Pengertian Gerakan Non Blok, Sejarah, hingga Tujuannya

Jumat, 04 Juli 2025 | 14:55:03 WIB
pengertian gerakan non blok

JAKARTA - Pernahkah kamu mendengar pengertian gerakan non blok? Istilah ini merujuk pada organisasi negara-negara yang tak berpihak pada blok besar dunia.

Organisasi ini beranggotakan sekitar 100 negara yang mengambil posisi netral dalam dinamika politik global, khususnya selama masa ketegangan antara dua blok besar dunia.

Pembentukan organisasi ini bertujuan untuk meredam ketegangan yang muncul akibat konflik antara dua kekuatan besar yang berseteru. 

Selain itu, gerakan ini juga menjadi wadah bagi negara-negara yang tidak ingin terseret ke dalam konflik geopolitik yang terjadi selama Perang Dingin, serta memilih jalur independen dalam menentukan arah kebijakan luar negerinya.

Jadi, apabila kamu masih penasaran mengenai pengertian gerakan non blok, penjelasan selanjutnya akan membahas lebih dalam tentang makna serta latar belakang sejarah dari terbentuknya gerakan ini.

Pengertian Gerakan Non Blok

Pengertian gerakan non blok merujuk pada suatu gerakan internasional yang dikenal dengan sebutan GNB atau Non-Aligned Movement (NAM), yang dicetuskan oleh negara-negara berkembang. 

Gerakan ini beranggotakan lebih dari 100 negara dan lahir dari keinginan untuk menjalankan kebijakan luar negeri tanpa harus berpihak pada kekuatan besar manapun, baik Blok Barat maupun Blok Timur. 

GNB resmi didirikan pada 1 September 1961 atas prakarsa sejumlah tokoh penting dunia seperti Soekarno dari Indonesia, Jawaharlal Nehru dari India, Gamal Abdul Nasser dari Mesir, Kwame Nkrumah dari Ghana, serta Joseph Broz Tito dari Yugoslavia.

Pada masa itu, Blok Barat terdiri dari delapan negara, yaitu Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Kanada, Belgia, Belanda, Luksemburg, dan Norwegia. 

Sementara Blok Timur hanya dihuni oleh empat negara, yakni Uni Soviet, Jerman Timur, Cekoslovakia, dan Rumania. 

Guna memperkuat posisi masing-masing, Blok Barat membentuk organisasi pertahanan bernama NATO (North Atlantic Treaty Organization), sedangkan Blok Timur mendirikan Pakta Warsawa. 

Kedua kubu kemudian berlomba mencari sekutu tambahan di kawasan Asia, Afrika, dan Amerika.

Meski ketegangan antara dua blok besar tersebut telah mereda seiring berakhirnya era Perang Dingin, perbedaan ideologis tetap menimbulkan dinamika tersendiri dalam hubungan internasional. 

Dalam rangka merespons kondisi dunia yang berpotensi memanas, negara-negara yang baru merdeka di kawasan Asia dan Afrika mengadakan pertemuan penting dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, Jawa Barat.

Kementerian Luar Negeri RI menyebut bahwa Konferensi Asia Afrika memiliki keterkaitan erat dengan terbentuknya GNB. 

Dalam pertemuan KAA tahun 1955 di Indonesia, lahir kesepakatan yang dikenal sebagai Dasasila Bandung, berisi prinsip-prinsip dasar kerja sama internasional. 

Beberapa tahun setelahnya, tepatnya pada 1–6 September 1961, diselenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) I GNB di Beograd, Yugoslavia. Konferensi ini dihadiri sekitar 25 negara, termasuk Indonesia.

Dari konferensi tersebut lahirlah kesepakatan membentuk gerakan negara-negara yang memilih posisi netral, yang kemudian dikenal sebagai GNB. 

Sejumlah negara yang hadir dalam KTT I antara lain Afghanistan, Aljazair, Arab Saudi, Sri Lanka, Burma (Myanmar), Kamboja, Kuba, Kongo, Ethiopia, Ghana, India, Indonesia, Irak, Lebanon, Mali, Maroko, Guinea, Nepal, RPA (Afrika Selatan), Somalia, Sudan, Tunisia, Yaman, dan Yugoslavia.

