JAKARTA - Dalam upaya memperkuat efisiensi logistik nasional, PT Terminal Teluk Lamong (TTL) mengambil langkah strategis dengan menerapkan sistem Berthing Priority khusus untuk kapal curah kering. Kebijakan ini menandai tonggak baru dalam digitalisasi dan transparansi layanan kepelabuhanan di Indonesia, sekaligus menjadi respons konkret atas tantangan kepastian tambat kapal di pelabuhan.
Melalui pendekatan sistematis dan terukur, TTL berharap sistem Berthing Priority mampu menghadirkan manfaat nyata, seperti memperkecil risiko denda demurrage yang selama ini membebani pelaku usaha pelayaran, sekaligus membuka peluang memperoleh insentif despatch dari efisiensi kegiatan bongkar muat.
“Ini bagian dari komitmen kami dalam menciptakan ekosistem logistik yang transparan dan efisien. Digitalisasi dan keterbukaan informasi adalah kuncinya,” kata David Pandapotan Sirait, Direktur Utama TTL dalam keterangan resminya.
Sistem ini tidak hanya sekadar mengatur jadwal sandar, tetapi juga menjadi bagian integral dari transformasi digital yang lebih luas. TTL menargetkan agar seluruh proses pelabuhan dapat dilakukan secara sistematis, terdokumentasi, dan berbasis data, sehingga seluruh pelaku industri mendapatkan kepastian dan keadilan dalam layanan.
Implementasi sistem ini bukanlah kebijakan yang berjalan sendiri. Dalam acara sosialisasi yang digelar, TTL menggandeng berbagai pihak untuk turut memahami serta memberikan masukan terhadap pelaksanaan Berthing Priority. Acara tersebut dihadiri oleh stakeholder penting seperti agen pelayaran, pemilik barang, asosiasi logistik (ISAA), serta pihak regulator dari Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Utama Tanjung Perak.
Kepala KSOP Tanjung Perak, Agustinus Maun, memberikan apresiasi atas inisiatif TTL tersebut. Menurutnya, langkah ini sangat mendukung kesinambungan pelayanan pelabuhan, terlebih karena telah dilengkapi oleh sistem digital sebelumnya seperti Terminal Booking System (TBS) dan kewajiban penyusunan Business Continuity Plan (BCP).
“Berthing Priority ini melengkapi inovasi lain seperti Terminal Booking System (TBS) dan kewajiban Business Continuity Plan (BCP) untuk menjamin keberlanjutan operasional pelabuhan,” jelas Agustinus.
Keuntungan dari sistem Berthing Priority tidak hanya dirasakan oleh operator pelabuhan, tetapi juga oleh pelaku usaha logistik. Kepastian waktu tambat memberikan peluang perencanaan bongkar muat yang lebih akurat, sehingga meminimalisir idle time kapal dan alat berat.
Lebih lanjut, TTL menjelaskan bahwa sistem ini juga memungkinkan perawatan peralatan bongkar muat dilakukan secara terjadwal tanpa mengganggu jadwal operasional, yang selama ini menjadi tantangan di pelabuhan dengan lalu lintas padat.
Salah satu hal penting yang menjadi perhatian dalam pelaksanaan sistem baru ini adalah upaya membangun kolaborasi dan transparansi antarpemangku kepentingan. TTL menginisiasi diskusi dan evaluasi bersama dengan para stakeholder untuk menyempurnakan sistem ke depannya, guna menjamin sistem ini adaptif dan menjawab kebutuhan operasional yang dinamis.
Dengan pendekatan inklusif ini, TTL berharap sistem Berthing Priority tidak hanya menjadi instrumen teknis, tetapi juga menjadi simbol perubahan paradigma pelayanan kepelabuhanan yang berbasis efisiensi dan kolaborasi.
Langkah TTL sejatinya merupakan bagian dari tren global dalam manajemen pelabuhan. Di banyak negara maju, sistem penjadwalan prioritas sandar telah menjadi praktik umum yang terbukti meningkatkan produktivitas pelabuhan secara signifikan. Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan ketergantungan tinggi pada jalur laut, tentu membutuhkan reformasi serupa agar bisa bersaing di tingkat regional maupun global.
Implementasi sistem ini pun diyakini dapat menjadi percontohan bagi pelabuhan lain di Indonesia. Jika berhasil dijalankan secara optimal, bukan tidak mungkin Berthing Priority akan menjadi standar nasional dalam pelayanan kapal curah dan jenis kapal lainnya.
Efisiensi logistik memang menjadi isu strategis dalam pengembangan ekonomi nasional. Biaya logistik Indonesia masih tergolong tinggi dibandingkan negara-negara tetangga, dan hal ini sebagian besar dipengaruhi oleh ketidakpastian proses distribusi di pelabuhan. Oleh karena itu, kebijakan TTL menerapkan sistem Berthing Priority memiliki nilai strategis yang signifikan bagi upaya penurunan biaya logistik secara nasional.
Di tengah tantangan transformasi digital dan percepatan arus barang, langkah TTL untuk menerapkan sistem ini menunjukkan komitmen kuat dalam mengusung perubahan. Upaya ini menjadi bukti bahwa pelabuhan di Indonesia tak hanya menjadi simpul logistik semata, tetapi juga aktor utama dalam reformasi ekonomi nasional yang lebih efisien, terbuka, dan berbasis teknologi.
Dengan dukungan penuh dari stakeholder dan pemangku kebijakan, sistem Berthing Priority berpotensi mendorong lahirnya ekosistem pelabuhan yang modern, transparan, dan ramah terhadap pelaku usaha. Ini bukan sekadar inovasi teknis, melainkan langkah awal menuju tata kelola pelabuhan yang lebih profesional dan berorientasi masa depan.