Kekacauan Lalu Lintas dan Janji Bangun Sistem Transportasi

Selasa, 08 Juli 2025 | 13:10:15 WIB
Kekacauan Lalu Lintas dan Janji Bangun Sistem Transportasi

JAKARTA - Mendengar predikat “kota paling macet di Indonesia” tentu memancing reaksi emosional, namun Wali Kota Muhammad Farhan mengambil langkah yang lebih dalam: bukan hanya mengakui rasa malu, tetapi juga menegaskan komitmennya dalam melakukan perbaikan sistem transportasi di Kota Bandung.

Predikat yang disematkan kepada Bandung bukan sekadar angka, melainkan sorotan atas persoalan serius di pusat kota dan di antara kawasan suburban yang menjadi ujung tol Macet. Dalam pernyataan kepada JPNN, Selasa 08 JULI 2025, Farhan secara terbuka menyatakan:

“Saya sih malu ya, Kota Bandung dicap kota termacet se‑Indonesia. Perbaikan utamanya adalah sistem transportasi.”

Dalam satu kalimat itu, Wali Kota merangkum tiga hal penting: pengakuan terhadap permasalahan, rasa malu sebagai motivasi, dan arah pemulihan melalui reformasi transportasi publik.

Mengapa "Malu" Bisa Jadi Pemicu Perubahan?

Rasa malu yang dirasakan kepala kota bisa menjadi titik balik. Bandung, kota berjuluk "Paris van Java", selama ini mendapat reputasi sebagai kota budaya dan pendidikan, namun terjebak dalam kemacetan yang membayangi citra modernnya. Farhan sebagai pemimpin merasa beban tanggung jawab itu, dan pengakuan terbuka ini menjadi satu sinyal bahwa transportasi publik tidak boleh hanya jadi wacana, tetapi harus dijadikan prioritas utama.

Pemecahan Masalah di Level Sistem

Mengomentari jalan keluar, Farhan menegaskan bahwa fokus utama perbaikannya akan berada pada sistem transportasi secara menyeluruh—bukan sekadar pelebaran jalan atau penambahan trotoar. Fokus ini penting karena mengubah sistem berarti menyentuh aspek strategis, mulai dari integrasi angkutan umum, penataan moda mikro, manajemen parkir, hingga penggunaan teknologi untuk lalu lintas real-time.

Dengan perencanaan sistemik, Bandung berpeluang menyaingi kota-kota besar lain yang telah berhasil menurunkan tingkat kemacetan signifikan melalui public transport seperti bus rapid transit (BRT), jaringan angkutan ringan listrik, serta digitalisasi transportasi.

Rumah Urusan: Transit-Oriented Development

Salah satu strategi yang dicanangkan adalah mengembangkan kawasan permukiman dan komersial yang dekat dengan halte, stasiun, atau terminal. Model Transit-Oriented Development (TOD) ini memungkinkan masyarakat memilih kawasan hunian dan bekerja yang ramah transportasi umum—mengurangi tekanan kendaraan pribadi di jalan raya.

Dengan memusatkan pembangunan urban di sekitar pusat transportasi, Bandung bisa menjembatani jurang antara kebutuhan mobilisasi dan keterbatasan ruang jalan. Farhan menyadari, pola infrastruktur yang eksklusif mobil akan sulit diubah dalam jangka pendek, tapi sistem transportasi bisa disinergikan dengan rencana tata ruang kota.

Teknologi untuk Lalu Lintas dan Layanan Publik

Selain fisik, rencana perbaikan sistem transportasi juga akan memanfaatkan teknologi digital. Bandung dapat mengadopsi aplikasi terpadu yang memudahkan kebutuhan warga—seperti real-time tracker angkot, tarif elektronis di parking lot, tiket umum berbasis e-money, hingga sistem logistik drone untuk zona padat.