Dalam pertemuan tingkat tinggi tersebut, negara-negara pendiri sepakat membentuk sebuah gerakan, bukan organisasi formal, untuk menghindari kerumitan birokrasi dalam menjalin kerja sama antarnegara anggota. 

KTT I juga menegaskan bahwa GNB tidak dimaksudkan menjadi kekuatan pasif di panggung internasional, melainkan sebagai forum independen untuk merumuskan posisi politik masing-masing negara secara mandiri berdasarkan kepentingan nasional mereka.

GNB kemudian menempati peran penting dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Sejak awal pembentukannya, Indonesia telah menjadi salah satu pelopor utama. 

Konferensi Asia Afrika menjadi bukti nyata keterlibatan Indonesia dalam melahirkan GNB, dengan Presiden Soekarno yang diakui sebagai salah satu tokoh pendirinya. 

Indonesia menganggap bahwa GNB sangat relevan dengan nilai dan cita-cita bangsa, sejalan dengan amanat yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Sejarah Gerakan Non Blok

Istilah “Non Blok” pertama kali diungkapkan oleh Perdana Menteri India, Jawaharlal Nehru, dalam sebuah pidato yang disampaikannya pada tahun 1954 di Colombo, Sri Lanka. 

Dalam pidato tersebut, Nehru memaparkan lima prinsip dasar yang dapat dijadikan sebagai landasan hubungan antara Tiongkok dan India, yang dikenal dengan nama Panchsheel atau lima prinsip pengendali. 

Kelima prinsip ini kemudian dijadikan sebagai fondasi bagi terbentuknya gerakan negara-negara yang tidak berpihak pada blok manapun. 

Adapun kelima prinsip tersebut meliputi: saling menghormati kedaulatan dan keutuhan wilayah masing-masing, tidak melakukan agresi, tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain, menjunjung kesetaraan serta keuntungan bersama, dan berupaya menjaga perdamaian dunia.

Cikal bakal gerakan ini bermula dari pertemuan besar negara-negara Asia dan Afrika yang digelar di Bandung, Indonesia, pada tahun 1955. 

Dalam konferensi tersebut, sejumlah negara menyatakan keinginan untuk tetap netral dan tidak ikut dalam perseteruan ideologi antara dua kekuatan besar dunia saat itu. 

Tokoh-tokoh utama di balik terbentuknya gerakan ini terdiri dari lima pemimpin dunia, yakni Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito, Presiden Indonesia Soekarno, Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser, Perdana Menteri India Pandit Jawaharlal Nehru, serta tokoh dari Ghana, Kwame Nkrumah.

Namun, pada penghujung dekade 1960-an, eksistensi gerakan ini sempat dipertanyakan ketika sejumlah anggotanya mulai merapat ke salah satu kubu besar dunia, termasuk ke arah Blok Timur. 

Salah satu perdebatan yang muncul adalah bagaimana mungkin sebuah negara seperti Kuba yang menjalin aliansi erat dengan Uni Soviet tetap mengklaim dirinya sebagai bagian dari kelompok negara yang netral. 

Ketegangan ini semakin meningkat ketika Uni Soviet melakukan invasi ke Afghanistan pada tahun 1979, yang menyebabkan gerakan ini kehilangan arah dan semakin terpecah belah.

Sementara itu, Konferensi Tingkat Tinggi yang diselenggarakan oleh ASEAN merupakan forum tertinggi yang mempertemukan para pemimpin negara-negara Asia Tenggara guna membahas kerja sama dalam bidang ekonomi dan kebudayaan. 

Demi mencapai tujuan yang telah disepakati oleh negara anggota, organisasi ini menjalankan sejumlah program melalui berbagai kegiatan dan kerja sama. 

Sebelas komite dibentuk untuk menangani sektor-sektor penting seperti pangan, pertanian, keuangan, pariwisata, serta media informasi. Setiap komite ini memiliki misi untuk memperkuat kolaborasi antaranggota. 

Di samping itu, dibentuk pula panitia-panitia ad hoc yang memiliki fokus kerja tertentu, seperti panitia khusus yang bertugas memperluas hubungan dagang dengan Komunitas Ekonomi Eropa (ECC), serta panitia lain yang mengelola hubungan ASEAN dengan negara-negara seperti Australia, Selandia Baru, Kanada, dan negara mitra lainnya.

