JAKARTA - Di balik hiruk-pikuk aktivitas Pasar 16 Ilir Palembang yang tak pernah sepi, terselip sebuah kisah kuliner legendaris yang terus mengundang selera: Pempek Tumpah. Meskipun hanya dijajakan di lapak sederhana di bawah Jembatan Ampera, popularitas pempek ini justru menyaingi restoran atau rumah makan besar yang menjual makanan khas serupa.
Bagi warga Palembang maupun wisatawan yang datang, menikmati pempek langsung dari sumbernya adalah pengalaman tersendiri. Dan tidak sedikit dari mereka yang sengaja datang ke Pasar 16 Ilir hanya untuk mencicipi pempek legendaris yang dijual di sana.
Salah satu yang paling dikenal adalah pempek milik Susi, penjual yang sudah hampir satu dekade menekuni usaha kuliner ini. Setiap harinya, lapak kecil Susi tidak pernah sepi dari antrean para pembeli yang ingin merasakan pempek gurih dengan kuah cuko pedas-manis yang disajikan melimpah ruah. Cita rasa tradisional yang konsisten dari tahun ke tahun menjadikannya favorit lintas generasi, dari pelajar hingga pekerja pasar.
“Setiap hari pempek tumpah saya habis terjual sebelum siang,” ujar Susi.
Yang membuat pempek ini semakin menarik adalah harganya yang sangat ramah di kantong. Dengan hanya seribu rupiah per satuan, pengunjung sudah bisa menikmati pempek dengan kualitas rasa yang tidak kalah dari tempat makan mewah. Hal ini menjadi alasan mengapa pempek tumpah selalu diburu dan dinikmati oleh berbagai kalangan masyarakat.
Dalam sehari, Susi mampu menjual antara 200 hingga 300 pempek. Ia menjelaskan bahwa resep pempek yang ia gunakan adalah warisan turun-temurun dari keluarganya. "Kuncinya ada di bahan yang selalu segar dan tidak pernah kami ubah resep dasarnya," tuturnya.
Meski hanya menggunakan bahan sederhana, seperti ikan dan sagu, Susi tetap menjaga kualitas produknya dengan ketat. Ia juga memastikan kuah cuko yang menjadi ciri khas pempek Palembang dibuat sendiri setiap hari agar tetap segar dan memiliki rasa khas yang menggigit di lidah.
Tak sedikit pembeli yang mengaku rela datang lebih pagi demi menghindari kehabisan. Mereka bahkan kerap merekomendasikan pempek tumpah ini kepada teman dan kerabatnya. Bagi mereka, kelezatan pempek di lapak Susi tidak hanya soal rasa, tapi juga soal suasana dan kehangatan khas pasar tradisional yang sulit ditemukan di tempat lain.
"Yang bikin beda ya kuah cukonya, manis tapi pedasnya pas, dan rasa ikannya terasa banget meskipun murah," ujar salah satu pelanggan yang mengaku sudah langganan lebih dari lima tahun.
Pempek tumpah ini pun akhirnya tidak sekadar menjadi camilan. Lebih dari itu, ia menjelma sebagai bagian dari identitas kuliner Palembang yang merakyat dan mudah diakses siapa pun. Banyak wisatawan domestik yang mendengar keunikan pempek murah meriah ini melalui media sosial, dan akhirnya menjadikan lapak di bawah Jembatan Ampera sebagai salah satu destinasi wajib saat berkunjung ke Palembang.
Dalam dunia kuliner yang terus berubah dan makin kompetitif, keberadaan pempek tumpah seperti milik Susi adalah bukti bahwa tradisi dan kesederhanaan masih sangat relevan. Dengan menjaga kualitas, mempertahankan cita rasa asli, dan menetapkan harga yang adil, pempek ini tetap menjadi pilihan utama tanpa perlu promosi besar-besaran.
Susi sendiri tidak berambisi untuk membuka cabang besar atau menjadikan bisnisnya sebagai waralaba. Ia lebih memilih untuk tetap berjualan di lapak kecilnya di Pasar 16 Ilir, dekat dengan pelanggannya, dan terus menjaga hubungan personal yang telah terjalin selama bertahun-tahun.
“Yang penting pembeli puas, dan saya bisa terus jualan. Itu saja,” ungkapnya dengan senyum.
Di tengah arus modernisasi dan naiknya harga bahan pokok, kisah sukses sederhana seperti ini menjadi pengingat bahwa kuliner lokal yang jujur dan tulus dari hati akan selalu menemukan tempat di hati masyarakat. Pempek tumpah di bawah Jembatan Ampera bukan hanya soal makanan, tapi juga tentang kenangan, tradisi, dan semangat usaha yang tak pernah padam.