JAKARTA - Penutupan total seluruh jalur pendakian Gunung Rinjani baru-baru ini memicu gelombang kekecewaan dan keresahan di kalangan pelaku wisata lokal. Ketimbang dianggap sebagai solusi keselamatan, kebijakan ini justru memunculkan pertanyaan besar: apakah penutupan menyeluruh memang langkah yang adil bagi ribuan masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari pariwisata?
Forum Wisata Lingkar Rinjani (FWLR) menyuarakan keberatannya terhadap keputusan tersebut. Menurut mereka, penutupan semua jalur tanpa pengecualian dianggap tidak mempertimbangkan kondisi faktual di lapangan. Ketua FWLR, Royal Sembahulun, secara tegas menyampaikan bahwa kebijakan ini telah mengabaikan realitas ekonomi masyarakat yang sangat tergantung pada aktivitas pendakian.
“Kami sangat menyayangkan penutupan secara total tanpa membuka kuota ke destinasi yang relatif aman,” ujar Royal. Ia menyatakan bahwa sebagian besar kawasan Rinjani tetap dapat diakses dengan aman dan bahwa kebijakan sepihak semacam ini dapat berdampak fatal bagi penduduk lokal.
Lebih lanjut, Royal mengkritik keras respons pemerintah yang dinilai terlalu lambat dalam menyikapi persoalan tersebut. “Pemerintah terkesan lamban dan tidak memiliki beban, karena memang tidak merasakan sumber rezekinya ditutup,” tambahnya.
Isu utama yang ditekankan para pelaku wisata bukan pada perbaikan jalur menuju Danau Segara Anak, melainkan pada cara pengambilan keputusan yang cenderung seragam tanpa memperhatikan perbedaan kondisi tiap jalur. Mereka tak menolak perbaikan jalur. Namun, penutupan menyeluruh dianggap sebagai bentuk generalisasi yang merugikan.
“Banyak jalur yang masih aman. Kami usulkan untuk merevisi Standar Operasional Prosedur (SOP) pendampingan wisatawan sambil menunggu perbaikan jalur selesai,” lanjut Royal.
Kekecewaan juga muncul terkait dengan proses pengambilan keputusan yang dinilai tidak partisipatif. Para pelaku wisata yang setiap hari berada di lapangan merasa tidak pernah dilibatkan dalam evaluasi kondisi jalur. “Kalau penutupan karena bencana alam atau pandemi, kami bisa pahami. Tapi kalau hanya karena ketidaktahuan mereka di Jakarta, lalu seenaknya menutup semua jalur, itu arogan,” tegas Royal.
Senada dengan FWLR, Koordinator Asosiasi Pemandu Gunung Rinjani (APG), Rizal, menambahkan bahwa dampak ekonomi dari penutupan jalur pendakian ini sangat terasa. Ia mengecam keras keputusan tersebut dan mengingatkan bahwa ribuan warga menggantungkan hidup dari sektor pariwisata di Rinjani.
“Jangan biarkan satu kejadian menutup seluruh potensi wisata Rinjani yang menjadi sumber penghidupan ribuan orang,” ujar Rizal. Ia menekankan pentingnya melihat persoalan secara menyeluruh dan objektif.
Menurut Rizal, ribuan porter dan pemandu lokal kini kehilangan penghasilan. Tidak hanya mereka, tapi juga pengemudi, tukang ojek, pemilik warung, dan pedagang kecil yang selama ini merasakan dampak langsung dari aktivitas pendakian.
Salah satu pemandu wisata Rinjani, Padil, juga menyuarakan hal serupa. Ia menilai bahwa masih ada jalur yang layak dan aman untuk dibuka kembali. “Masyarakat dan pelaku wisata mengusulkan agar pemerintah membuka kembali jalur-jalur utama yang relatif aman, seperti Sembalun Puncak–Sembalun dan Senaru–Pelawangan Senaru–Senaru,” jelasnya.
Dua jalur yang disebutkan Padil merupakan rute utama bagi pendaki, baik domestik maupun mancanegara, dan dikenal memiliki sistem penunjang keamanan yang sudah teruji. Keamanan pendaki tetap menjadi prioritas, tetapi penutupan total dinilai berlebihan jika jalur-jalur tersebut sebenarnya tidak terdampak langsung oleh insiden terbaru.
Lebih dari sekadar mengkritik, komunitas pelaku wisata di sekitar Rinjani bahkan telah menyusun berbagai langkah inisiatif. Mereka tak tinggal diam menunggu intervensi pemerintah, melainkan sudah memulai penggalangan dana untuk membantu proses perbaikan jalur-jalur yang rusak.
“Kami sepenuhnya mendukung perbaikan jalur ke Danau Segara Anak. Tapi sambil menunggu, seharusnya jalur-jalur lain yang aman bisa dibuka. Kami siap bekerja sama demi keselamatan dan keberlanjutan pariwisata Rinjani,” pungkas Padil.
Dalam suasana penuh tekanan ini, suara para pelaku wisata Rinjani bukan hanya merupakan bentuk protes, tetapi juga seruan untuk kebijakan yang lebih bijak dan terukur. Alih-alih pendekatan yang seragam dan sentralistik, mereka menginginkan kebijakan berbasis data lapangan yang melibatkan para pelaku langsung.
Rinjani bukan sekadar gunung untuk didaki; ia adalah jantung ekonomi bagi banyak orang di sekitarnya. Jika kebijakan yang diambil tidak mempertimbangkan keseimbangan antara keselamatan dan keberlanjutan ekonomi lokal, maka bukan hanya jalur pendakian yang tertutup, tetapi juga masa depan ribuan warga yang selama ini menjaga dan merawat Rinjani dengan sepenuh hati.