Tujuan Gerakan Non Blok

Salah satu tujuan pokok dari terbentuknya Gerakan Non Blok (GNB) adalah untuk membela hak setiap bangsa dalam menentukan nasibnya sendiri, mempertahankan kedaulatan, kemerdekaan nasional, serta keutuhan wilayah negara-negara anggotanya. 

Selain itu, GNB juga memiliki sejumlah tujuan lainnya yang menjadi prinsip perjuangannya, yaitu:

  • Menolak praktik apartheid dalam bentuk apa pun.
  • Tidak terlibat dalam aliansi atau perjanjian militer multilateral.
  • Melawan segala bentuk penjajahan serta pengaruh kekuatan asing.
  • Mendukung upaya perlawanan terhadap kolonialisme, pendudukan wilayah secara paksa, rasisme, bentuk baru penjajahan, serta dominasi dari negara lain.
  • Mendorong terwujudnya perlucutan senjata global.
  • Menjunjung tinggi prinsip tidak ikut campur dalam urusan dalam negeri negara lain dan menjalin hubungan internasional secara damai.
  • Menolak penggunaan atau ancaman kekerasan dalam interaksi antarnegara.
  • Mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan dan merancang ulang sistem ekonomi global demi keseimbangan.
  • Menjalin kerja sama internasional berdasarkan asas kesetaraan hak dan tanggung jawab.
  • Meningkatkan solidaritas antarnegara berkembang guna meraih kemerdekaan sejati, kesejahteraan, dan rasa persatuan.
  • Mengurangi konflik global, khususnya ketegangan yang dipicu oleh pertentangan antara dua kekuatan besar dunia, yaitu Blok Barat dan Blok Timur.

Pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi Non Blok

Konferensi Tingkat Tinggi negara-negara Non Blok merupakan pertemuan internasional yang mempertemukan negara-negara dengan prinsip politik luar negeri yang tidak berpihak pada salah satu kekuatan besar dunia.

Konferensi Pertama

Pertemuan perdana berlangsung pada tahun 1961 di Beograd. Tujuan utamanya adalah untuk memperkuat posisi bersama dalam bidang politik yang didasarkan pada prinsip hidup berdampingan secara damai, tidak menjadi bagian dari aliansi militer mana pun, dan mendukung penghapusan kolonialisme dalam segala bentuknya. 

Konferensi ini dianggap sebagai kelanjutan dari semangat Konferensi Asia Afrika yang telah dilaksanakan di Bandung. 

Sebanyak 25 negara ikut serta dalam pertemuan ini—terdiri dari 8 negara Asia, 9 dari Afrika, 1 negara Eropa (Yugoslavia), Kuba dari kawasan Amerika Latin, dan 6 negara dari kawasan Arab.

Pertemuan ini sangat dipengaruhi oleh inisiatif Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito, yang ingin mengalihkan fokus negaranya ke arah Dunia Ketiga untuk melepaskan diri dari tekanan kedua blok besar. 

Bersama dengan Nehru dan Nasser, Tito memainkan peran penting dalam mengorganisasi kelompok yang vokal dalam mendukung prinsip netralitas. 

Agenda utama yang dibahas dalam konferensi ini mencakup isu diskriminasi rasial, upaya mempercepat pembangunan dan bantuan internasional, serta seruan untuk pelucutan senjata.

Konferensi Kedua

Pertemuan kedua dilangsungkan pada bulan Oktober 1964 di Kairo, Mesir. Pada konferensi ini, jumlah peserta bertambah signifikan menjadi 48 negara anggota serta 10 negara dengan status pengamat resmi, banyak di antaranya berasal dari kawasan Amerika Latin. 

Dalam forum ini mulai tampak perbedaan pendekatan di antara para pemimpin: kelompok moderat yang dipimpin oleh Nehru mulai berseberangan pandangan dengan kelompok yang lebih radikal, termasuk Soekarno dan Kwame Nkrumah.

