Aturan Pajak Baru untuk Pedagang Online

Selasa, 15 Juli 2025 | 10:11:21 WIB
Aturan Pajak Baru untuk Pedagang Online

JAKARTA - Di tengah terus berkembangnya ekonomi digital, pemerintah terus mengadaptasi regulasi perpajakan agar tetap relevan. Salah satu kebijakan terbaru menyasar para pelaku usaha yang memanfaatkan sistem perdagangan elektronik (PMSE), termasuk marketplace dan platform e-commerce. Melalui regulasi yang sudah diteken, pemerintah menetapkan skema pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) terhadap pedagang online yang memiliki omzet di atas batas tertentu.

Kebijakan ini ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025. Regulasi tersebut memperjelas peran marketplace sebagai pihak pemungut, penyetor, dan pelapor PPh Pasal 22 atas penghasilan para pedagang dalam negeri yang bertransaksi secara elektronik.

Aturan ini berlaku baik bagi pelaku usaha perorangan (wajib pajak orang pribadi) maupun entitas bisnis (wajib pajak badan). Marketplace, dalam hal ini, diberi wewenang untuk langsung memotong pajak dari penghasilan pedagang sesuai ketentuan yang berlaku.

Batas Omzet Jadi Penentu Pemungutan Pajak

Salah satu poin penting dari regulasi ini adalah pembagian kategori berdasarkan jumlah omzet tahunan. Bagi wajib pajak orang pribadi yang memiliki omzet hingga Rp500 juta per tahun, tidak ada kewajiban PPh yang dikenakan oleh marketplace.

“Sampai dengan peredaran bruto-nya Rp500 juta memang enggak kena PPh, UU HPP pasal 7 mengatur itu,” jelas Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Kementerian Keuangan, Hestu Yoga Saksama, dalam sesi media briefing di Jakarta.

Namun, ketika omzet sudah melebihi Rp500 juta, kewajiban pajak mulai berlaku. Untuk pedagang yang memiliki omzet antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar per tahun, maka akan dikenakan tarif PPh Final sebesar 0,5 persen. Hal ini mengacu pada ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022.

PPh Final 0,5 persen ini bersifat tetap selama pedagang masih memenuhi kriteria yang ditentukan dalam PP tersebut. Jika omzet melampaui Rp4,8 miliar atau wajib pajak tidak lagi memenuhi ketentuan PP 55, maka perlakuan PPh sedikit berbeda. Meskipun tarifnya tetap 0,5 persen, statusnya bukan lagi pajak final, melainkan dapat menjadi kredit pajak dalam pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.

Kewajiban Marketplace Semakin Besar

Dengan regulasi ini, marketplace tidak hanya berfungsi sebagai perantara transaksi, tetapi juga memiliki tanggung jawab administratif untuk memungut dan menyetor pajak penghasilan dari para pedagang yang memenuhi kriteria.

Pungutan ini berlaku terhadap seluruh transaksi yang dilakukan melalui platform mereka, selama pedagang tersebut masuk dalam kategori wajib pajak sebagaimana disebutkan dalam aturan. Artinya, marketplace harus menyesuaikan sistem operasional dan pelaporan untuk mendukung pemungutan pajak secara otomatis.

Pemerintah berharap skema ini akan mendorong kepatuhan pajak secara lebih luas di sektor ekonomi digital, sekaligus memberikan kemudahan bagi pelaku usaha kecil yang masih berada di bawah ambang batas Rp500 juta agar tidak terbebani kewajiban yang berlebihan.

Pemisahan Perlakuan Bagi Wajib Pajak Badan

Kebijakan ini juga memberikan perhatian khusus pada pelaku usaha berbentuk badan hukum. Wajib pajak badan yang memiliki omzet di atas Rp4,8 miliar setahun secara otomatis akan dikenakan PPh 0,5 persen yang bersifat sebagai kredit pajak, bukan final.

Namun, jika omzet badan usaha masih di bawah Rp4,8 miliar dan tetap memenuhi syarat sesuai PP 55, mereka masih dapat memanfaatkan tarif PPh Final 0,5 persen.

“Kalau di atas Rp4,8 miliar jadi semacam kredit pajak, bukan final lagi. Jadi semua dimudahkan, ini menjadi kata kunci PMK yang kita keluarkan ini,” terang Yoga lebih lanjut.

Pemerintah menekankan fleksibilitas dan kemudahan sebagai prinsip utama dari PMK ini. Tidak ada perubahan tarif drastis, tetapi pendekatan administratif lebih sistematis dan transparan, dengan melibatkan marketplace sebagai perpanjangan tangan pemerintah dalam pelaksanaan pajak digital.

Manfaat untuk Pedagang dan Negara

Dengan sistem ini, pedagang online dapat menikmati kemudahan dalam memenuhi kewajiban perpajakan mereka tanpa proses yang rumit. Mereka cukup fokus pada peningkatan omzet dan pengelolaan usaha, sementara kewajiban PPh telah diproses secara otomatis oleh platform marketplace.

Di sisi lain, negara memperoleh basis data perpajakan yang lebih akurat dari sektor yang sebelumnya sulit dijangkau. Kegiatan ekonomi digital yang sangat dinamis kini dapat dimonitor dan dipetakan dengan lebih baik melalui sistem ini.

Pentingnya Pemahaman dan Kepatuhan

Kunci dari penerapan kebijakan ini adalah pemahaman yang baik dari para pedagang online. Tidak sedikit pelaku UMKM digital yang belum memahami bagaimana mekanisme pajak bekerja, terlebih lagi perbedaan antara PPh final dan kredit pajak.

Dalam konteks ini, edukasi dari otoritas pajak dan platform marketplace sangat dibutuhkan agar pelaku usaha tidak hanya sekadar patuh, tapi juga mengerti manfaat serta risiko dari setiap kategori perpajakan yang mereka jalani.

Sebagai negara yang tengah giat melakukan transformasi digital, Indonesia menjadikan sektor ekonomi digital sebagai tumpuan masa depan. Dengan regulasi pajak yang inklusif dan adaptif, pertumbuhan sektor ini diharapkan tetap sehat tanpa mengorbankan penerimaan negara.

Terkini