JAKARTA - Ruang publik kerap kali menjadi titik temu antara fungsi sosial, rekreasi, dan ekonomi. Fenomena ini terlihat jelas di kawasan Car Free Day (CFD) Jalan Ahmad Yani, Tanjung Redeb, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Kawasan tersebut kini menjadi ajang aktivitas masyarakat setiap akhir pekan, baik untuk berolahraga, bersosialisasi, maupun berdagang.
Namun, seiring meningkatnya antusiasme masyarakat dalam memanfaatkan ruang publik tersebut, muncul pula berbagai permasalahan baru. Salah satunya adalah maraknya pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang memanfaatkan jalur pedestrian di arena CFD untuk membuka lapak dagangan.
Kondisi ini mendapat perhatian serius dari berbagai pihak, termasuk dari Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Berau, Ayatullah Khomeiny, yang menilai perlu adanya langkah bijak dalam menyikapi persoalan tersebut.
Jalan Tengah antara Ketertiban dan Penghidupan
Menurut Ayatullah, penting untuk meninjau ulang kebijakan penataan ruang di CFD, namun tanpa mematikan mata pencaharian masyarakat kecil yang menggantungkan nasibnya dari berdagang di lokasi tersebut. Ia menegaskan bahwa pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama mencari jalan tengah agar ruang publik bisa tertata, tetapi tetap memberi ruang ekonomi bagi pelaku UMKM.
“Kondisi tersebut harus disikapi dengan bijak. Sebab, semangat menata ruang publik tidak boleh sampai mematikan geliat ekonomi pelaku UMKM yang bergantung pada lokasi CFD sebagai ladang usaha,” ujarnya.
Pernyataan ini mencerminkan keresahan banyak pihak terkait upaya pengaturan pedagang kaki lima (PKL) dan pelaku UMKM yang kerap kali bersinggungan dengan aturan ketertiban, namun tak jarang pula menjadi penopang roda ekonomi lokal.
CFD: Antara Olahraga, Rekreasi, dan Pasar Rakyat
CFD di Jalan Ahmad Yani sejatinya dimaksudkan sebagai ruang rekreasi aktif bagi masyarakat. Warga datang sejak pagi untuk berolahraga ringan, seperti jogging, bersepeda, atau sekadar berjalan santai. Namun dalam praktiknya, fungsi CFD telah berkembang menjadi pasar rakyat dadakan.
Berbagai jenis dagangan mulai dari makanan dan minuman, pakaian, mainan anak-anak, hingga produk kerajinan lokal, dijajakan oleh para pelaku UMKM. Bagi mereka, CFD bukan sekadar tempat mencari penghasilan, tetapi juga ajang promosi produk kepada masyarakat luas.
Di sisi lain, penggunaan jalur pedestrian oleh pedagang telah memunculkan keluhan dari sebagian masyarakat. Mereka menganggap trotoar yang semestinya digunakan untuk pejalan kaki justru terganggu karena banyaknya lapak UMKM yang menguasai area tersebut. Hal ini menimbulkan pertanyaan soal bagaimana seharusnya fungsi ruang publik dikelola secara ideal.
Perlu Kebijakan Kolaboratif
Permasalahan semacam ini bukan hal baru dan tidak hanya terjadi di Berau. Di berbagai kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung, dinamika antara fungsi ruang publik dan aktivitas ekonomi informal juga sering kali menimbulkan perdebatan. Oleh sebab itu, diperlukan pendekatan kolaboratif antara pemerintah daerah, pelaku UMKM, dan masyarakat sipil.
Menurut pengamatan berbagai pemerhati tata kota, solusi tidak bisa hanya dengan pendekatan penertiban semata. Perlu adanya zona-zona khusus UMKM di area CFD yang dikelola secara rapi dan terorganisir. Dengan begitu, pejalan kaki tetap memiliki ruangnya, sementara pelaku usaha tetap dapat beraktivitas secara legal dan tertib.
Ayatullah Khomeiny pun mendorong pemerintah daerah agar lebih inklusif dalam merancang kebijakan yang menyangkut ruang publik dan pelaku ekonomi kecil.
“Pemerintah seharusnya tidak hanya mempertimbangkan aspek estetika atau ketertiban semata, namun juga harus mempertimbangkan dampaknya terhadap pelaku usaha kecil. Mereka adalah bagian penting dari ekonomi daerah,” kata Ayatullah.
Ekonomi Rakyat Butuh Dukungan
UMKM merupakan tulang punggung perekonomian nasional, termasuk di Berau. Banyak di antara pelaku UMKM yang belum memiliki kios atau toko permanen, sehingga hanya mengandalkan lokasi-lokasi strategis seperti CFD untuk menjajakan produknya.
Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM, lebih dari 90 persen pelaku usaha di Indonesia berada dalam kategori mikro dan kecil. Oleh karena itu, kebijakan yang menyentuh UMKM harus mengandung unsur keberpihakan dan pemberdayaan, bukan sekadar penertiban.
Di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pascapandemi, keberadaan CFD menjadi angin segar bagi sebagian warga yang membutuhkan tambahan penghasilan. Masyarakat datang tidak hanya untuk rekreasi, tapi juga untuk berbelanja produk lokal, sehingga perputaran uang di tingkat bawah meningkat secara signifikan.
Potensi Edukasi dan Regulasi Alternatif
Pemerintah daerah bersama organisasi kemasyarakatan seperti HMI dapat berperan aktif dalam memberikan edukasi kepada pelaku UMKM terkait penataan lapak, penggunaan ruang, dan manajemen kebersihan. Pendekatan persuasif akan lebih efektif dalam jangka panjang dibandingkan penertiban yang bersifat represif.
Selain itu, regulasi alternatif dapat dikembangkan, misalnya dengan memberlakukan jam operasional bergilir, sistem kuota, atau insentif bagi pelaku UMKM yang tertib. Ini juga bisa menjadi peluang untuk menerapkan e-retribusi atau sistem digitalisasi pengelolaan CFD agar pengawasan dan pendataan pelaku usaha lebih efektif.
Sorotan terhadap pelaku UMKM yang menggunakan jalur pedestrian di CFD Tanjung Redeb seharusnya menjadi momentum untuk membangun dialog konstruktif antara semua pemangku kepentingan. Isu ini tidak bisa dilihat secara hitam putih. Ruang publik memang perlu dijaga fungsinya, namun pelaku usaha kecil juga butuh ruang hidup yang layak.
Pernyataan Ayatullah Khomeiny mencerminkan pentingnya kebijakan yang bijak, adil, dan berpihak, khususnya kepada masyarakat kecil yang terus berjuang di tengah tekanan ekonomi. Jika dikelola dengan baik, CFD bukan hanya menjadi ruang aktivitas warga, tetapi juga menjadi simbol kolaborasi antara ketertiban kota dan ekonomi rakyat.