Kredit Bank

Kredit Bank Lesu, Daya Serap Usaha Melemah

Kredit Bank Lesu, Daya Serap Usaha Melemah
Kredit Bank Lesu, Daya Serap Usaha Melemah

JAKARTA - Kinerja penyaluran kredit oleh sektor perbankan mengalami perlambatan yang mengindikasikan belum pulihnya gairah ekonomi nasional, meskipun sejumlah stimulus moneter telah digelontorkan. Realisasi pertumbuhan kredit perbankan  tercatat hanya sebesar 7,77% secara tahunan (year-on-year), lebih rendah dari bulan sebelumnya yang mencapai 8,43%. Angka ini menjadi yang terendah, menandakan tekanan yang masih kuat pada sektor riil.

Lemahnya penyerapan kredit menjadi cerminan bahwa dunia usaha belum sepenuhnya bangkit. Meskipun suku bunga acuan sudah dipangkas oleh Bank Indonesia (BI) dalam beberapa bulan terakhir, dampaknya belum sepenuhnya terasa di sisi permintaan kredit. Kalangan pelaku usaha tampaknya masih bersikap hati-hati dalam mengembangkan bisnisnya, sementara perbankan pun tetap selektif menyalurkan pembiayaan.

Bank Indonesia sebelumnya telah menurunkan BI-Rate sebesar 25 basis poin menjadi 5,25% pada Juli 2025 sebagai langkah lanjutan dari penurunan pada Mei. Tujuan kebijakan ini adalah untuk memperlonggar likuiditas dan mendorong bank agar lebih agresif menyalurkan kredit ke sektor produktif. Namun sayangnya, transmisi kebijakan tersebut belum berjalan optimal, terlihat dari stagnannya suku bunga kredit dan lemahnya pertumbuhan pinjaman.

Penurunan BI-Rate sejatinya telah diikuti oleh penurunan suku bunga di pasar uang. Tingkat suku bunga overnight (INDONIA) turun dari 5,77% menjadi 5,14%, sementara suku bunga Surat Berharga Rupiah Bank Indonesia (SRBI) untuk tenor 6 hingga 12 bulan juga mengalami penurunan signifikan. Hal serupa terjadi pada imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) untuk tenor 2 dan 10 tahun, yang masing-masing merosot ke level 5,86% dan 6,56%. Ini menunjukkan bahwa ekspektasi pasar sudah selaras dengan arah pelonggaran moneter.

Namun, di sisi perbankan, penyesuaian terhadap suku bunga kredit belum agresif. Data BI menunjukkan bahwa rata-rata suku bunga kredit pada Juni 2025 masih berada di level tinggi, yakni 9,16%, hanya sedikit turun dari 9,18% pada Mei. Sementara suku bunga deposito justru naik dari 4,81% menjadi 4,85%, memperlihatkan bahwa bank lebih fokus menarik dana pihak ketiga ketimbang mempercepat penyaluran kredit.

Kondisi ini memicu kekhawatiran akan efektivitas transmisi kebijakan moneter ke sektor riil. Padahal, Bank Indonesia telah menambahkan likuiditas ke sistem keuangan sebagai bagian dari strategi operasi moneter yang longgar. Gubernur BI Perry Warjiyo sebelumnya menyampaikan bahwa kondisi likuiditas yang semakin longgar seharusnya menjadi sinyal bagi bank untuk mengalihkan dana dari surat berharga ke sektor produktif.

“Oleh karena itu kenapa dengan tadi suku bunga BI kita turunkan, likuiditas terus kita tambahkan dalam dan juga dalam strategi operasi moneter kita. Juga dengan penambahan likuiditas, kecenderungan suku bunga, tidak hanya BI-Rate, tapi juga untuk tenor-tenor sampai dengan 12 bulan juga akan cenderung turun,” ujar Perry.

Perry juga menyampaikan bahwa tren penurunan imbal hasil SBN memberikan ruang bagi bank untuk memperluas portofolio kredit. Alih-alih menyimpan dana pada instrumen berisiko rendah, bank diharapkan berani menyalurkan kredit ke sektor-sektor usaha yang produktif.

“Ini yang kemudian juga tentu saja akan mendorong perbankan lebih banyak mengalokasikan alat likuidnya, bukan ke surat-surat berharga, tapi juga ke kredit. Tentu saja kita juga lihat suku bunga SBN yield juga akan semakin turun dan tentu saja juga akan mendorong perbankan menyalurkan kredit kepada dunia usaha,” kata Perry.

Namun demikian, BI juga memahami bahwa pihak perbankan tetap harus melakukan asesmen yang cermat dalam menentukan kelayakan kredit. Terlebih, tekanan terhadap sejumlah sektor usaha belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi maupun dinamika global.

“Tentu saja kami menyadari bank-bank akan hati-hati dalam melakukan assessment sektor-sektor mana, korporat mana yang layak dalam mendapatkan kredit. Tapi imbauan kami, yuk bersama-sama turunkan suku bunga, yuk kita sama-sama mendorong kredit dan mari kita bersama-sama mendorong pertumbuhan ekonomi untuk negara kita dan juga untuk kesejahteraan rakyat,” tutur Perry.

Di tengah laju pertumbuhan kredit yang melemah ini, para ekonom menilai pentingnya sinergi antara kebijakan moneter dan fiskal. Selain memberikan stimulus dari sisi suku bunga, pemerintah juga diharapkan memperkuat belanja produktif, mempercepat realisasi anggaran, dan menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif. Kombinasi ini diperlukan agar penyaluran kredit perbankan benar-benar mampu mendukung pemulihan ekonomi nasional secara menyeluruh.

Dengan demikian, tantangan terbesar saat ini bukan hanya soal likuiditas, tetapi juga bagaimana mengembalikan kepercayaan dunia usaha untuk berekspansi dan meningkatkan permintaan kredit. Tanpa permintaan yang kuat, insentif moneter sebesar apa pun akan sulit berdampak optimal. Maka dari itu, BI dan otoritas fiskal perlu terus memperkuat koordinasi agar kebijakan yang ditempuh benar-benar menyentuh sektor riil.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index