JAKARTA - Upaya memperkuat penyaluran kredit bagi sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) kembali mendapat perhatian serius dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Lembaga pengawas jasa keuangan ini menegaskan bahwa agar penyaluran kredit UMKM dapat lebih optimal, maka bank diwajibkan memasukkan target pembiayaan sektor tersebut ke dalam Rencana Bisnis Bank (RBB). Dengan mekanisme itu, OJK menilai akan lebih mudah memantau perkembangan sekaligus menilai kesiapan setiap bank dalam mendukung sektor UMKM yang belakangan mengalami perlambatan.
Data terbaru menunjukkan, pertumbuhan kredit UMKM hingga pertengahan 2025 hanya mampu meningkat sekitar 2% secara tahunan atau year on year (YoY). Angka tersebut dianggap cukup rendah dibandingkan kebutuhan pendanaan UMKM yang terus bertambah seiring meningkatnya aktivitas ekonomi di berbagai daerah.
Kredit UMKM Jadi Fokus dalam Rencana Bisnis Bank
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, mengungkapkan bahwa keputusan untuk mewajibkan kredit UMKM masuk dalam RBB bukan sekadar administratif. Lebih dari itu, kebijakan ini diharapkan mampu membuat pengawasan OJK menjadi lebih terarah.
“Jika kredit UMKM tercantum dalam RBB, maka kami bisa menilai secara lebih jelas bagaimana perencanaan bank, proses asesmen, hingga realisasi pemberian kreditnya,” kata Dian.
Ia menambahkan bahwa faktor utama yang perlu dilihat adalah kapasitas internal perbankan. “Sebetulnya yang paling penting kan kapasitas bank, yang kasih kredit kan mereka. Itu yang harus dilihat. Apakah mereka masih ada kelemahan di sistem atau tidak,” ujarnya.
Apabila ditemukan ada kelemahan sistem, lanjut Dian, OJK siap membantu agar bank dapat lebih akomodatif dalam menyalurkan kredit. Dengan begitu, distribusi pembiayaan untuk UMKM bisa berjalan sesuai kemampuan masing-masing bank, bukan sekadar dipatok oleh regulasi seragam.
Pendekatan Fleksibel, Tidak Lagi Menyeragamkan
Kebijakan terbaru OJK ini berbeda dengan aturan sebelumnya yang sempat menetapkan porsi wajib kredit UMKM di angka tertentu. Menurut Dian, pola lama justru menimbulkan negosiasi panjang karena setiap bank memiliki kondisi berbeda.
“Nanti banyak negosiasinya kalau di RBB itu termasuk target-targetnya, kenapa ditetapkan misalnya sekian persen growth-nya, kenapa tidak sekian, itu biasa saja jadi banyak, nanti ada banyak prudensial meeting,” jelasnya.
Dengan memasukkan target UMKM ke RBB, OJK menilai pembahasan bisa lebih terarah pada rasionalitas pertumbuhan kredit dan kondisi faktual bank. Hal ini juga memungkinkan adanya dialog konstruktif antara regulator dan perbankan mengenai target yang realistis, bukan sekadar angka patokan.
Pendekatan fleksibel ini pun diharapkan mampu menghindari terjadinya kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) yang justru berpotensi meningkat bila bank dipaksa menyalurkan kredit tanpa memperhitungkan kapasitas internalnya.
Respons Industri Perbankan
Kebijakan OJK mengenai kredit UMKM yang wajib masuk dalam RBB mendapatkan tanggapan positif dari kalangan industri perbankan. Presiden Direktur CIMB Niaga, Lani Darmawan, menilai aturan baru ini menunjukkan bahwa regulator memahami kondisi setiap bank yang berbeda-beda.
Menurut Lani, fokus keahlian tiap bank akan menjadi landasan penting dalam penerapan aturan ini. “Kebijakan baru ini menunjukkan bahwa OJK memang mengetahui setiap bank berbeda ya. Dalam hal ini, keahliannya kemudian fokus dari tiap bank,” ujar Lani.
Ia menambahkan, dampak yang ditimbulkan dari kewajiban memasukkan target kredit UMKM dalam RBB kemungkinan tidak akan terlalu besar. Pasalnya, hal tersebut sejalan dengan arah kebijakan pemerintah yang juga mendorong perhatian lebih kepada sektor UMKM.
“Kami kan tahun lalu UKM tumbuhnya lumayan bagus ya, sekitar 9% - 9,5%,” tutur Lani.
Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa sejumlah bank masih memiliki kinerja positif dalam pembiayaan UMKM. Dengan dukungan kebijakan OJK, pertumbuhan kredit diharapkan bisa lebih konsisten meskipun kondisi ekonomi tengah menantang.
Harapan untuk Pemulihan Kredit UMKM
Bagi OJK, langkah mewajibkan kredit UMKM masuk dalam RBB merupakan bagian dari strategi memperkuat perekonomian nasional melalui sektor riil. UMKM selama ini dikenal sebagai tulang punggung ekonomi, menyerap banyak tenaga kerja, serta berkontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Namun, perlambatan pertumbuhan kredit yang hanya 2% YoY menjadi sinyal bahwa akses permodalan UMKM masih menghadapi hambatan. Dengan pengawasan yang lebih intensif melalui RBB, OJK berharap perbankan bisa menyalurkan kredit dengan lebih tepat sasaran, efisien, dan sesuai kemampuan masing-masing lembaga.
Langkah ini sekaligus menjadi bentuk sinergi regulator dengan industri perbankan dalam menciptakan ekosistem pembiayaan yang sehat. Penyaluran kredit yang berkualitas diharapkan dapat mendukung ketahanan sektor UMKM dalam menghadapi dinamika ekonomi, baik domestik maupun global.
Integrasi kredit UMKM ke dalam Rencana Bisnis Bank merupakan terobosan penting yang dilakukan OJK dalam rangka memperkuat pengawasan sekaligus memastikan dukungan perbankan terhadap sektor produktif. Dengan pendekatan fleksibel, tidak lagi menyeragamkan angka patokan, regulator ingin agar penyaluran kredit dilakukan berdasarkan kapasitas nyata setiap bank.
Respons positif dari kalangan perbankan menunjukkan bahwa kebijakan ini bisa berjalan seiring dengan visi pemerintah untuk memberdayakan UMKM. Ke depan, diharapkan kredit UMKM mampu kembali tumbuh lebih kuat, berkontribusi signifikan pada perekonomian, dan menjaga keberlanjutan usaha kecil yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia.