Revisi Aturan Panas Bumi Perkuat Investasi Energi Terbarukan

Senin, 14 Juli 2025 | 14:31:40 WIB
Revisi Aturan Panas Bumi Perkuat Investasi Energi Terbarukan

JAKARTA - Dalam rangka memperkuat ketahanan energi nasional dan menarik lebih banyak investasi di sektor energi baru terbarukan, pemerintah tengah menggodok rencana revisi menyeluruh terhadap regulasi pemanfaatan energi panas bumi. Fokus utama dari langkah ini adalah penyempurnaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung, yang selama ini dianggap belum cukup memberi ruang tumbuh bagi investor.

Revisi ini tak semata-mata bertujuan menyesuaikan dengan dinamika global terkait energi bersih, namun lebih dari itu, menjadi bagian strategis dari agenda nasional dalam melakukan transisi energi dari fosil ke sumber terbarukan.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, menekankan bahwa salah satu muatan penting dari revisi adalah pemberian insentif fiskal. Menurutnya, selama ini investor menghadapi sejumlah beban pajak yang menyebabkan proyek panas bumi kurang menarik secara keekonomian.

“Internal rate of return (IRR) proyek panas bumi kita masih tergolong rendah, sekitar 8 hingga 9 persen. Salah satu cara untuk memperbaikinya adalah dengan menghapus pajak tubuh bumi yang masih berlaku saat ini,” ujar Eniya.

Ia menjelaskan bahwa keberadaan pajak tubuh bumi dalam struktur biaya saat ini merupakan salah satu faktor utama yang menurunkan daya tarik sektor panas bumi. Dengan skema insentif yang lebih bersahabat, diharapkan para pelaku usaha akan lebih agresif mengembangkan potensi panas bumi yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia.

Langkah ini pun dinilai penting sebagai sinyal kejelasan kebijakan kepada para investor. Pemerintah ingin menunjukkan keseriusan dalam menciptakan iklim investasi yang stabil, transparan, dan kompetitif.

Selain penghapusan pajak tubuh bumi, pemerintah juga menyasar beberapa bentuk penyederhanaan kebijakan fiskal lainnya. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Bea Masuk juga masuk dalam pembahasan revisi. Kedua komponen ini, meski tampak teknis, kerap menjadi batu sandungan bagi investor karena menambah beban biaya yang cukup signifikan di tahap awal pengembangan proyek.

“Pajak semacam PPN dan Bea Masuk perlu dibahas bersama Kementerian Keuangan agar tidak menghambat pengembangan panas bumi,” tambah Eniya.

Revisi PP 7/2017 ini tidak bersifat minor. Menurut data Kementerian ESDM, terdapat sedikitnya 17 poin yang akan diubah atau diperbaiki dalam proses revisi. Mayoritas dari perubahan tersebut menyangkut aspek fiskal, perizinan, dan prosedur teknis lainnya yang selama ini dianggap terlalu birokratis dan tidak mendukung eksekusi proyek secara efisien.

Upaya perbaikan regulasi ini berangkat dari kenyataan bahwa pengembangan panas bumi di Indonesia belum optimal, meskipun Indonesia memiliki salah satu potensi energi panas bumi terbesar di dunia. Potensi ini masih tertahan oleh sejumlah hambatan regulasi, teknologi, serta persoalan pendanaan dan tata kelola proyek.

Pemerintah menilai bahwa tanpa perubahan yang mendasar dalam kerangka hukum dan insentif, target pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23 persen dalam bauran energi nasional pada 2025 akan sulit tercapai.

Dalam konteks transisi energi global, peran panas bumi menjadi sangat krusial. Tidak hanya karena sifatnya yang terbarukan, tetapi juga karena panas bumi mampu menghasilkan listrik secara stabil (base load), berbeda dengan sumber EBT lain seperti surya atau angin yang bergantung pada kondisi cuaca.

Oleh sebab itu, Eniya menyampaikan bahwa regulasi yang baru harus mampu menyesuaikan dengan semangat pembangunan berkelanjutan. Regulasi tidak boleh menjadi penghambat, melainkan harus menjadi katalis yang mempercepat investasi dan pengembangan teknologi.

“Panas bumi memiliki potensi besar, dan sudah seharusnya kita mendukungnya dengan regulasi yang adaptif dan berpihak pada investasi,” tegasnya.

Tak hanya itu, Eniya juga menekankan bahwa revisi aturan ini akan memperkuat posisi Indonesia dalam peta global energi bersih. Saat negara-negara maju mulai memperketat batasan emisi dan mendorong energi hijau, Indonesia pun dituntut untuk mempercepat peralihan ke energi rendah karbon. Dalam hal ini, panas bumi menjadi aset strategis yang tak hanya dapat dimanfaatkan untuk listrik, tetapi juga untuk pemanfaatan langsung seperti pemanasan dan industri.

Revisi PP 7/2017 juga akan mencakup penguatan tata kelola proyek panas bumi agar lebih terbuka bagi investasi swasta, baik dari dalam maupun luar negeri. Pemerintah berupaya menciptakan model investasi yang berkelanjutan dan inklusif, di mana pelaku usaha dapat berkontribusi secara signifikan terhadap pembangunan nasional tanpa terbebani risiko regulasi yang kompleks.

Sebagai bagian dari tahapan revisi, pemerintah juga berencana mengundang masukan dari pelaku industri, akademisi, dan organisasi lingkungan agar regulasi yang disusun benar-benar komprehensif dan dapat diterima oleh berbagai pihak.

Dengan berbagai perubahan tersebut, diharapkan investasi panas bumi di Indonesia bisa berkembang pesat dalam beberapa tahun ke depan. Apalagi, dengan krisis energi global dan komitmen pengurangan emisi karbon, banyak investor global tengah mencari portofolio investasi hijau, dan Indonesia harus mampu merebut peluang itu.

Terkini