JAKARTA - Fluktuasi ekonomi global mulai memberi tekanan pada kebijakan fiskal nasional, terutama dalam sektor energi. Pemerintah Indonesia kini menghadapi tantangan besar dalam menjaga keberlanjutan subsidi listrik di tengah melemahnya nilai tukar rupiah dan lonjakan harga minyak mentah dunia. Kedua faktor tersebut menjadi pemicu utama potensi pembengkakan anggaran subsidi listrik pada tahun anggaran 2025.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui laporan terbarunya memperkirakan bahwa kebutuhan subsidi listrik pada 2025 bisa mencapai Rp 90,32 triliun. Angka ini melampaui alokasi subsidi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang hanya sebesar Rp 87,72 triliun, atau terjadi selisih lebih tinggi sebesar Rp 2,6 triliun.
Faktor Eksternal Jadi Pemicu Kenaikan
Kondisi fiskal yang lebih berat pada 2025 bukan terjadi tanpa alasan. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jisman Hutajulu, menjelaskan bahwa faktor utama pendorong meningkatnya kebutuhan subsidi listrik adalah volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan pergerakan harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP).
“Kenaikan kebutuhan subsidi listrik tidak lepas dari volatilitas nilai tukar rupiah dan harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP),” kata Jisman dalam keterangan resmi.
Pernyataan tersebut menggarisbawahi bagaimana dinamika global seperti perang dagang, konflik geopolitik, dan ketegangan pasar energi internasional turut berdampak pada struktur pembiayaan energi dalam negeri.
Proyeksi Subsidi Lampaui Anggaran, Pemerintah Siapkan Antisipasi
Kementerian ESDM menilai bahwa selisih antara kebutuhan riil dan alokasi dalam APBN sebesar Rp 2,6 triliun harus diantisipasi dengan perhitungan fiskal yang lebih matang. Pemerintah berpotensi melakukan penyesuaian anggaran di tengah tahun jika tren nilai tukar dan harga minyak tidak mengalami perbaikan.
Kebutuhan tambahan anggaran subsidi tersebut akan dibahas lebih lanjut bersama Kementerian Keuangan, termasuk kemungkinan realokasi anggaran atau pemberian kompensasi ke PT PLN (Persero) sebagai pelaksana layanan kelistrikan.
Meski demikian, subsidi energi—terutama listrik—merupakan bagian dari komitmen pemerintah untuk menjamin keterjangkauan harga bagi masyarakat, terutama kelompok rumah tangga menengah ke bawah yang masuk dalam golongan subsidi seperti pelanggan daya 450 VA dan 900 VA.
Ketergantungan Subsidi dan Risiko Fiskal Jangka Panjang
Lonjakan kebutuhan subsidi listrik pada 2025 ini kembali membuka diskusi mengenai keberlanjutan model subsidi energi di Indonesia. Di satu sisi, subsidi energi berperan penting dalam menjaga daya beli masyarakat dan mendukung aktivitas perekonomian. Namun di sisi lain, anggaran subsidi yang terus membengkak berisiko menggerus belanja negara untuk sektor produktif lainnya, seperti pendidikan, infrastruktur, dan kesehatan.
Pengamat energi dan kebijakan publik menilai, perlu ada strategi jangka panjang untuk memperbaiki struktur tarif dan subsidi, agar tidak terus menerus membebani APBN. Salah satunya adalah dengan mempercepat program elektrifikasi berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT), yang dapat mengurangi ketergantungan pada pembangkit berbasis bahan bakar fosil.
Peran PLN dan Mekanisme Kompensasi
Dalam ekosistem kelistrikan nasional, PT PLN (Persero) memegang peran kunci sebagai operator dan penyedia layanan bagi mayoritas konsumen. Dengan adanya selisih antara tarif keekonomian dan tarif subsidi yang dibayarkan masyarakat, PLN menerima kompensasi dari pemerintah atas selisih tersebut.
Namun dalam praktiknya, beban fiskal yang tinggi dan keterlambatan pembayaran kompensasi dapat memengaruhi kondisi keuangan PLN. Oleh karena itu, kejelasan dan ketepatan waktu pencairan subsidi menjadi penting agar PLN dapat menjaga kelangsungan operasional dan investasi jaringan kelistrikan.
Pengaruh ICP dan Nilai Tukar dalam Perhitungan Subsidi
Sebagai komoditas yang sangat sensitif terhadap pasar global, harga minyak mentah Indonesia (ICP) menjadi indikator penting dalam perhitungan biaya pokok penyediaan listrik. Semakin tinggi harga minyak, semakin besar pula biaya operasional pembangkit yang menggunakan bahan bakar berbasis minyak dan gas.
Tak hanya itu, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga memperbesar ongkos impor komponen pembangkit, suku cadang, dan bahan bakar. Hal ini secara otomatis mendorong naiknya biaya pokok penyediaan listrik (BPP), yang pada akhirnya meningkatkan beban subsidi ketika tarif kepada konsumen tidak disesuaikan.
Kondisi tersebut membuat kebijakan subsidi listrik sangat tergantung pada ketahanan ekonomi makro. Maka dari itu, sinergi antara kebijakan moneter, fiskal, dan energi harus terus diperkuat agar subsidi dapat dijaga dalam batas kewajaran.
Tekanan Tambahan dari Permintaan Listrik yang Meningkat
Kebutuhan listrik di Indonesia terus meningkat seiring pertumbuhan populasi, ekspansi industri, serta percepatan digitalisasi. Dengan meningkatnya permintaan, beban subsidi secara absolut juga bertambah apabila tidak ada penyesuaian struktur tarif.
Di sisi lain, program elektrifikasi nasional yang menyasar wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) turut meningkatkan kebutuhan belanja negara untuk infrastruktur kelistrikan, yang dalam banyak kasus membutuhkan biaya tinggi akibat sulitnya akses dan logistik.
Kebijakan Energi Perlu Reorientasi Berbasis Efisiensi
Menghadapi tantangan subsidi listrik yang terus meningkat, pemerintah didorong untuk melakukan reorientasi kebijakan energi dengan mengedepankan efisiensi dan keberlanjutan. Salah satunya adalah dengan mendorong pemanfaatan teknologi smart grid, energi terbarukan, dan digitalisasi sistem distribusi agar biaya produksi listrik dapat ditekan.
Selain itu, transparansi dalam alokasi subsidi dan penguatan mekanisme pengawasan juga diperlukan agar subsidi benar-benar tepat sasaran, khususnya untuk rumah tangga miskin dan rentan.
Keseimbangan antara Perlindungan dan Kesehatan Fiskal
Kementerian ESDM telah mengingatkan bahwa outlook subsidi listrik tahun 2025 berpotensi menembus Rp 90,32 triliun, atau lebih tinggi Rp 2,6 triliun dari alokasi APBN yang tercatat sebesar Rp 87,72 triliun. Seiring meningkatnya tekanan dari fluktuasi nilai tukar dan harga minyak mentah, pemerintah perlu menjaga keseimbangan antara menjaga akses energi yang terjangkau dengan menjaga disiplin fiskal.
Dalam jangka menengah hingga panjang, reformasi struktur subsidi menjadi suatu keniscayaan. Tanpa strategi yang berkelanjutan, lonjakan subsidi bisa menjadi beban yang berat bagi APBN dan mempersempit ruang fiskal untuk pembangunan nasional lainnya.