PANAS BUMI

Panas Bumi untuk Petani

Panas Bumi untuk Petani
Panas Bumi untuk Petani

JAKARTA - Di tengah geliat transisi energi di Indonesia, kawasan Kamojang menjadi contoh nyata bagaimana kekuatan alam dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Dikenal sebagai lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) pertama di Indonesia, Kamojang tidak hanya menjadi penyumbang listrik bagi sistem nasional, tetapi juga menjadi ruang inovasi sosial yang berdampak langsung bagi masyarakat lokal.

Bagi masyarakat Kamojang, kopi bukan sekadar komoditas pertanian biasa. Ia adalah bagian dari identitas budaya, warisan desa, dan sumber utama penghidupan. Namun, di balik aromanya yang menggoda, para petani menghadapi tantangan berat. Ketergantungan pada pupuk kimia yang mahal, proses pengeringan yang memakan waktu, serta limbah pertanian yang belum dimanfaatkan, menjadi kendala dalam meningkatkan produktivitas dan nilai ekonomi dari kopi yang mereka hasilkan.

Dalam situasi itulah hadir potensi besar yang selama ini tersembunyi: energi panas bumi. Tidak hanya untuk membangkitkan listrik, panas bumi ternyata dapat dimanfaatkan secara langsung (direct use) untuk kegiatan produktif masyarakat. Kesadaran inilah yang mendorong PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) menerapkan pendekatan ekonomi sirkular melalui proyek inovatif yang menghubungkan energi bersih dengan pemberdayaan petani lokal.

PGEO mengembangkan dua program utama yang berlandaskan pada prinsip pemanfaatan energi untuk kemakmuran komunitas, yakni Geothermal Coffee Process (GCP) dan Geothermal Organic Fertilizer (GeO-Fert). Keduanya menjadikan uap panas bumi sebagai motor penggerak inovasi yang efisien, ramah lingkungan, dan memiliki dampak sosial luas.

Program Geothermal Coffee Process hadir menjawab tantangan proses pengeringan kopi yang sebelumnya memakan waktu 30 hingga 45 hari. Dengan memanfaatkan uap buangan dari PLTP Kamojang, waktu pengeringan bisa dipangkas menjadi hanya 3 hingga 10 hari. Selain itu, prosesnya lebih higienis, konsisten, dan meningkatkan cita rasa kopi yang khas. Petani kini tak perlu khawatir dengan cuaca buruk yang bisa merusak hasil panen. Kualitas kopi Kamojang pun meningkat, membuka peluang untuk menembus pasar yang lebih luas.

Sementara itu, GeO-Fert memungkinkan pemanfaatan limbah pertanian dan rumah tangga menjadi pupuk organik. Dengan suhu uap antara 60 hingga 70 derajat Celsius, proses fermentasi hanya memerlukan waktu 12 jam. Hasilnya, PGEO mampu memproduksi 28,8 ton pupuk kering setiap tahunnya. Pupuk ini digunakan oleh lebih dari 160 petani setempat dan membantu mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia yang mahal dan merusak lingkungan.

“Inovasi kami di Kamojang, khususnya dalam hal produksi kopi, membuktikan bahwa pemanfaatan energi bisa memperkuat ketahanan pangan, memperluas peluang usaha, dan mengangkat martabat petani, sambil tetap menjaga lingkungan,” ujar Julfi Hadi, Direktur Utama PT Pertamina Geothermal Energy Tbk. Ia menegaskan bahwa energi bersih semestinya tidak berhenti di menara transmisi, tetapi juga menyentuh kehidupan masyarakat secara nyata.

Dampak dari inovasi ini tidak hanya terlihat di kebun dan rumah pengeringan kopi, tetapi juga tercermin dalam data peningkatan produksi dan pendapatan. Produksi kopi Kamojang meningkat tajam dari hanya 5 kuintal pada 2018 menjadi 30 ton pada 2024. Penjualan green bean naik dari Rp250 juta menjadi Rp560 juta per tahun, sementara roasted bean meningkat dari Rp120 juta menjadi Rp180 juta. Biaya produksi berkurang drastis, dan akses pasar menjadi semakin luas.

Nono, seorang petani kopi dan mitra binaan GCP Kamojang, merasakan langsung manfaatnya. “Dengan adanya dry house, proses pengeringan kopi yang biasanya sampai 30 hari kini bisa hanya 8 sampai 12 hari. Rasanya khas, ada aroma buah-buahan yang beda dari yang lain. Harapannya, panen bersama seperti ini bisa terus berlanjut agar petani lainnya juga ikut senang dan merasakan manfaatnya,” ujarnya.

Tak hanya berdampak secara ekonomi, program ini juga mencatatkan kontribusi sosial dan lingkungan yang signifikan. Melalui analisis Social Return on Investment (SROI) yang diverifikasi oleh Universitas Gadjah Mada (UGM), diperoleh rasio sebesar 3,13. Artinya, setiap Rp1 yang diinvestasikan memberikan dampak sosial dan ekonomi sebesar Rp3,13. Dalam hitungan konkret, manfaat ekonomi program ini mencapai Rp367,5 juta per tahun dan diproyeksikan bisa tumbuh hingga Rp6,3 miliar.

Kontribusi lingkungan pun tak kalah besar. Program ini diperkirakan mengurangi emisi karbon hingga 20.000 ton CO₂ per tahun dan memungkinkan daur ulang lebih dari 1,2 ton sampah organik. Semua itu dicapai dengan pendekatan zero waste, zero emission, dan zero conflict yang menjadikan Kamojang sebagai model ekonomi sirkular berbasis komunitas.

Apa yang terjadi di Kamojang adalah gambaran transformasi energi bersih yang ideal. Bukan sekadar berfokus pada efisiensi teknis, tetapi juga menyentuh aspek sosial dan keberlanjutan. PGEO melalui PLTP Kamojang membuktikan bahwa inovasi di sektor energi bisa menjadi katalisator perubahan di tingkat akar rumput. Ketika energi menyatu dengan kehidupan, hasilnya bukan hanya kilowatt listrik, tetapi juga peningkatan kualitas hidup masyarakat.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index