Konferensi Ketiga

Konferensi ketiga berlangsung pada bulan September 1970 di Lusaka, ibu kota Zambia. Pada kesempatan ini, jumlah peserta meningkat menjadi 54 negara, dengan tambahan 9 negara sebagai pengamat. 

Konferensi ini dipimpin oleh Presiden Zambia, Kenneth Kaunda, dan fokus utama diskusi adalah isu seputar kekuasaan rezim kulit putih yang rasis di Afrika Selatan. 

Dalam pertemuan ini, ditegaskan kembali bahwa prinsip-prinsip dasar yang telah disepakati pada konferensi sebelumnya di Beograd dan Kairo tetap dijunjung tinggi, dan kekuatan gerakan ini tidak mengalami penurunan.

Konferensi Keempat

Pertemuan tingkat tinggi keempat dilangsungkan pada bulan September 1973 di Aljazair, dengan partisipasi sebanyak 75 negara. Dalam pertemuan ini, Kamboja diwakili oleh Pangeran Sihanouk sebagai perwakilan dari pemerintahan kerajaan. 

Selain para delegasi resmi, hadir pula pengamat dari organisasi-organisasi perjuangan kemerdekaan di wilayah Afrika Selatan dan Amerika Latin. 

Fokus utama dalam konferensi yang dipimpin oleh Presiden Boumediene adalah isu-isu yang dihadapi oleh negara-negara miskin. 

Dalam sesi penutupan, para peserta menyepakati sebuah resolusi yang salah satu isinya adalah seruan untuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing.

Konferensi Kelima

Konferensi kelima digelar pada Agustus 1976 di Colombo, ibu kota Sri Lanka. Di pertemuan ini, perhatian difokuskan pada ketimpangan sistem ekonomi global yang dinilai tidak adil dan membahayakan stabilitas dunia. 

Dalam forum tersebut, negara-negara peserta sepakat untuk memperkuat kerja sama di sektor perdagangan, industri, media, serta teknologi informasi sebagai langkah untuk memberdayakan negara-negara non blok. 

Dari pertemuan ini lahir sebuah rencana aksi kolektif yang dikenal dengan nama Deklarasi Perjuangan.

Konferensi Keenam

Pertemuan keenam berlangsung pada September 1979 di Havana, ibu kota Kuba, dan dihadiri oleh 94 negara anggota, 20 pengamat, serta 18 tamu dari berbagai negara dan organisasi internasional. 

Walaupun dinamika konferensi dipengaruhi oleh perbedaan pandangan antara kelompok moderat dan radikal, pertemuan ini tetap berhasil menghasilkan keputusan penting. 

Salah satunya adalah deklarasi politik yang memperkuat komitmen terhadap prinsip-prinsip dasar gerakan non blok. 

Selain itu, juga disusun deklarasi ekonomi yang menyoroti ketimpangan ekonomi global dan penolakan terhadap dominasi asing atas kekayaan negara-negara berkembang.

Konferensi Ketujuh

Masalah keanggotaan Kamboja tidak dapat diselesaikan secara tuntas dalam konferensi ini. Akibatnya, baik pemerintahan Heng Samrin maupun rezim Pol Pot hanya diberikan status sebagai pengamat.

Rencana awal penyelenggaraan konferensi ini adalah pada bulan September 1982 di Baghdad, Irak. Namun, karena konflik bersenjata antara Irak dan Iran yang masih berlangsung, pelaksanaan pertemuan tersebut dibatalkan. 

Sebagai alternatif, New Delhi, ibu kota India, akhirnya dipilih sebagai tuan rumah untuk konferensi ketujuh negara-negara non blok.

Sebagai penutup, pengertian gerakan non blok mencerminkan upaya negara-negara untuk menjaga kemandirian politik tanpa terikat pada kekuatan besar dunia mana pun.

Terkini

Penyeberangan Tigaras Simanindo Kembali Beroperasi

Kamis, 17 Juli 2025 | 08:54:01 WIB

Manfaat Madu untuk Kecantikan Kulit

Kamis, 17 Juli 2025 | 14:01:32 WIB

10 Destinasi Wisata Ramah Muslim

Kamis, 17 Juli 2025 | 14:04:30 WIB

Dominasi BYD di Pasar EV Kian Kuat

Kamis, 17 Juli 2025 | 14:11:14 WIB