JAKARTA - Perubahan dinamika global, baik dari sisi geopolitik maupun kebijakan ekonomi, tengah menguji daya tahan pasar energi dunia. Di tengah situasi yang sarat ketidakpastian, harga minyak mentah mengalami pelemahan signifikan dan mencerminkan kekhawatiran investor atas potensi perlambatan ekonomi global yang dapat menggerus permintaan energi.
Harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) menunjukkan tren penurunan yang konsisten. Tekanan ini tidak hanya muncul dari fluktuasi biasa dalam perdagangan komoditas, tetapi juga dipengaruhi oleh rangkaian peristiwa global, seperti ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan Uni Eropa, serta perkembangan situasi di Timur Tengah.
Penurunan harga minyak terbaru memperkuat sinyal bahwa pasar sedang memasuki fase bearish. Harga WTI yang semula sempat bertahan, kini kembali melemah, bahkan menyentuh level yang menjadi indikasi meningkatnya tekanan jual. Kontrak aktif untuk pengiriman September pun berada pada posisi rentan, menunjukkan bahwa pelaku pasar terus mengantisipasi pergerakan harga yang tidak menentu.
- Baca Juga Harga Token Listrik PLN Tetap Stabil
Andy Nugraha, analis dari Dupoin Futures Indonesia, menilai ada beberapa faktor fundamental yang saat ini memberi tekanan terhadap harga minyak. Salah satunya adalah respons pasar terhadap sanksi baru dari Uni Eropa terhadap minyak Rusia. Meski langkah ini semula diperkirakan bisa memperketat pasokan global, kenyataannya justru tidak berdampak signifikan. Pasar tampaknya telah mengantisipasi manuver ini, sehingga tidak memberikan sentimen positif terhadap harga.
Lebih lanjut, isu perang dagang antara dua kekuatan ekonomi besar dunia, yakni Amerika Serikat dan Uni Eropa, juga memperkeruh prospek permintaan energi. Ancaman AS yang berencana memberlakukan tarif hingga 30 persen terhadap produk impor dari Eropa jika kesepakatan perdagangan tak tercapai dalam waktu dekat, menjadi salah satu pemicu utama kekhawatiran investor.
"Potensi perang dagang ini memicu kekhawatiran investor akan melambatnya pertumbuhan ekonomi global, yang pada akhirnya akan berdampak pada penurunan permintaan bahan bakar," ujar Andy.
Langkah Uni Eropa yang mempertimbangkan balasan lebih luas terhadap ancaman tarif dari AS turut menambah tensi di pasar. Ketidakpastian arah kebijakan ekonomi dari kedua pihak menimbulkan reaksi berantai di berbagai sektor, termasuk energi. Dalam situasi seperti ini, investor cenderung bersikap hati-hati dan menahan keputusan, yang berdampak pada menurunnya likuiditas dan tekanan jual yang lebih besar.
Di kawasan Timur Tengah, situasi sempat mereda setelah berakhirnya gencatan senjata antara Israel dan Iran. Sebelumnya, ketegangan antara dua negara tersebut telah meningkatkan kekhawatiran terhadap stabilitas pasokan energi global. Namun, setelah ketegangan tersebut menurun, pasar kembali memfokuskan perhatian pada isu kelebihan pasokan, terutama dari produsen besar seperti Arab Saudi.
Data dari Joint Organizations Data Initiative (JODI) memperlihatkan bahwa ekspor minyak mentah dari Arab Saudi meningkat pada bulan Mei. Ini merupakan kenaikan tertinggi dalam tiga bulan terakhir. Peningkatan ini memberi sinyal bahwa negara-negara produsen tidak memperlambat produksi meski harga tengah tertekan, yang justru semakin memperbesar tekanan di sisi penawaran.
Secara teknikal, tren pelemahan harga minyak semakin terlihat jelas. Andy menjelaskan bahwa indikator candlestick harian serta posisi harga terhadap Moving Average (MA) 20 dan MA 50 mengindikasikan bahwa tekanan jual masih mendominasi pasar. Posisi harga yang bergerak di bawah MA ini menjadi pertanda bahwa pelaku pasar lebih memilih menjual daripada bertahan.
Jika tren ini terus berlanjut, harga WTI berpotensi menguji level support penting di sekitar USD64 per barel. Namun demikian, terdapat peluang koreksi teknikal apabila tekanan jual sedikit mereda. Dalam kondisi tersebut, harga bisa mencoba menembus resistance di kisaran USD65,5 per barel sebelum melanjutkan pergerakan.
Sementara itu, pelemahan dolar AS, yang biasanya menjadi katalis positif bagi harga minyak karena membuat komoditas ini lebih murah bagi pembeli internasional, belum mampu membalikkan arah tren secara signifikan. Ini menunjukkan bahwa sentimen negatif saat ini memiliki bobot lebih besar dibandingkan faktor pendukung lainnya.
Andy juga menekankan pentingnya strategi pengelolaan risiko bagi pelaku pasar. Dalam situasi volatil seperti ini, kewaspadaan menjadi kunci untuk menghadapi dinamika harga yang bergerak cepat. Ia menambahkan bahwa pasar akan tetap rentan dan cenderung bergerak sideways hingga muncul katalis baru yang lebih kuat untuk mengubah arah pergerakan.
"Dengan semakin kuatnya tekanan dari sisi fundamental dan teknikal, pasar minyak saat ini bergerak dalam kondisi yang rentan dan cenderung sideways hingga muncul katalis baru yang lebih kuat," ujar Andy.
Ke depan, fokus utama investor akan tertuju pada perkembangan kebijakan perdagangan antara AS dan Uni Eropa, serta laporan-laporan terkait data pasokan dari negara-negara produsen utama. Dalam iklim ketidakpastian seperti sekarang, setiap pernyataan resmi maupun spekulasi politik bisa memicu gejolak harga secara instan. Bagi pelaku pasar, memahami konteks global menjadi penting untuk membaca arah pasar dan menentukan posisi yang tepat dalam menghadapi fluktuasi energi.