JAKARTA - Ketika kita membicarakan kedaulatan sebuah negara, perhatian umumnya tertuju pada batas-batas geografis di daratan dan perairan. Namun, seiring berkembangnya teknologi dan geopolitik global, wilayah udara kini menjadi salah satu arena utama perebutan kekuasaan antarnegara. Ia tidak lagi dipandang sebagai ruang kosong yang bebas, melainkan sebagai simbol kekuasaan sekaligus medan pertahanan.
Sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Priyatna Abdurrasyid, prinsip kuno dari zaman Romawi “cuius est solum, eius est usque ad coelum et ad inferos” menjadi fondasi bahwa otoritas atas tanah mencakup juga udara di atasnya. Konsep ini, yang menolak gagasan freedom of the air, memberikan dasar filosofis bahwa kedaulatan negara tidak berakhir di permukaan tanah.
Dalam dunia modern, kontrol atas wilayah udara tak hanya berkaitan dengan keselamatan penerbangan atau aturan hukum internasional, tetapi juga menyangkut kedaulatan politik. Di sinilah ilmu politik berperan dalam menelaah bagaimana kekuasaan dirancang dan dipertahankan di ranah udara, yang tampaknya tak berbatas tapi sesungguhnya mengandung batas kekuasaan yang tegas.
Pemikiran realis dari Hans Morgenthau mempertegas hal ini. Dalam bukunya Politics Among Nations, ia menekankan bahwa politik internasional adalah perjuangan kekuasaan. Dengan demikian, penguasaan ruang udara menjadi bagian dari proyek kekuasaan nasional. “International politics, like all politics, is a struggle for power,” ungkapnya.
Morgenthau tidak sendiri. Pemikir seperti Stephen D. Krasner melihat kedaulatan sebagai entitas yang bisa dinegosiasikan dan dikompromikan sesuai kepentingan politik negara. Dalam kerangka ini, wilayah udara menjadi bagian dari medan tawar-menawar politik internasional, yang kerap kali terjadi tanpa sorotan publik luas.
Pendekatan lain datang dari Robert Keohane dan Joseph Nye yang menyatakan bahwa kekuasaan dalam dunia modern terdistribusi dalam banyak sektor, termasuk teknologi dan sektor udara. Dalam konsep complex interdependence, pengelolaan ruang udara tidak lagi semata teknis, tetapi penuh dinamika dan kepentingan geopolitik.
Michael Mann pun memberikan peringatan dalam konsep infrastructure power-nya: ketika negara kehilangan kendali atas wilayah udaranya, yang hilang bukan hanya hak teknis administratif, tetapi juga sebagian dari otoritas politik dan kekuatan negara itu sendiri. Maka, ruang udara menjadi bagian vital dari infrastruktur kekuasaan nasional yang harus dikuasai.
Kedaulatan udara juga menyimpan dimensi simbolik dan strategis. Ketika sebuah negara memiliki kendali atas ruang udara, ia sejatinya menegaskan eksistensinya sebagai entitas berdaulat penuh. Jean Bodin sudah menekankan bahwa kedaulatan adalah kekuasaan absolut dan terus-menerus dari suatu republik. Prinsip ini kemudian mengalir ke dalam berbagai hukum internasional seperti Konvensi Paris 1919 dan Konvensi Chicago 1944 yang mengatur urusan penerbangan sipil global.
Namun, realitas di lapangan jauh lebih rumit. Banyak negara berkembang atau kecil, termasuk Indonesia dalam beberapa kasus tertentu, terpaksa menyerahkan pengelolaan sebagian wilayah udaranya kepada negara lain. Alasan yang dikemukakan sering kali bersifat teknis, seperti keterbatasan sumber daya manusia atau infrastruktur pengawasan udara. Tapi di balik itu semua, terdapat lapisan-lapisan kekuasaan yang beroperasi secara tak kasat mata.
Seperti disorot oleh teori hegemonic stability Keohane, dominasi negara-negara besar dalam pengelolaan wilayah udara menjadi salah satu bentuk hegemoni global. Negara-negara dengan kekuatan militer dan teknologi unggul memiliki pengaruh besar dalam menentukan siapa berhak mengatur dan siapa harus mengikuti.
Fenomena Flight Information Region (FIR) menjadi contoh nyata bagaimana wilayah udara suatu negara bisa dikendalikan oleh pihak asing, terkadang sebagai warisan kolonial atau akibat struktur kekuasaan global yang timpang. Teori ketergantungan (dependency theory) menegaskan bahwa negara berkembang kerap kali terjerat dalam sistem yang membuat mereka terus bergantung kepada negara maju, termasuk dalam aspek pengelolaan udara.
Konteks Indonesia menunjukkan urgensi penguasaan wilayah udara sebagai bagian dari kedaulatan nasional. Dengan ribuan pulau yang tersebar, ruang udara tidak hanya menjadi penghubung antarwilayah, tetapi juga benteng pertahanan dan jalur logistik vital. Ketika sebagian wilayah udara dikelola oleh negara lain, bukan hanya pengurangan fungsi administratif yang terjadi, tapi juga pelepasan sebagian dari ekspresi kedaulatan negara.
Karena itu, para pengambil kebijakan, akademisi, dan pemimpin bangsa mesti melihat bahwa isu udara bukan soal teknis penerbangan semata. Ia adalah bagian dari strategi besar pertahanan nasional dan kekuasaan geopolitik. Dalam politik, siapa yang mengatur udara, dialah yang punya kuasa. Siapa yang kehilangan kendali atas ruang udara, berpotensi kehilangan pula kontrol atas wilayahnya di darat.
Ke depan, ruang udara tak lagi hanya dipadati pesawat sipil atau militer. Drone, balon cuaca, bahkan satelit dan wahana eksplorasi luar angkasa akan menjadi bagian dari kontestasi baru. Maka, pertarungan kedaulatan akan bergerak ke dimensi lebih tinggi lagi.
Ilmu politik memberi kita kacamata untuk memahami bahwa langit tidak pernah benar-benar kosong. Ia padat oleh kepentingan, penuh oleh perebutan kekuasaan, dan menjadi cermin dari struktur politik global. Dan seperti diungkap dalam penutup artikel ini: wilayah udara bukan sekadar tempat burung terbang, tetapi medan strategis kekuasaan yang, jika hilang, bisa membuat suatu negara kehilangan pula tempat berpijaknya.