KULINER

Jalan Pagi Sambil Menyapa Produsen Kuliner Kampung Lontong di Surabaya

Jalan Pagi Sambil Menyapa Produsen Kuliner Kampung Lontong di Surabaya
Jalan Pagi Sambil Menyapa Produsen Kuliner Kampung Lontong di Surabaya

JAKARTA - Ketika sebagian besar warga Surabaya masih terlelap dalam hangatnya selimut dini hari, denyut aktivitas telah hidup lebih awal di sudut kecil kawasan Banyuurip Lor X dan XI, tepatnya di Kelurahan Kupang Krajan, Kecamatan Sawahan, Kota Surabaya. Di wilayah ini, suara aktivitas menggulung daun pisang, mencuci beras, dan menata kukusan menjadi bagian dari irama kehidupan harian yang khas.

Bukan sekadar rutinitas, namun telah menjadi identitas dan sumber penghidupan utama bagi banyak keluarga di kawasan tersebut. Tradisi turun-temurun ini dikenal luas sebagai sentra produksi lontong rumahan yang telah berlangsung puluhan tahun lamanya.

Sebuah Pagi yang Dimulai Sebelum Azan

Jika Anda datang ke Banyuurip Lor saat waktu Subuh masih beberapa jam lagi, Anda akan menjumpai pemandangan yang tak biasa bagi lingkungan permukiman padat perkotaan. Di hampir setiap rumah yang berada di gang kecil, para ibu dan anggota keluarga lainnya sudah memulai kegiatan memasak. Namun bukan untuk sarapan, melainkan untuk memproduksi ratusan hingga ribuan batang lontong yang nantinya akan disetorkan ke berbagai pedagang, pasar, dan langganan tetap di penjuru Surabaya.

Saat tim TribunJatim menyambangi rumah-rumah di kawasan tersebut, suasana masih temaram. Namun di balik pintu-pintu terbuka, para warga terlihat sibuk—ada yang sedang menggulung daun pisang secara cepat dan rapi, ada pula yang menakar beras lalu memasukkannya ke dalam gulungan daun, sambil sesekali bercakap ringan untuk menjaga suasana tetap hangat.

"Kalau tidak mulai dari tengah malam atau jam satu dini hari, nanti tidak cukup waktunya. Lontong ini harus dikukus minimal dua jam," ujar seorang ibu rumah tangga, sambil tetap melanjutkan pekerjaannya tanpa mengalihkan pandangan.

Bukan Sekadar Makanan, Tapi Sumber Kehidupan

Di Kupang Krajan, lontong bukan hanya sekadar hidangan pelengkap soto atau opor. Ia adalah sumber ekonomi rumah tangga. Sebagian besar ibu-ibu di lingkungan ini telah memproduksi lontong sejak usia remaja. Mereka diwarisi keterampilan ini dari orang tua mereka, dan kini juga mulai menularkannya kepada generasi muda.

Bagi banyak keluarga di Banyuurip Lor, penghasilan dari produksi lontong menjadi andalan utama. Setiap harinya, satu rumah bisa menghasilkan antara 200 hingga 500 batang lontong, tergantung pesanan dan kapasitas produksi.

"Kami tidak punya toko atau warung besar. Tapi setiap hari sudah ada yang datang ambil. Ada juga yang kami antar ke pasar," ungkap seorang warga lainnya.

Distribusi Lontong ke Penjuru Surabaya

Meski diproduksi secara rumahan, lontong-lontong dari Kupang Krajan memiliki kualitas dan cita rasa yang dikenal luas. Konsistensi tekstur, aroma daun pisang yang khas, serta kebersihannya menjadi keunggulan produk mereka.

Para pelanggan yang datang bervariasi—dari pedagang warung makan, penjaja makanan kaki lima, hingga pemilik katering dan usaha nasi kotak. Tak jarang, lontong-lontong dari sini juga dipesan dalam jumlah besar untuk acara hajatan, syukuran, maupun kegiatan keagamaan.

Sistem distribusi pun sudah berjalan secara informal namun terorganisir. Beberapa warga berperan sebagai pengantar, sebagian lainnya sudah memiliki relasi tetap di pasar-pasar seperti Pasar Kembang, Pasar Keputran, dan Pasar Turi.

Ketahanan Usaha Kecil dalam Gempuran Zaman

Meski tidak mencolok, apa yang dilakukan oleh warga Kupang Krajan menunjukkan ketahanan ekonomi mikro yang luar biasa. Dalam era digitalisasi, startup, dan transformasi bisnis yang serba cepat, mereka tetap mempertahankan metode tradisional namun berhasil menyuplai pasar kota metropolitan.

Kendati begitu, usaha ini juga dihadapkan pada berbagai tantangan, seperti kenaikan harga bahan baku (daun pisang, beras, kayu bakar atau gas), perubahan pola konsumsi masyarakat, serta fluktuasi permintaan.

"Kalau pas bulan puasa dan Lebaran, pesanan bisa dua kali lipat. Tapi kalau pas musim hujan atau ekonomi lesu, kadang harus ngurangin produksi," ungkap seorang produsen yang sudah menjalani usaha ini selama lebih dari 20 tahun.

Solidaritas Sosial yang Terbangun Lewat Dapur

Hal menarik lainnya adalah tingginya solidaritas antar warga di Kupang Krajan. Sering kali, satu rumah yang kebanjiran pesanan akan dibantu oleh tetangga lainnya untuk menyelesaikan pekerjaan. Tak jarang pula, bahan-bahan dibeli secara kolektif agar bisa menekan biaya produksi.

“Kita di sini saling bantu. Kalau ada yang kurang daun atau beras, tinggal bilang saja. Nanti dibantu,” ujar seorang ibu sambil tertawa ringan.

Hubungan sosial yang terbentuk dari kegiatan produksi lontong ini telah membentuk ekosistem ekonomi dan sosial yang harmonis. Tidak ada rasa iri antarprodusen, karena setiap rumah sudah punya jalur distribusi masing-masing.

Harapan dan Regenerasi

Meskipun sebagian generasi muda lebih tertarik untuk bekerja di sektor formal atau industri jasa, sebagian lainnya mulai menunjukkan minat meneruskan usaha orang tuanya. Apalagi ketika mereka menyadari bahwa usaha lontong ini bisa memberikan penghasilan harian yang stabil, serta waktu kerja yang lebih fleksibel.

Beberapa keluarga bahkan mulai mengembangkan kemasan baru untuk produk mereka, seperti lontong berlabel dan dikemas vakum untuk dikirim ke luar kota atau bahkan ke luar pulau.

Lontong, Simbol Ketekunan yang Terbungkus Rapi

Kupang Krajan mungkin bukan kawasan elite atau pusat bisnis, namun di sanalah nilai-nilai kerja keras, kebersamaan, dan ketekunan hidup—semua diracik dalam balutan daun pisang dan isian beras yang setiap hari diolah dengan penuh ketelatenan.

Apa yang dilakukan warga Banyuurip Lor X dan XI bukan hanya menghasilkan makanan, melainkan menghidupkan tradisi sekaligus menopang perekonomian keluarga dan komunitasnya. Lontong-lontong itu, meski tampak sederhana, membawa cerita tentang perjuangan yang senyap namun bermakna.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index