JAKARTA - Di tengah dinamika harga minyak global dan upaya pemerintah untuk menggenjot produksi energi dalam negeri, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat bahwa rata-rata capaian lifting minyak bumi Indonesia pada lima bulan pertama tahun 2025 masih berada di bawah target. Hingga Mei 2025, angka produksi minyak mentah yang berhasil diangkat atau dikenal dengan istilah “lifting” tercatat berada di kisaran 568 ribu barel per hari (BOPD).
Capaian tersebut menandakan masih adanya sejumlah hambatan teknis dan struktural dalam menjaga kestabilan produksi minyak nasional. Angka tersebut juga masih berada di bawah target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang sebelumnya ditetapkan sebesar 635 ribu BOPD.
Situasi Terkini Lifting Minyak: Di Balik Target yang Belum Tercapai
Produksi minyak bumi merupakan indikator vital bagi perekonomian Indonesia, terutama dalam menopang pendapatan negara dari sektor energi. Namun, fluktuasi lifting minyak selama beberapa tahun terakhir menunjukkan adanya tekanan yang belum sepenuhnya teratasi.
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas) Kementerian ESDM dalam laporannya menyebutkan bahwa capaian lifting per Mei 2025 masih stagnan, bahkan cenderung menurun tipis dibanding periode yang sama tahun lalu. Realisasi 568 ribu BOPD ini menjadi pengingat akan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap pengelolaan blok-blok migas eksisting, efisiensi investasi, serta pembenahan dari sisi teknologi dan perizinan.
Faktor Penghambat: Dari Teknis Hingga Iklim Investasi
Penurunan capaian lifting tidak dapat dilepaskan dari berbagai faktor yang saling berkaitan. Salah satu penyebab utama adalah menurunnya laju produksi di sejumlah lapangan migas tua yang menjadi tulang punggung lifting nasional, seperti Lapangan Duri dan Minas yang dikelola PT Chevron Pacific Indonesia (kini diambil alih Pertamina Hulu Rokan).
Di samping itu, masih banyak proyek pengembangan dan eksplorasi baru yang belum mencapai fase produksi karena terkendala pada proses perizinan, masalah pembebasan lahan, hingga ketidakpastian investasi.
“Sebagian besar lapangan migas kita adalah lapangan tua dengan tingkat penurunan produksi alami (decline rate) yang tinggi. Untuk mengimbanginya, dibutuhkan teknologi dan investasi yang besar,” ujar pejabat di lingkungan Kementerian ESDM dalam keterangannya.
Kebutuhan Terhadap Teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR)
Salah satu solusi jangka panjang yang menjadi perhatian pemerintah dan pelaku industri adalah penerapan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) atau peningkatan perolehan minyak. Teknologi ini diyakini dapat memperpanjang umur produksi lapangan dan meningkatkan volume lifting secara signifikan.
Namun, implementasi EOR bukan tanpa kendala. Biaya tinggi dan kebutuhan dukungan teknologi modern menjadikan proyek EOR cenderung terbatas pada perusahaan besar atau proyek yang telah melalui studi kelayakan menyeluruh.
Upaya Pemerintah: Evaluasi dan Optimalisasi Blok Eksisting
Dalam merespons kondisi ini, pemerintah menyatakan akan memperkuat strategi pengelolaan migas dengan menitikberatkan pada efisiensi di blok-blok eksisting, serta percepatan transformasi investasi untuk proyek eksplorasi baru.
Langkah konkret dilakukan melalui pembentukan Satuan Tugas Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) yang memiliki mandat mempercepat realisasi investasi dan produksi. Salah satu prioritasnya adalah mendorong kontraktor migas agar mempercepat proses pengeboran dan penyelesaian proyek pengembangan lapangan.
“Kami terus mendorong percepatan realisasi proyek-proyek migas nasional, khususnya di wilayah kerja potensial seperti Blok Masela, Andaman II, dan offshore di Papua Barat,” ujar perwakilan SKK Migas dalam diskusi terbatas bulan lalu.
Dampak Terhadap Penerimaan Negara dan Ketahanan Energi
Lifting minyak yang tidak mencapai target tentu berpengaruh langsung terhadap penerimaan negara dari sektor hulu migas. Mengingat migas masih menjadi salah satu penyumbang utama dalam struktur APBN, penurunan ini bisa menekan kemampuan fiskal pemerintah, terutama dalam konteks belanja negara yang terus meningkat.
Dari sisi ketahanan energi, ketidakstabilan produksi domestik membuka celah bagi peningkatan impor minyak mentah maupun bahan bakar olahan. Ketergantungan pada pasar global tentu membuat Indonesia lebih rentan terhadap fluktuasi harga internasional yang bisa berimbas pada harga BBM di dalam negeri.
Kolaborasi dengan Swasta dan Insentif Investasi
Untuk mengatasi stagnasi lifting, pemerintah juga menjalin kerja sama erat dengan pihak swasta. Skema kontrak kerja sama berbasis gross split, fleksibilitas pembagian risiko, dan insentif fiskal menjadi daya tarik yang ditawarkan kepada investor untuk mengelola blok-blok migas nasional.
Sektor hulu migas yang padat modal membutuhkan kepercayaan investor terhadap kepastian hukum dan kepastian keekonomian proyek. Oleh sebab itu, Direktorat Jenderal Migas terus melakukan evaluasi kebijakan agar iklim investasi tetap terjaga dan menarik.
Momentum Evaluasi dan Transformasi
Capaian lifting minyak bumi Indonesia yang masih di bawah target pada awal 2025 menjadi refleksi atas kompleksitas pengelolaan energi fosil di tengah transisi menuju energi bersih. Meski demikian, momentum ini juga membuka ruang untuk mengevaluasi strategi nasional dalam sektor hulu migas.
Diperlukan sinergi antara pemerintah, BUMN, dan sektor swasta dalam meningkatkan efisiensi produksi, percepatan proyek eksplorasi, serta penerapan teknologi modern yang mendukung produktivitas lapangan.
Dengan kerja sama yang kuat dan kebijakan yang adaptif, Indonesia tetap memiliki peluang untuk mengoptimalkan sumber daya alamnya demi mendukung ketahanan energi nasional serta menjaga kontribusi sektor migas terhadap pembangunan ekonomi jangka panjang.