Raja Ampat Menghadapi Masa Kritis Pertambangan

Senin, 07 Juli 2025 | 08:09:01 WIB
Raja Ampat Menghadapi Masa Kritis Pertambangan

JAKARTA - Ketika dunia tengah berlomba memperkuat rantai pasok mineral kritis demi transisi energi global, isu sosial dan lingkungan di daerah penghasil sumber daya alam kembali menjadi peringatan keras. Salah satu yang mencuat adalah sorotan terhadap aktivitas penambangan dan hilirisasi nikel di Raja Ampat, Papua, yang menjadi perhatian dalam forum bertaraf internasional, Indonesia Critical Minerals Conference & Expo, yang digelar di Hotel Pullman, Jakarta, pada Selasa, 3 Juni 2025.

Aksi simbolik yang dilakukan oleh aktivis Greenpeace Indonesia menjadi sorotan utama dalam konferensi tersebut. Dalam suasana formal ketika Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno tengah menyampaikan sambutan, tiga orang aktivis, bersama seorang perempuan asal Papua, berdiri dan membentangkan spanduk bertuliskan seruan penolakan terhadap tambang nikel di Raja Ampat. Aksi ini dilakukan secara damai dan menjadi bentuk ekspresi kekhawatiran mereka terhadap masa depan lingkungan dan masyarakat adat Papua yang dinilai terancam akibat proyek ekstraksi skala besar.

Spanduk yang dibentangkan dalam aksi itu berbunyi, “Stop Tambang Nikel di Raja Ampat: Lindungi Hutan dan Laut Papua!” Seruan ini mewakili keresahan banyak kalangan, terutama masyarakat adat dan pemerhati lingkungan, terhadap ekspansi pertambangan nikel di kawasan yang selama ini dikenal sebagai salah satu ekosistem paling kaya dan rapuh di dunia.

Greenpeace Indonesia, dalam pernyataannya, menyatakan bahwa Raja Ampat tidak hanya memiliki kekayaan hayati luar biasa, tetapi juga merupakan rumah bagi masyarakat adat yang selama berabad-abad hidup bergantung pada hutan dan laut. Masuknya industri tambang dinilai akan membawa perubahan drastis pada tatanan ekologis dan sosial, terutama jika tidak dikendalikan dengan regulasi ketat dan prinsip keberlanjutan yang jelas.

Menurut Greenpeace, kekhawatiran mereka bukan tanpa dasar. Aktivitas pertambangan nikel berpotensi menyebabkan deforestasi, pencemaran perairan, degradasi tanah, serta hilangnya sumber pangan dan air bersih bagi masyarakat lokal. Di sisi lain, mereka juga mempertanyakan sejauh mana proyek hilirisasi nikel di Papua benar-benar memberikan manfaat ekonomi bagi penduduk asli, bukan hanya untuk kepentingan investor besar.

Perempuan Papua yang ikut dalam aksi damai tersebut menyampaikan suaranya dengan nada tegas namun emosional. Ia menyatakan bahwa tanah leluhurnya kini tengah “dilukai” atas nama pembangunan, dan bahwa masyarakat adat tidak pernah benar-benar dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan mengenai tambang yang masuk ke wilayah mereka. “Kami ingin pembangunan yang adil, bukan perampasan atas alam kami,” katanya.

Aksi ini mendapat tanggapan beragam dari peserta konferensi. Sebagian menganggapnya sebagai bentuk demokrasi dan partisipasi publik yang sah, sementara yang lain merasa forum internasional tersebut seharusnya menjadi ruang diskusi yang lebih akademis dan teknis. Namun demikian, peristiwa tersebut secara efektif menyuarakan satu hal penting: bahwa pembangunan industri, termasuk hilirisasi mineral kritis seperti nikel, tidak bisa dipisahkan dari tanggung jawab sosial dan ekologis.

Konferensi itu sendiri bertujuan memperkuat kerja sama global dalam pengembangan rantai pasok mineral strategis, termasuk nikel, tembaga, dan kobalt, yang merupakan bahan baku utama dalam produksi baterai kendaraan listrik dan sistem energi bersih lainnya. Indonesia, sebagai salah satu negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia, memainkan peran kunci dalam agenda transisi energi ini. Pemerintah telah mendorong hilirisasi sebagai strategi untuk meningkatkan nilai tambah dan memperkuat posisi tawar di pasar global.

Namun, di balik agenda besar tersebut, muncul tantangan besar terkait tata kelola lingkungan dan hak masyarakat lokal. Raja Ampat yang selama ini dikenal dengan kekayaan bawah lautnya, terumbu karang, dan keanekaragaman hayati hutan tropisnya, dikhawatirkan akan kehilangan keistimewaannya jika tidak dijaga secara serius. Banyak pengamat menilai bahwa Raja Ampat tidak semestinya dikembangkan sebagai kawasan industri berat, melainkan sebagai wilayah konservasi dan ekowisata kelas dunia.

Dalam konteks kebijakan, pemerintah Indonesia menyatakan bahwa semua aktivitas pertambangan wajib mematuhi kaidah pertambangan yang baik (good mining practice) dan harus mendapatkan persetujuan lingkungan hidup melalui Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa proses perizinan dan pengawasan kadang tidak berjalan dengan maksimal, terutama di wilayah terpencil seperti Papua.

Aksi damai yang dilakukan oleh Greenpeace dan warga Papua ini menjadi pengingat bahwa pembangunan nasional harus dilakukan dengan pendekatan yang inklusif, transparan, dan menghormati hak masyarakat adat. Keterlibatan mereka dalam proses konsultasi publik menjadi sangat penting, agar tidak terjadi konflik berkepanjangan di masa depan.

Selain itu, dunia kini menyoroti praktik “greenwashing”, yaitu penggunaan narasi ramah lingkungan untuk membungkus kegiatan industri yang pada kenyataannya justru merusak alam. Transisi energi seharusnya tidak menjadi justifikasi untuk mengeksploitasi wilayah-wilayah yang secara ekologis rentan seperti Raja Ampat.

Kejadian di Pullman Jakarta tersebut menjadi cermin bahwa keberlanjutan bukan hanya soal teknologi hijau atau nilai tambah ekonomi, tetapi juga tentang keadilan ekologis dan keberpihakan terhadap komunitas lokal. Pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat sipil dituntut untuk bersinergi dan mencari titik temu yang adil, agar Indonesia tidak hanya menjadi pemasok bahan mentah, tetapi juga penjaga warisan alamnya.

Penambangan nikel di Raja Ampat kini menjadi isu yang tak bisa lagi diabaikan. Di tengah gelombang investasi dan industrialisasi, suara dari akar rumput, terutama dari mereka yang terdampak langsung, harus dijadikan pertimbangan utama dalam setiap kebijakan. Karena pada akhirnya, pembangunan sejati adalah pembangunan yang tidak mengorbankan generasi mendatang demi keuntungan jangka pendek hari ini.

Terkini