JAKARTA - Isu integritas dalam penelitian akademik kembali menjadi sorotan tajam. Bukan hanya karena keterlibatan individu peneliti, melainkan karena adanya sinyal sistemik yang mencuat dari laporan terbaru: lima universitas ternama di Indonesia kini masuk dalam daftar "red flag" dan "high risk" terkait integritas riset ilmiah. Temuan ini menyibak fakta menyedihkan bahwa krisis integritas bukan lagi isu terselubung, melainkan masalah yang menghantam langsung jantung kredibilitas dunia pendidikan tinggi Indonesia.
Bukan sekadar laporan tahunan biasa, temuan ini menyeret pertanyaan besar mengenai praktik riset, kualitas pembimbingan akademik, hingga lemahnya sistem pengawasan di banyak institusi pendidikan. Dengan reputasi internasional yang selama ini dijaga ketat melalui akreditasi dan publikasi, masuknya perguruan tinggi papan atas dalam daftar merah menjadi alarm keras: ada yang salah dalam ekosistem ilmiah kita.
Masuknya Kampus Elit dalam Daftar "Berisiko Tinggi"
Dunia maya sontak ramai setelah laporan nasional tersebut dirilis. Beberapa kampus yang selama ini dianggap sebagai pilar intelektual negeri mendadak tercantum sebagai institusi dengan tingkat risiko tinggi dalam integritas riset. Kategori ini bukan tanpa dasar; indikator yang digunakan mencakup dugaan plagiarisme, manipulasi data, konflik kepentingan, hingga kurangnya transparansi dalam publikasi.
Red flag yang dimaksud bukan sekadar pelanggaran kecil, melainkan potensi kegagalan sistemik yang berdampak luas: bagi dosen, mahasiswa, mitra industri, hingga kebijakan nasional yang lahir dari riset-riset tersebut.
Dampak Langsung ke Mahasiswa: Reputasi dan Validitas Ijazah
Salah satu konsekuensi paling nyata adalah potensi turunnya kepercayaan publik terhadap kualitas lulusan dari kampus-kampus tersebut. Meski sebagian besar mahasiswa tidak terlibat langsung dalam praktik riset yang bermasalah, mereka tetap membawa nama institusi di setiap ijazah, resume, dan portofolio yang diajukan ke dunia kerja atau studi lanjut.
“Kalau kampus saya masuk red flag, apa saya masih punya peluang beasiswa luar negeri?” keluh salah satu mahasiswa pascasarjana dari salah satu kampus yang terdampak. Kekhawatiran ini bukan isapan jempol, karena banyak lembaga donor atau universitas luar negeri mempertimbangkan track record akademik institusi asal saat menilai calon penerima program.
Dimensi Moral: Etika Akademik yang Terkikis
Red flag bukan hanya mencerminkan pelanggaran teknis, tetapi keretakan pada etika akademik yang menjadi dasar dari segala aktivitas ilmiah. Dalam budaya riset yang sehat, integritas adalah tiang utama. Ketika data dimanipulasi atau publikasi dicapai lewat jalan pintas, nilai-nilai akademik seperti kejujuran, akuntabilitas, dan tanggung jawab runtuh secara perlahan.
Sebagian pengamat menyebut bahwa praktik ini bisa terjadi karena target publikasi yang terlalu menekan, sistem insentif yang lebih menilai kuantitas daripada kualitas, serta minimnya sanksi tegas atas pelanggaran. Akibatnya, dosen dan peneliti merasa didorong untuk "menyesuaikan" hasil agar lolos jurnal terindeks, tanpa memikirkan dampak jangka panjang.
Apa Kata Pemerintah dan Lembaga Penjamin Mutu?
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sempat menyatakan akan meningkatkan pengawasan terhadap tata kelola riset di perguruan tinggi. Selain itu, Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan Tinggi (LPMPT) dan Ditjen Dikti juga mulai mengkaji ulang sistem audit publikasi ilmiah, termasuk penguatan sistem anti-plagiarisme dan transparansi data riset.
Namun, banyak pihak menilai pendekatan ini masih reaktif. “Perlu pendekatan sistemik, bukan hanya memperbaiki gejala. Selama sistem insentif masih menyuburkan publikasi semu, dan budaya akademik tidak berubah, kasus serupa akan terus berulang,” ujar seorang pengamat pendidikan dari UIN Jakarta.
Peran Mahasiswa dalam Membangun Ulang Integritas
Di tengah krisis kepercayaan ini, mahasiswa juga perlu mengambil peran. Beberapa organisasi kemahasiswaan mulai mendorong terbentuknya komite etik independen di tingkat fakultas maupun universitas. Mereka juga menggalakkan literasi etika riset melalui diskusi, pelatihan, dan seminar terbuka, agar budaya integritas tidak sekadar slogan.
“Kita sebagai mahasiswa tidak hanya pengguna sistem, tapi juga pelaku perubahan,” ujar Dewi, mahasiswa jurusan Biologi di Yogyakarta. Ia aktif dalam komunitas riset mahasiswa yang kini memperketat proses peer review internal mereka.
Jalan Panjang Memulihkan Kepercayaan
Masuknya kampus besar ke daftar merah integritas riset adalah tamparan keras bagi dunia akademik Indonesia. Namun justru di titik inilah pembenahan harus dimulai. Transparansi, akuntabilitas, dan keterlibatan semua pihak—mulai dari birokrasi kampus, dosen, mahasiswa, hingga lembaga eksternal—menjadi kunci untuk memulihkan reputasi dan memperkuat fondasi riset yang sehat.
Jangan sampai status red flag hanya dianggap aib sesaat. Ia harus menjadi cermin besar bagi seluruh perguruan tinggi di tanah air bahwa mengejar reputasi tak bisa mengorbankan etika. Bahwa membentuk ilmuwan bukan hanya soal mencetak publikasi, tapi juga soal menanamkan nilai-nilai kebenaran dan kejujuran.