JAKARTA - Indonesia mencatat capaian ekspor yang mengesankan pada lima bulan pertama tahun 2025, dengan nilai total mencapai USD111,98 miliar. Angka ini menunjukkan kenaikan sebesar 6,98 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Namun, di balik tren positif tersebut, komposisi ekspor menunjukkan adanya pergeseran menarik antara sektor migas dan nonmigas, dengan minyak kelapa sawit (CPO) yang kembali menjadi komoditas unggulan sekaligus primadona dalam mendorong pertumbuhan nilai ekspor.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS), Pudji Ismartini, menjelaskan bahwa ekspor migas justru mengalami penurunan sebesar 11,26 persen menjadi USD5,92 miliar. Sebaliknya, ekspor nonmigas menunjukkan tren meningkat, dengan nilai USD106,06 miliar atau naik 8,22 persen. Hal ini mempertegas pergeseran struktur ekspor Indonesia yang semakin bergantung pada produk-produk hasil pengolahan dan pertanian.
“Peningkatan ekspor nonmigas banyak ditopang oleh sektor industri pengolahan dan pertanian,” kata Pudji. Sektor industri pengolahan sendiri berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekspor, memberikan andil sebesar 12 persen pada kenaikan tersebut. Komoditas utama yang mengerek ekspor Indonesia di antaranya minyak kelapa sawit, logam dasar bukan besi, kimia dasar organik dari hasil pertanian, semikonduktor, serta mentega lemak dan minyak kakao.
- Baca Juga OPEC Optimis Permintaan Minyak Stabil
Pada bulan Mei 2025, nilai ekspor mencapai USD24,61 miliar, mengalami pertumbuhan tahunan sebesar 9,68 persen. Di sini, ekspor nonmigas naik lebih tajam sebesar 11,89 persen menjadi USD23,50 miliar, sementara ekspor migas justru turun 21,71 persen menjadi USD1,11 miliar.
Salah satu faktor utama yang mendongkrak ekspor Mei adalah lonjakan pada komoditas lemak dan minyak hewan atau nabati (HS15), yang meningkat 63,01 persen dan menyumbang 4,5 persen dari total ekspor nonmigas. Ini menegaskan posisi minyak kelapa sawit sebagai motor penggerak utama ekspor nonmigas yang vital bagi perekonomian nasional.
Jika ditelisik dari kontribusi sektor, ekspor nonmigas terbesar berasal dari industri pengolahan dengan nilai USD19,76 miliar, diikuti sektor pertambangan USD3,11 miliar, dan pertanian USD0,63 miliar. Secara kumulatif, tiga komoditas andalan—besi dan baja, batu bara, serta CPO dan turunannya—memberikan kontribusi signifikan, sekitar 29,01 persen terhadap total ekspor nonmigas Indonesia. Dari ketiganya, ekspor besi dan baja tumbuh 11,02 persen, CPO meningkat 27,89 persen, sementara batu bara justru menurun 19,10 persen.
Dalam konteks hubungan dagang internasional, Pudji mengungkapkan bahwa Tiongkok, Amerika Serikat, dan India menjadi tiga negara tujuan ekspor utama Indonesia dengan pangsa pasar gabungan mencapai 41,16 persen. Ekspor nonmigas ke Tiongkok naik 8,38 persen menjadi USD24,25 miliar. Namun, ekspor ke India mengalami penurunan, terutama disebabkan oleh menurunnya nilai ekspor bahan bakar mineral sebesar USD811,14 juta.
Dinamika ini mencerminkan tantangan sekaligus peluang Indonesia dalam menjaga keberlanjutan dan diversifikasi pasar ekspor. Penurunan ekspor migas menjadi pengingat bagi pemerintah dan pelaku usaha untuk terus mendorong hilirisasi dan pengembangan sektor manufaktur serta pertanian yang bernilai tambah tinggi. Minyak kelapa sawit, misalnya, bukan hanya menjadi sumber devisa yang penting, tetapi juga menjadi penopang utama dalam menjaga neraca perdagangan di tengah gejolak harga komoditas global.
Sektor industri pengolahan, yang merupakan ujung tombak peningkatan ekspor nonmigas, harus terus didukung agar mampu meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar global. Inovasi teknologi, peningkatan kualitas produk, dan perluasan jaringan pasar menjadi kunci keberhasilan dalam menghadapi persaingan internasional yang semakin ketat.
Selain itu, pemerintah perlu memperhatikan fluktuasi pasar negara tujuan ekspor utama, terutama India yang menunjukkan penurunan permintaan terhadap bahan bakar mineral. Diversifikasi pasar dan penguatan hubungan bilateral serta multilateral dapat menjadi strategi agar ekspor Indonesia tetap stabil dan tumbuh.
Dari sisi kebijakan, penguatan sektor hilirisasi menjadi strategi jangka panjang yang harus dipacu untuk mengurangi ketergantungan pada komoditas mentah dan meningkatkan nilai tambah produk ekspor. Hal ini sejalan dengan visi pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai negara industri yang maju dan mandiri.
Secara keseluruhan, data ekspor lima bulan pertama tahun 2025 menggambarkan gambaran positif bagi perekonomian Indonesia. Kenaikan nilai ekspor ini diharapkan dapat memberikan dampak yang luas, mulai dari pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, hingga peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dengan menjaga momentum kenaikan ekspor nonmigas dan terus berinovasi dalam mengelola sumber daya alam dan produk industri, Indonesia memiliki peluang besar untuk memperkuat posisi sebagai pemain penting dalam perdagangan global. Komoditas seperti minyak kelapa sawit yang menjadi primadona perlu dikelola secara berkelanjutan agar manfaatnya dapat dirasakan secara luas dan jangka panjang.