Hilirisasi Batu Bara Masih Mandek, Pemerintah Andalkan BPI Danantara untuk Genjot Proyek Strategis DME

Selasa, 27 Mei 2025 | 08:55:27 WIB
Hilirisasi Batu Bara Masih Mandek, Pemerintah Andalkan BPI Danantara untuk Genjot Proyek Strategis DME

JAKARTA - Meski pemerintah telah menggulirkan berbagai insentif guna mendorong hilirisasi batu bara, realisasi proyek-proyek peningkatan nilai tambah komoditas ini masih jauh dari harapan. Tantangan utama yang terus mengganjal adalah keterbatasan teknologi dalam negeri dan belum tercapainya keekonomian proyek, terutama terkait investasi awal dan kepastian pasar. Kini, pemerintah menaruh harapan baru kepada Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara untuk mendanai dan mendorong terwujudnya hilirisasi batu bara, terutama melalui proyek produksi dimetil eter (DME) sebagai pengganti elpiji (LPG).

Langkah ini diambil setelah keberhasilan hilirisasi nikel yang memberikan pembelajaran penting bagi pengelolaan sumber daya mineral dan energi nasional. Meski baru sampai tahap produk antara (intermediate), hilirisasi nikel telah berhasil menarik investasi asing, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi ketergantungan pada impor. Pemerintah berharap pola serupa bisa diterapkan pada komoditas batu bara yang selama ini masih diekspor dalam bentuk mentah tanpa nilai tambah signifikan.

Proyek DME: Solusi Substitusi Elpiji Impor

Salah satu produk turunan batu bara yang dinilai memiliki prospek besar adalah dimetil eter (DME). DME digadang-gadang menjadi solusi strategis untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor elpiji, yang setiap tahunnya menguras devisa negara dalam jumlah besar. Sebagai catatan, sekitar 70 persen kebutuhan elpiji domestik masih dipenuhi melalui impor, dan tren konsumsi energi rumah tangga ini terus meningkat.

DME memiliki karakteristik mirip elpiji dan dapat digunakan langsung sebagai bahan bakar rumah tangga. Karena itu, pemanfaatannya di sektor domestik dinilai tepat untuk mendukung ketahanan energi nasional sekaligus mendongkrak nilai tambah batu bara yang selama ini hanya diekspor dalam bentuk kalori rendah.

Namun, seperti diakui berbagai pihak, proyek DME masih menghadapi tantangan serius, terutama dari sisi keekonomian. Biaya produksi DME di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan dengan harga elpiji impor, sehingga investor kerap menilai proyek ini tidak layak secara finansial tanpa dukungan kuat dari pemerintah.

Insentif Pemerintah Belum Menjawab Tantangan Fundamental

Pemerintah sebelumnya telah menawarkan berbagai insentif kepada pelaku industri, mulai dari tax holiday, kemudahan perizinan, hingga jaminan offtaker atau pembeli produk DME. Namun, menurut para analis, insentif tersebut belum menyentuh akar persoalan, yakni ketimpangan harga antara DME dan elpiji impor, serta belum tersedianya teknologi hilirisasi batu bara yang efisien dan sesuai dengan kondisi pasar domestik.

Pihak pelaku usaha juga menyatakan kekhawatiran terkait kepastian regulasi jangka panjang. Tanpa adanya peraturan yang mengikat mengenai pembelian produk hilirisasi atau jaminan pasokan bahan baku batu bara dengan harga tertentu, investasi dalam proyek ini dinilai terlalu berisiko.

“Masalahnya bukan hanya di insentif fiskal, tetapi juga di ekosistem industri. Dibutuhkan kepastian pasar, dukungan teknologi, dan regulasi yang tidak berubah-ubah,” ujar seorang analis energi dari sektor swasta yang tidak ingin disebutkan namanya.

Peran BPI Danantara: Penentu Jalan Tengah Hilirisasi

Melihat kebuntuan yang terjadi, pemerintah kini menjadikan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara sebagai motor penggerak baru untuk mendanai proyek hilirisasi batu bara. BPI diharapkan bisa menjadi institusi yang mengisi kekosongan peran investor dalam proyek berisiko tinggi namun strategis bagi kepentingan nasional.

