JAKARTA - Di tengah dinamika geopolitik dan isu perdagangan global, harga minyak mentah dunia mencatat kenaikan tipis, dipicu oleh berbagai faktor yang memberikan angin segar bagi pelaku pasar. Kombinasi antara prospek kesepakatan dagang antara Amerika Serikat dan Uni Eropa, serta langkah Rusia membatasi ekspor bensin, menjadi pemicu utama penguatan harga minyak pada awal perdagangan Jumat.
Kenaikan ini mencerminkan respons pasar terhadap berbagai sinyal positif dari sisi pasokan dan permintaan, meskipun masih dibayangi oleh ketidakpastian global. Dikutip dari Reuters, harga minyak mentah Brent naik sebesar 17 sen atau 0,3 persen menjadi USD 69,35 per barel pada pukul 00.27 GMT. Sementara itu, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) Amerika Serikat juga mencatat kenaikan sebesar 15 sen atau 0,2 persen menjadi USD 66,18 per barel.
Sebelumnya, pada penutupan perdagangan Kamis, harga minyak juga tercatat menguat hingga satu persen. Hal ini dipicu oleh laporan media yang menyebutkan bahwa Rusia kemungkinan besar akan memangkas ekspor bensin ke sebagian besar negara. Langkah ini menjadi strategi baru dalam mengelola pasokan dan menjaga harga energi tetap stabil di tengah gejolak pasar.
- Baca Juga Geo Dipa dan Energi Panas Bumi Indonesia
Namun, kondisi tersebut turut dibayangi oleh berita dari Chevron Corp yang kemungkinan memperoleh restu dari pemerintah Amerika Serikat untuk kembali beroperasi di Venezuela. Negara penghasil minyak yang tergabung dalam OPEC itu masih berada dalam sanksi ekonomi berat, namun pemerintahan Presiden Donald Trump disebut tengah mempertimbangkan untuk mengizinkan aktivitas minyak terbatas di sana. Informasi ini dilaporkan oleh Wall Street Journal.
Langkah AS terhadap Venezuela ini turut menyumbang dinamika harga minyak dunia. Di satu sisi, rencana untuk membuka kembali keran produksi Venezuela menambah potensi pasokan minyak global. Namun di sisi lain, pembatasan ekspor oleh Rusia menciptakan kekhawatiran baru terhadap suplai yang lebih ketat.
Penurunan stok minyak mentah Amerika Serikat juga menjadi salah satu faktor fundamental yang mendukung penguatan harga. Data dari Badan Informasi Energi (EIA) AS pada Rabu menunjukkan bahwa cadangan minyak mentah turun sebesar 3,2 juta barel dalam sepekan menjadi 419 juta barel. Angka ini jauh melebihi perkiraan analis yang hanya memperkirakan penurunan sebesar 1,6 juta barel.
Penurunan signifikan dalam persediaan ini mengindikasikan tingginya tingkat konsumsi energi, yang bisa menjadi sinyal positif bagi pertumbuhan ekonomi. Hal ini kemudian mendorong keyakinan pasar bahwa permintaan minyak masih kuat, meskipun ada tekanan dari sektor global lainnya.
Selain faktor pasokan dan kebijakan pemerintah, sentimen pasar juga turut dipengaruhi oleh isu kesepakatan dagang antara AS dan Uni Eropa. Dua diplomat Eropa menyatakan bahwa kedua pihak sedang dalam tahap pembicaraan menuju perjanjian perdagangan yang mencakup pengurangan tarif dasar AS sebesar 15 persen untuk produk impor dari Uni Eropa. Jika berhasil, kesepakatan ini bisa menjadi langkah awal menuju kerja sama dagang yang lebih luas, seperti yang sebelumnya dilakukan antara AS dan Jepang.
Kabar baik ini memberikan dorongan psikologis bagi pasar energi, karena kerja sama dagang yang lebih baik berarti potensi peningkatan aktivitas ekonomi global dan permintaan minyak yang lebih tinggi.
Namun begitu, pelaku pasar juga menanti berbagai data ekonomi penting yang akan dirilis pekan depan. Perhatian akan tertuju pada data aktivitas pabrik dari China serta indikator utama ekonomi Amerika Serikat seperti inflasi, lapangan kerja, dan inventaris energi. Informasi ini sangat krusial untuk memberikan gambaran apakah tren permintaan energi akan terus menguat atau mengalami tekanan.
"Minggu depan merupakan minggu yang besar berdasarkan data," ujar analis dari IG, Sycamore. Pernyataannya menggambarkan betapa tingginya sensitivitas pasar terhadap data ekonomi, terutama dari dua negara konsumen minyak terbesar di dunia: Amerika Serikat dan China.
Secara keseluruhan, harga minyak dunia saat ini sangat dipengaruhi oleh dinamika geopolitik, kebijakan perdagangan, dan data ekonomi. Pergerakan harga yang terjadi dalam pekan ini menggambarkan kompleksitas faktor yang saling tarik-menarik antara upaya menjaga pasokan stabil dan mengantisipasi lonjakan permintaan.
Langkah Rusia dalam membatasi ekspor bensin dan rencana AS mengizinkan operasi minyak di Venezuela menjadi contoh bagaimana geopolitik masih memegang peran penting dalam peta energi global. Sementara itu, peluang kesepakatan perdagangan antara AS dan Uni Eropa menjadi harapan baru untuk stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi.
Di tengah ketidakpastian yang masih membayangi, harga minyak tetap menjadi indikator penting dalam membaca arah pasar global. Keseimbangan antara suplai, permintaan, dan kebijakan akan terus memengaruhi fluktuasi harga, yang pada akhirnya berdampak pada strategi bisnis, keputusan investasi, hingga kebijakan negara dalam mengelola sektor energi.