JAKARTA - Transformasi besar dalam sistem hukum pidana Indonesia tengah memasuki fase krusial. Namun, pertanyaan mendasarnya tetap relevan: apakah pembaruan KUHP dan penyusunan RUU KUHAP sudah cukup untuk menjawab kebutuhan reformasi hukum pidana nasional secara menyeluruh?
Sejak proklamasi kemerdekaan, Indonesia telah menggagas pembaruan hukum pidana secara bertahap. Salah satu dorongan utama adalah keinginan untuk melepaskan diri dari warisan kolonial Belanda yang termanifestasi dalam KUHP (Wetboek van Strafrecht atau WvS). Meski mengalami pasang surut, upaya mengganti hukum pidana kolonial telah dimulai sejak tahun 1963–1964, dan puncaknya terjadi saat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 disahkan sebagai KUHP baru yang akan mulai berlaku efektif pada Januari 2026.
Namun, pembaruan hukum pidana tidak dapat direduksi hanya sebatas penggantian teks hukum. Masih banyak aspek mendasar yang harus diperhatikan agar cita-cita pembaruan ini benar-benar menyentuh akar persoalan sistem hukum pidana Indonesia. KUHAP yang selama ini menjadi pijakan prosedural dalam penegakan hukum pun perlu ditinjau ulang agar selaras dengan KUHP baru. Maka tak heran, saat ini pemerintah dan DPR sedang berpacu membahas RUU KUHAP agar implementasi sistem pidana nasional tetap utuh.
- Baca Juga Strategi Arbitrase di Pasar Crypto
Di tengah euforia ini, muncul refleksi kritis: apakah pembaruan KUHP dan KUHAP sudah cukup mewakili esensi pembaruan hukum pidana nasional?
Untuk menjawab pertanyaan itu, penting untuk meninjau lebih dalam konsep pembaruan sistem hukum pidana (penal system reform). Prof. Barda Nawawi Arief, seorang pakar hukum pidana terkemuka, menyatakan bahwa pembaruan hukum pidana bukan hanya tentang teks hukum semata, melainkan mencakup pembaruan substansi hukum, struktur lembaga, dan budaya hukum itu sendiri.
Kerangka pemikiran ini senada dengan teori Lawrence M. Friedman yang menegaskan bahwa sebuah sistem hukum tidak hanya terdiri dari aturan hukum (substance), tetapi juga lembaga yang menegakkannya (structure), serta budaya hukum masyarakat (legal culture) yang menghidupkan norma-norma itu dalam praktik.
Tiga Pilar Reformasi Hukum Pidana
Pertama, pembaruan substansi hukum pidana mencakup tiga aspek: hukum pidana materiil (yang kini direpresentasikan dalam KUHP baru), hukum pidana formil (yang menjadi dasar penyusunan RUU KUHAP), serta hukum pelaksanaan pidana, seperti sistem pemasyarakatan.
Kedua, pembaruan struktur hukum pidana merujuk pada penataan institusi penegak hukum. Ini melibatkan aspek manajerial lembaga seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, hingga lembaga pemasyarakatan, termasuk perbaikan tata kelola, sumber daya manusia, dan infrastruktur pendukung.
Ketiga, dan yang paling kompleks, adalah pembaruan budaya hukum pidana, yaitu bagaimana masyarakat, aparat, dan pemangku kepentingan memahami serta memperlakukan hukum dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menyentuh persoalan integritas, kesadaran hukum, pendidikan hukum, hingga perilaku aparat dalam menjalankan tugas penegakan hukum.
Maka, menyempurnakan teks KUHP dan KUHAP saja tak akan cukup jika tidak dibarengi perubahan pada struktur dan budaya hukum pidana secara menyeluruh.
Tantangan Implementasi
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jember, Prof. I Gede Widhiana Suarda, S.H., M.Hum., Ph.D., menekankan bahwa implementasi KUHP dan KUHAP akan jauh lebih kompleks dibandingkan sekadar merumuskannya. Ia mengingatkan bahwa:
“Sebaik apa pun norma yang dirumuskan dalam KUHP dan KUHAP apabila tidak ditopang oleh mental dan integritas yang baik dari aparat penegak hukum, maka potret penegakan hukum akan menjadi buruk.”
Pernyataan ini merefleksikan fakta bahwa keberhasilan sistem hukum tidak hanya bergantung pada teks undang-undang, melainkan pada orang-orang yang menjalankannya. Norma-norma hukum bisa menjadi hampa ketika aparat tidak menjunjung tinggi etika dan integritas.
Sebaliknya, bahkan norma hukum yang kurang sempurna sekalipun masih bisa ditegakkan dengan baik bila dijalankan oleh aparat yang jujur, profesional, dan berintegritas tinggi.
Hasil Akhir: Pencegahan Kejahatan dan Kepastian Hukum
Tujuan akhir dari pembaruan sistem hukum pidana bukan hanya sekadar modernisasi hukum, melainkan menciptakan sistem yang mampu mencegah kejahatan secara efektif dan memberikan rasa aman kepada masyarakat. Hal ini sejalan dengan gagasan dari Steven P. Lab dan Sandra Walklate, yang menyatakan bahwa pencegahan kejahatan adalah indikator penting dari efektivitas sistem hukum pidana.
Dalam konteks ini, keberhasilan reformasi tidak hanya diukur dari pengesahan undang-undang baru, tetapi pada penurunan angka kriminalitas, peningkatan kepercayaan publik terhadap lembaga hukum, serta terciptanya keadilan substantif dalam penyelesaian perkara pidana.
Menuju Indonesia Emas 2045
Membangun sistem hukum pidana yang adil, efektif, dan manusiawi membutuhkan kerja kolektif dari seluruh elemen bangsa. Penyelesaian KUHP dan penyusunan RUU KUHAP tentu merupakan langkah strategis, tetapi itu baru permulaan dari jalan panjang menuju pembaruan hukum pidana nasional yang ideal.
Prof. I Gede Widhiana Suarda mengingatkan bahwa:
“Semoga cita pembaruan hukum pidana dapat terwujud dalam menyongsong Indonesia Emas 2045.”
Untuk itu, yang dibutuhkan bukan hanya undang-undang baru, tetapi juga keberanian untuk mereformasi mentalitas, struktur kelembagaan, dan budaya hukum di masyarakat. Hanya dengan komitmen menyeluruh dari para pembuat kebijakan, aparat penegak hukum, akademisi, dan masyarakat, maka pembaruan hukum pidana Indonesia bisa benar-benar mewujudkan keadilan yang substantif dan berkelanjutan.