Volatilitas Industri Energi Hijau

Senin, 07 Juli 2025 | 07:56:56 WIB
Volatilitas Industri Energi Hijau

JAKARTA - Di tengah gencarnya promosi dan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) sebagai solusi masa depan yang berkelanjutan, realitas di lapangan justru menunjukkan potret yang cukup kontras. Salah satu pelajaran penting dapat diambil dari situasi yang tengah berkembang di Amerika Serikat (AS), yang selama ini dikenal sebagai salah satu pionir dalam transisi energi hijau. Apa yang terjadi di negeri Paman Sam dalam beberapa tahun terakhir seharusnya menjadi cermin penting bagi Indonesia, terutama dalam menyikapi kebijakan dan investasi strategis di sektor energi hijau.

Periode 2023 hingga 2025 menunjukkan tren yang cukup mencemaskan bagi kelangsungan beberapa perusahaan energi hijau di AS. Fenomena ini tak hanya mengindikasikan adanya ketidaksesuaian antara ekspektasi dan realisasi, tetapi juga memberikan sinyal kuat bahwa bisnis di sektor ini sangat rentan terhadap volatilitas pasar dan tantangan struktural. Lebih jauh lagi, kondisi ini dapat menjadi sinyal peringatan bagi para investor dan calon investor di Indonesia agar tidak terjebak pada narasi yang terlalu optimistis tanpa memperhitungkan risiko jangka panjang.

Dalam beberapa tahun terakhir, puluhan perusahaan energi hijau di AS — khususnya yang bergerak di bidang energi matahari (solar energy) — menghadapi tekanan luar biasa yang menyebabkan banyak di antaranya harus mengajukan permohonan perlindungan kebangkrutan melalui Chapter 11. Tidak sedikit dari perusahaan-perusahaan tersebut yang awalnya menyandang status sebagai "startup" menjanjikan, dengan narasi transformatif tentang penyelamatan lingkungan dan solusi masa depan, namun kenyataan berkata lain. Banyak dari klaim dan janji tersebut terbukti tidak terealisasi dengan baik, bahkan jauh dari kenyataan.

Fenomena ini sejatinya tidak terjadi dalam ruang hampa. Kompleksitas bisnis energi hijau, khususnya pada tahap awal, memerlukan dukungan infrastruktur, kebijakan yang matang, serta model bisnis yang adaptif. Ketergantungan terhadap insentif pemerintah serta persaingan yang ketat sering kali menjadi batu sandungan bagi kelangsungan bisnis. Di AS, kondisi ini diperparah dengan meningkatnya suku bunga, fluktuasi harga bahan baku, serta ketidakpastian geopolitik yang berdampak pada rantai pasok global.

Apa yang terjadi di AS semestinya menjadi perhatian serius, khususnya bagi pemerintah Indonesia yang saat ini sedang aktif mendorong pembangunan industri energi hijau. Beberapa proyek strategis telah diresmikan, termasuk oleh Presiden Prabowo, yang menunjukkan komitmen besar terhadap transisi energi. Salah satunya adalah peresmian pabrik panel surya di Kendal oleh Menteri Perindustrian yang menjadi simbol langkah maju dalam pengembangan energi terbarukan di Tanah Air.

Namun demikian, komitmen tersebut tidak boleh mengabaikan pelajaran penting dari dinamika global. Alih-alih terbawa arus optimisme yang tidak realistis, pendekatan yang lebih hati-hati dan berbasis data perlu dikedepankan. Tidak hanya soal efisiensi teknologi, tetapi juga soal keberlanjutan finansial dan daya tahan bisnis dalam jangka panjang. Ini penting, mengingat sektor energi hijau masih sangat muda di Indonesia dan belum memiliki rekam jejak panjang dalam hal stabilitas bisnis.

Di sisi lain, tantangan tersebut bukan berarti Indonesia harus mundur atau ragu dalam mengembangkan sektor energi hijau. Sebaliknya, ini menjadi momen reflektif untuk memperkuat fondasi kebijakan dan ekosistem industri hijau nasional. Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap proyek yang dijalankan tidak hanya mengikuti tren global, tetapi juga telah melalui kajian risiko yang menyeluruh. Para investor juga diharapkan tidak semata-mata tergiur oleh narasi keuntungan jangka pendek, melainkan mempertimbangkan ketahanan bisnis secara menyeluruh.

Pengalaman AS juga menunjukkan bahwa skala dan kapasitas perusahaan sangat memengaruhi kelangsungan bisnis. Banyak dari perusahaan energi hijau yang tumbang adalah startup kecil yang belum memiliki basis keuangan yang kuat. Oleh karena itu, perlu adanya kolaborasi antara pelaku usaha besar dan startup untuk saling menopang dan menciptakan ekosistem yang sehat. Di sinilah peran regulasi menjadi sangat penting — untuk memastikan bahwa pasar berkembang secara adil dan tidak timpang.

Kondisi tersebut juga mempertegas pentingnya integrasi antara riset, kebijakan, dan pelaksanaan di lapangan. Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan transfer teknologi atau investasi dari luar, tetapi juga harus memperkuat kapasitas dalam negeri, termasuk pengembangan sumber daya manusia dan inovasi lokal. Dengan cara ini, ketergantungan terhadap pihak luar dapat dikurangi, sekaligus meningkatkan daya saing industri energi hijau nasional.

Selain itu, perlu diperhatikan pula bahwa faktor keberhasilan sektor energi hijau tidak hanya bertumpu pada sisi penawaran (supply side), tetapi juga permintaan (demand side). Perlu ada insentif dan regulasi yang mendorong adopsi teknologi hijau di tingkat konsumen, baik rumah tangga maupun industri. Tanpa permintaan yang cukup kuat, perusahaan energi hijau akan kesulitan mencapai skala ekonomi yang diperlukan untuk bertahan.

Sebagai penutup, dinamika yang terjadi di Amerika Serikat dalam industri energi hijau seharusnya tidak dipandang semata sebagai kegagalan, tetapi sebagai pelajaran berharga bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Kesadaran akan risiko dan tantangan di sektor ini harus menjadi landasan dalam mengambil keputusan investasi dan kebijakan. Dengan pendekatan yang hati-hati namun tetap progresif, Indonesia memiliki peluang besar untuk membangun sektor energi hijau yang tidak hanya berkelanjutan secara lingkungan, tetapi juga kokoh secara ekonomi.

Terkini