JAKARTA - Suasana kelas yang biasanya diisi dengan obrolan santai dan candaan tawa, tiba-tiba berubah menjadi hening saat saya mengangkat tema Kolonialisme Belanda dalam sejarah Indonesia. Di tengah deretan wajah yang terlihat fokus atau bahkan bingung, ada satu ekspresi yang paling mencolok—seorang siswa kelas XI dengan roman serius, matanya menyiratkan kedalaman pemikiran yang jarang terlihat pada usianya. Ketika saya memantik diskusi tentang bagaimana Belanda menginjakkan kaki di Nusantara, ia mengangkat tangan, dan pertanyaannya bukan sekadar rasa ingin tahu biasa, melainkan suatu refleksi yang mengusik dasar pemahaman kita akan sejarah.
"Apa benar Belanda datang hanya untuk berdagang, atau sejak awal mereka sudah merencanakan penjajahan?"
Pertanyaan itu mengguncang ruangan. Bukan karena provokatif, tetapi karena ia menyentuh akar masalah yang sering kali diabaikan dalam buku teks sejarah: niat tersembunyi di balik ekspansi kolonial. Wajahnya yang tenang kontras dengan intensitas pertanyaannya, seolah ia telah melalui berbagai pertimbangan sebelum akhirnya berani mengungkapkannya. Beberapa temannya terlihat terkejut, tetapi yang lain mulai terpancing untuk ikut berpikir. Diskusi yang awalnya berjalan satu arah, berubah menjadi debat hidup tentang motif ekonomi versus politik kolonialisme.
Pelajaran sejarah kerap disampaikan sebagai rangkaian fakta statis—tanggal, peristiwa, nama pejuang—tetapi jarang mengajak siswa mengeksplorasi motif di balik tindakan sejarah. Melalui pertanyaan siswa itu, kita diingatkan bahwa kolonialisme bukan sekadar datang, menguasai, lalu pergi. Ada hitam putih di sana, tetapi juga abu-abu yang memerlukan analisis lebih dalam. Misalnya, bagaimana Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) mulanya memang fokus pada perdagangan rempah, tetapi struktur monopoli dan kekerasan yang diberlakukan lambat laun menunjukkan transformasi ke arah pendudukan politik.
Uniknya, siswa tersebut tidak puas dengan jawaban standar. Ia terus melanjutkan, "Kalau memang Belanda awalnya cuma mau dagang, mengapa mereka membangun benteng, mengerahkan tentara, dan menerapkan kerja paksa? Apakah itu masih bisa disebut 'urusan bisnis'?" Di sinilah diskusi menjadi lebih kritis. Ia secara tidak langsung menantang narasi sejarah yang terlalu menyederhanakan kolonialisme sebagai "perdagangan yang keliru jalur". Pertanyaan ini mencerminkan cara berpikir cause and effect, melihat tindakan kolonial bukan sebagai kesalahan tak sengaja, melainkan sebagai sistem yang dirancang untuk eksploitasi.
Reaksi kelas beragam. Sebagian siswa terlihat setuju, mengangguk-angguk, sementara yang lain justru mempertanyakan apakah kita "terlalu berprasangka" kepada Belanda. Seorang siswa bahkan berargumen, "Tapi kan Belanda juga membangun infrastruktur seperti jalan dan rel kereta api. Tidak semuanya buruk, kan?" Di situlah diskusi semakin kaya. Kita dipaksa mempertimbangkan warisan kolonial yang ambivalen—di satu sisi, penderitaan dan penindasan; di sisi lain, modernisasi paksa yang meletakkan dasar bagi Indonesia kontemporer.
Yang menarik, siswa yang pertama kali bertanya tidak langsung menolak pendapat temannya. Ia merespons dengan bijak, "Memang Belanda meninggalkan infrastruktur, tetapi dengan biaya berapa? Apakah kita harus berterima kasih pada penjajah hanya karena mereka membangun rel kereta api, sementara jutaan rakyat menjadi korban kerja rodi?" Ini menunjukkan kemampuan analitis yang jarang ditemui di tingkat SMA. Ia tidak terjebak dikotomi "benar-salah", tetapi melihat kolonialisme sebagai fenomena kompleks dengan lapisan ekonomi, politik, dan sosial yang saling berkait.
Diskusi ini mengajarkan satu hal penting: sejarah bukan hafalan, melainkan proses bertanya. Siswa tersebut, dengan ekspresi seriusnya, telah mengubah kelas menjadi ruang dialog kritis. Ia mengingatkan kita bahwa pelajaran sejarah harus lebih dari sekadar mengingat tahun, tetapi juga tentang mempertanyakan mengapa dan bagaimana—dua kata yang sering luput dari kurikulum kita.
Pada akhir sesi, saya menyimpulkan dengan pertanyaan balik: "Jika kalian hidup di era kolonial, apakah akan tetap menganggap Belanda hanya sebagai pedagang rempah, atau sudah melihat mereka sebagai penjajah?" Ruangan kembali hening, dan sekali lagi, sorot mata siswa tadi menunjukkan bahwa ia masih berpikir. Barangkali besok, atau lusa, ia akan datang dengan pertanyaan baru—sesuatu yang kembali memicu kelas untuk tidak sekadar membaca sejarah, tapi memahaminya.
Dan itulah tujuan pendidikan sejarah sesungguhnya: bukan menjejali ingatan, tetapi menyalakan api keingintahuan. Api yang, dalam sorot mata siswa itu, jelas masih menyala.