Dengan dukungan smart city melalui Internet of Things (IoT), Bandung bisa mengelola informasi lalu lintas secara lebih baik. Data akan digunakan untuk menyesuaikan waktu lampu lalu lintas, mengatur jalur alternatif saat jam sibuk, atau meninjau pola mobilisasi warga saat ada event besar.

Perlu Kolaborasi Multi-Pihak

Farhan tak bisa menjalankan program ini sendirian. Dia menyoroti pentingnya sinergi antara dinas perhubungan, Dinas Tata Kota, aparat penegak hukum, serta operator angkutan umum dan swasta. Kemacetan bukan hanya soal jalan, tapi juga soal perilaku, kontrol parkir, rekayasa lalu lintas, dan kepemilikan moda transportasi pribadi.

Walikota menyiratkan pentingnya koordinasi ini dalam pendekatannya: memperbaiki sistem transportasi berarti memperbaiki banyak aspek—Dinas PU untuk konstruksi jalan alternatif, semua pihak untuk sistem integrasi transportasi massal, hingga aparat keamanan untuk penertiban parkir liar.

Tantangan Infrastruktur dan Kebijakan

Bandung akan menghadapi sejumlah tantangan utama:

Keterbatasan Lahan – Ruang hijau dan lahan rempah terbatas membuat opsi pelebaran jalan sulit dilakukan.

Keterbatasan Anggaran – Sistem baru menuntut investasi tinggi dalam digitalisasi, teknologi IoT, dan moda transportasi massal.

Kebiasaan Masyarakat – Peralihan mereka dari kendaraan pribadi ke transportasi umum membutuhkan edukasi, kepercayaan, dan insentif, bukan paksaan.

Meski tantangan ini berat, kesadaran kepala daerah yang ingin memperbaiki sistem transportasi jadi modal awal yang kuat untuk mendorong program reformasi transformatif.

Rencana Jangka Pendek – Pemicu Aksi

Dalam pembicaraannya, Farhan mengindikasikan langkah cepat yang akan diambil:

Memperluas jalur busway di koridor padat.

Menambah jumlah halte dan memperbaiki infrastrukturnya.

Memperkenalkan sistem pembayaran tiket elektronik terintegrasi.

Meningkatkan program "angkot jemput-an" untuk zona suburban.

Mendorong pemanfaatan park and ride di pinggiran kota.

Langkah-langkah awal tersebut diharapkan memperlihatkan hasil cepat untuk mencairkan rasa malu publik dan memulai proses transformasi sistem transportasi Bandung.

Dampak Sosial-Ekonomi dari Reformasi Transportasi

Transportasi publik yang handal bisa menghadirkan efek domino. Waktu perjalanan lebih cepat, produktivitas kerja meningkat, biaya operasional kendaraan pribadi menurun, dan kualitas udara membaik. Tak kalah penting, efek sosialnya: ruang kota tidak selalu dipenuhi kendaraan, sehingga lebih layak huni dan berpotensi menjadi ruang publik yang lebih hijau.

Di sisi ekonomi, penataan transportasi juga menciptakan lapangan kerja baru—operator bus, teknisi smart city, pelaksana infra transportasi. Ujungnya, Bandung akan tumbuh menjadi kota modern sekaligus nyaman.

Menuju Bandung Berwajah Baru

Pengakuan atas kemacetan bukan akhir, melainkan awal dari perubahan besar. Wali Kota Farhan sudah memetakan langkah awal: rasa malu jadi motivasi, sistem jadi arah, teknologi jadi sarana, dan kolaborasi jadi jalan.

Mendengar pengakuan “mau malu itu penting,” publik kini menunggu janji itu diwujudkan: sistem transportasi publik yang lebih rapi, moda transportasi modern yang bisa diandalkan, dan Bandung yang dapat kembali bernafas—tanpa macet yang mencekik.

Karena di balik rasa malu itu, tersimpan kekuatan modal untuk membalik keadaan: dari kota termacet menjadi kota layak huni, nyaman, dan terintegrasi – sesuai impian Wali Kota-nya.

Terkini