JAKARTA - Dorongan menuju keberlanjutan kini tidak hanya menjadi tren, tetapi kebutuhan strategis di dunia bisnis, termasuk industri asuransi. Perubahan iklim, tuntutan konsumen terhadap produk yang etis, serta regulasi yang semakin ketat telah mendorong perusahaan asuransi untuk mempertimbangkan penawaran produk ramah lingkungan atau dikenal sebagai “asuransi hijau.”
Hasil survei yang dilakukan GlobalData memperlihatkan bahwa kesadaran ini bukan sekadar jargon. Lebih dari dua perlima profesional di industri asuransi percaya bahwa menyediakan produk yang mendukung prinsip keberlanjutan adalah langkah penting bagi masa depan bisnis mereka. Para pelaku industri yang mampu menyesuaikan diri dengan nilai-nilai lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) dipandang memiliki peluang lebih besar untuk menjaga loyalitas pelanggan, mengelola risiko dengan lebih efektif, sekaligus memperkuat posisi kompetitif dalam jangka panjang.
Survei kuartal ketiga 2025 yang dilakukan GlobalData melalui jaringan situs Verdict Media melibatkan lebih dari 100 responden dari kalangan profesional industri. Hasilnya, 41,9% eksekutif bisnis menyatakan bahwa penawaran produk atau layanan asuransi ramah lingkungan adalah hal yang sangat penting. Sebanyak 16,2% menganggapnya cukup penting. Namun, menariknya, masih ada 30,5% pelaku industri yang menilai produk asuransi hijau tidak krusial posisi yang berpotensi membuat mereka tertinggal dalam inovasi dan pengembangan produk di masa depan.
- Baca Juga BRI Singapura Cetak Laba Gemilang
Beatriz Benito, Analis Asuransi Utama GlobalData, menegaskan bahwa tren ini lahir dari tantangan nyata yang dihadirkan perubahan iklim. Asuransi hijau, jelasnya, mencakup rangkaian produk dan praktik bisnis yang mengintegrasikan faktor-faktor ESG di setiap tahap rantai nilai. “Kesadaran konsumen tentang isu-isu lingkungan pun meningkat, dan banyak yang kini mengharapkan adanya pilihan yang ramah lingkungan, termasuk dalam asuransi,” ujar Benito.
Kecenderungan ini turut tercermin dalam temuan Survei Konsumen Asuransi Tren Berkembang 2024 dari GlobalData. Dalam survei tersebut, 51,3% responden meyakini bahwa perusahaan asuransi memiliki peran dalam menghadapi perubahan iklim. Sebaliknya, 28,1% menganggap hal tersebut bukan tanggung jawab langsung perusahaan asuransi, sementara 20,6% lainnya belum memiliki pandangan yang pasti.
Salah satu indikator paling jelas dari meningkatnya kesadaran ini adalah kesediaan konsumen membayar lebih untuk mendapatkan produk yang sejalan dengan nilai keberlanjutan. Data survei menunjukkan bahwa 59,1% responden rela mengeluarkan biaya tambahan demi polis asuransi dari perusahaan yang memiliki komitmen kuat terhadap etika, keberlanjutan, dan lingkungan. Bahkan, 29,6% di antaranya bersedia membayar hingga 5% lebih mahal. Di sisi lain, 34,1% menyatakan tidak bersedia mengeluarkan biaya ekstra.
Survei yang sama dilakukan secara global, melibatkan 5.520 responden berusia 18 tahun ke atas dari 11 negara di berbagai kawasan, dengan minimal 500 responden per negara. Penelitian ini memotret tren dan persepsi konsumen secara lintas wilayah, memberikan gambaran bagaimana ESG memengaruhi keputusan pembelian di industri asuransi.
Benito menjelaskan bahwa dorongan menuju asuransi ramah lingkungan tidak hanya datang dari tuntutan konsumen. Faktor mitigasi risiko juga memegang peran penting. Perubahan iklim meningkatkan frekuensi kejadian cuaca ekstrem dan bencana alam seperti banjir, kebakaran hutan, dan tsunami. Peristiwa-peristiwa ini berdampak langsung pada lonjakan klaim, sehingga memengaruhi stabilitas keuangan perusahaan asuransi.
“Perusahaan asuransi dapat menawarkan produk ramah lingkungan dalam upaya memitigasi risiko terkait iklim,” jelas Benito. Salah satu contohnya adalah pemberian diskon premi bagi rumah dan kendaraan yang hemat energi, atau penggunaan material bangunan berkelanjutan. Insentif seperti ini tidak hanya mengurangi dampak lingkungan, tetapi juga membantu menekan potensi klaim di masa depan.
Selain faktor pasar dan risiko, dukungan regulasi semakin memperkuat arah ini. Pemerintah dan lembaga pengawas di berbagai negara mulai menerapkan aturan yang mewajibkan penerapan praktik ESG, termasuk kewajiban pengungkapan kinerja keberlanjutan. Perusahaan asuransi yang mengabaikan tren ini berpotensi menghadapi hambatan hukum sekaligus kehilangan kepercayaan publik.
Benito menegaskan bahwa komitmen terhadap keberlanjutan akan membawa keuntungan jangka panjang. “Pada akhirnya, perusahaan asuransi yang dapat menunjukkan komitmen lingkungan akan meningkatkan reputasi merek mereka dan meningkatkan kepercayaan di antara konsumen, yang pada gilirannya akan membantu mereka memposisikan diri sebagai organisasi yang berpikiran maju dan bertanggung jawab, sekaligus berpotensi memungkinkan mereka untuk mengenakan biaya lebih tinggi untuk produk mereka,” tutupnya.
Melihat data dan analisis tersebut, jelas bahwa keberlanjutan bukan lagi sekadar strategi pemasaran, melainkan elemen inti dalam model bisnis asuransi modern. Perusahaan yang mampu memadukan inovasi produk dengan prinsip-prinsip ramah lingkungan akan berada di posisi yang lebih siap menghadapi risiko iklim, memenuhi ekspektasi konsumen, serta mematuhi regulasi yang terus berkembang. Sebaliknya, perusahaan yang memilih untuk tidak beradaptasi berisiko kehilangan relevansi dan daya saing di pasar global.
Dengan tren ESG yang semakin kuat, industri asuransi kini berada di persimpangan penting: apakah mereka akan menjadi pelaku perubahan yang proaktif atau sekadar pengikut arus yang lambat merespons? Jawabannya akan menentukan peta persaingan industri ini di masa depan.