformasi industri, dan perluasan kelas menengah yang berdaya beli tinggi.
Mengapa Industri Kimia dan Baja Begitu Penting?
Menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, tanpa adanya industri dasar yang kuat, struktur perekonomian Indonesia akan tetap rapuh dan sulit bersaing secara global.
“Struktur industri suatu negara akan kuat jika ditopang oleh industri logam dasar dan industri kimia. Tanpa itu, tidak akan terbentuk fondasi industri yang kokoh,” tegas Amalia dalam sesi Outlook Industrialisasi Indonesia yang digelar oleh Persatuan Insinyur Indonesia (PII).
Industri kimia memberikan kontribusi penting dalam menghasilkan produk-produk antara yang menjadi bahan utama untuk banyak sektor seperti pertanian, farmasi, hingga manufaktur. Di sisi lain, industri baja menjadi tulang punggung bagi pengembangan infrastruktur nasional, otomotif, alat berat, hingga energi.
Lebih jauh, Amalia juga menekankan bahwa keberadaan industri dasar yang kuat menjadi syarat utama dalam membentuk dan memperbesar kelas menengah Indonesia. Kelas menengah dikenal sebagai kelompok masyarakat dengan pengaruh besar terhadap pola konsumsi domestik.
“Kelas menengah itu big spender. Mereka membantu menjaga daya beli dan menahan guncangan ekonomi,” tambahnya.
Hindari Jeratan Ekspor Mentah dan Dutch Disease
Indonesia selama ini masih mengandalkan ekspor bahan mentah yang nilainya rendah dan rentan terhadap fluktuasi harga global. Ketergantungan semacam ini pernah menyebabkan fenomena Dutch Disease, yakni situasi ketika lonjakan pendapatan dari komoditas mentah justru merusak sektor industri nasional karena nilai tukar yang menguat berlebihan.
Dalam konteks ini, sentuhan teknologi menjadi faktor pembeda. Menurut Amalia, pemanfaatan teknologi dalam proses hilirisasi dan pengolahan sumber daya alam menjadi keharusan agar Indonesia bisa keluar dari jerat ekspor mentah.
Strategi pengembangan industri dasar seperti baja dan kimia bukan hanya soal membangun pabrik, tapi juga soal membangun ekosistem yang mendorong penciptaan nilai tambah dalam negeri.
Industri Baja Lokal Butuh Proteksi
Dari sisi pelaku industri, Direktur Komersial dan Pengembangan Usaha PT Krakatau Steel Tbk (KRAS), Hernowo, menyampaikan bahwa secara kapasitas, industri baja nasional sudah mampu memenuhi sebagian besar kebutuhan dalam negeri.
“Kami mampu penuhi lebih dari 80% kebutuhan baja nasional dan 95% untuk proyek infrastruktur,” ungkap Hernowo.
Namun demikian, banjirnya produk baja impor menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan industri dalam negeri. Hernowo menilai, tanpa adanya kebijakan proteksi yang tepat, daya saing produsen lokal bisa terkikis.
Lebih lanjut, Hernowo menggarisbawahi pentingnya dukungan kebijakan melalui roadmap jangka panjang untuk industri baja nasional. Ia menyebut proyek besar seperti program PLN untuk membangun 50.000 km jaringan transmisi sebagai peluang strategis.
“Proyek PLN untuk 50.000 km jaringan transmisi harus dimanfaatkan sebagai peluang pengembangan pabrik dalam negeri: pabrik baja, kabel, hingga motor pembangkit,” katanya.
Data Jadi Bukti Nyata
Secara statistik, industri logam dasar menunjukkan performa impresif. Berdasarkan data BPS, sektor ini mencatat pertumbuhan tahunan sebesar 14,47% pada kuartal I, jauh melampaui sektor pengolahan batubara dan migas yang hanya tumbuh 7,28%.
Angka ini menjadi indikasi bahwa investasi dan perhatian terhadap industri baja tidak sia-sia. Dengan penguatan lebih lanjut, sektor ini dapat menjadi motor utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang berdaya saing tinggi.
Butuh Insinyur, Butuh Peta Jalan
Untuk mengawal semua rencana tersebut, peran insinyur dan SDM terampil tak bisa ditawar. Indonesia diperkirakan membutuhkan sekitar 100.000 insinyur bersertifikat internasional untuk menopang ambisi industrialisasi.
Oleh karena itu, berbagai pihak mendorong agar roadmap pengembangan industri juga disertai dengan penguatan sistem pendidikan vokasi, insentif untuk riset dan inovasi, serta skema pelatihan berskala nasional.
Menuju Transformasi Industri yang Tangguh
Membangun industri dasar seperti kimia dan baja bukan hanya agenda ekonomi, tetapi juga agenda strategis nasional. Kekuatan di sektor ini akan menentukan seberapa jauh Indonesia bisa melangkah sebagai negara yang mandiri dan berdaulat secara ekonomi.
Dengan ekosistem industri dasar yang tangguh, dukungan kebijakan yang berkelanjutan, serta keterlibatan semua pemangku kepentingan—Indonesia bukan hanya bisa mengejar pertumbuhan ekonomi 8%, tapi juga memperkuat fondasi untuk menjadi kekuatan industri baru di kawasan.