Sebagai sovereign wealth fund, BPI Danantara memiliki mandat untuk mengelola investasi jangka panjang, termasuk pada sektor energi dan sumber daya alam. Melalui skema co-investment atau pembiayaan langsung, BPI bisa menempatkan modal pada proyek DME yang dinilai layak secara strategis, meski belum sepenuhnya ekonomis dalam hitungan pasar bebas.

“Kami melihat peran BPI Danantara sangat strategis dalam mempercepat realisasi hilirisasi batu bara. Melalui keterlibatan mereka, risiko bisa dibagi, dan kepercayaan investor swasta bisa meningkat,” ujar seorang pejabat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menangani proyek-proyek hilirisasi.

Saat ini, beberapa proyek DME sudah masuk dalam radar BPI untuk dipertimbangkan, termasuk proyek besar di Sumatra Selatan yang sebelumnya digagas melalui kerja sama antara BUMN energi dan mitra luar negeri. Namun proyek tersebut sempat tertunda karena tidak adanya kepastian pendanaan.

Keberhasilan Nikel Jadi Inspirasi, Tapi Tak Bisa Disamakan

Meski hilirisasi nikel telah menunjukkan hasil positif, banyak pihak menilai bahwa keberhasilan tersebut tidak bisa serta-merta dijadikan acuan untuk batu bara. Perbedaan struktur pasar, sifat produk, dan teknologi yang digunakan menjadikan hilirisasi batu bara lebih kompleks.

Pada nikel, adanya pasar global untuk produk seperti feronikel, stainless steel, dan baterai lithium memberikan peluang besar bagi investor. Sementara untuk batu bara, terutama dalam bentuk DME, pasar sepenuhnya bergantung pada konsumsi domestik. Artinya, daya serap pasar lokal menjadi faktor utama dalam menentukan kelayakan proyek.

Selain itu, keberhasilan hilirisasi nikel juga ditopang oleh larangan ekspor mineral mentah yang ketat, serta insentif yang terukur bagi industri pengolahan. Pada batu bara, pemerintah masih mempertimbangkan banyak aspek, termasuk penerimaan negara dari ekspor dan keberlangsungan pasokan untuk pembangkit listrik domestik.

Jalan Panjang Menuju Kemandirian Energi

Dengan upaya yang terus didorong melalui dukungan institusi seperti BPI Danantara, proyek hilirisasi batu bara, khususnya DME, bisa menjadi tonggak penting dalam peta transisi energi nasional. Namun demikian, keberhasilan tidak akan datang secara instan. Diperlukan perencanaan jangka panjang, kolaborasi lintas sektor, serta konsistensi dalam kebijakan.

Kementerian ESDM juga menyatakan bahwa ke depan, evaluasi menyeluruh terhadap berbagai model bisnis dan skema pendanaan akan terus dilakukan. Pemerintah menyadari bahwa tanpa keterlibatan aktif lembaga investasi negara, hilirisasi berisiko tinggi seperti DME sulit terwujud.

“Kami yakin hilirisasi batu bara bisa tercapai jika semua pihak bekerja sama, dan lembaga seperti Danantara ikut mengambil peran aktif,” ujar pejabat ESDM tersebut.

Mandeknya hilirisasi batu bara meski insentif telah digulirkan menunjukkan bahwa pendekatan konvensional tidak lagi cukup. Diperlukan dukungan institusional yang kuat, inovasi pembiayaan, serta terobosan teknologi agar proyek strategis seperti DME bisa benar-benar berjalan.

Dengan mengandalkan peran BPI Danantara sebagai motor investasi nasional, pemerintah berupaya membuka jalan baru bagi realisasi nilai tambah komoditas energi domestik. Jika berhasil, proyek ini bukan hanya mengurangi ketergantungan pada energi impor, tapi juga menjadi landasan kuat bagi kemandirian energi nasional di masa depan.

Terkini