AI

Teknologi AI Lawan Tradisi di Dunia Game dan Olahraga

Teknologi AI Lawan Tradisi di Dunia Game dan Olahraga
Teknologi AI Lawan Tradisi di Dunia Game dan Olahraga

JAKARTA - Alih-alih menjadi penyempurna, penerapan teknologi kecerdasan buatan (AI) dalam dunia permainan mulai mengundang resistensi. Gelombang protes dan ketidakpuasan muncul, bukan hanya dari kalangan penggemar, tapi juga pelaku utama di lapangan. Dunia olahraga dan industri gim kini dihadapkan pada pertanyaan besar: sejauh mana teknologi dapat diterima tanpa merusak esensi dari sebuah permainan?

Dalam turnamen tenis paling bergengsi di Inggris, para pemain dan penonton menyuarakan keresahan mereka. Tahun ini menjadi momen pertama di mana seluruh hakim garis manusia digantikan oleh sistem pemanggil garis elektronik berbasis AI. Sistem ini, yang dikenal dengan nama Hawk-Eye Live, secara otomatis menentukan apakah bola masuk atau keluar dalam waktu sepersekian detik menggunakan kamera berkecepatan tinggi. Namun ternyata, kehadiran teknologi ini tidak serta-merta diterima dengan antusias.

Emma Raducanu, bintang tenis Inggris, menjadi salah satu pemain yang menyuarakan ketidakpuasan secara terbuka. Ia menyebut keputusan sistem AI dalam salah satu pertandingannya tidak akurat karena menganggap bola lawan masuk padahal jelas keluar dalam tayangan ulang. Kritik serupa juga datang dari Jack Draper, petenis nomor satu Inggris, yang menyebut bahwa akurasi sistem masih belum sepenuhnya dapat diandalkan.

Bukan hanya itu, gangguan sistemik pun terjadi. Dalam satu pertandingan, teknologi AI bahkan tidak dapat memproses posisi bola sehingga wasit harus turun tangan dan meminta reli diulang. Ada pula insiden ketika sistem gagal bekerja karena kondisi sinar matahari yang terlalu redup. Pemain tuna rungu juga merasa dirugikan karena tidak adanya isyarat tangan dari hakim garis manusia, membuat mereka kesulitan memahami hasil tiap poin.

Tak heran bila para penonton pun ikut meluapkan kekecewaannya melalui media sosial. Mereka menilai pertandingan kehilangan unsur dramatis yang biasanya tercipta dari interaksi manusia di lapangan—sorakan wasit, ketegangan saat hakim garis menunggu keputusan, atau ketidakpastian yang menambah intensitas.

Di balik semua itu, muncul satu pertanyaan besar: apakah sebuah pertandingan tetap bisa disebut "permainan" jika unsur manusianya kian terpinggirkan?

Persoalan serupa terjadi pula dalam dunia gim video. AI yang semula diharapkan mampu meningkatkan kualitas dan kedalaman permainan kini justru dituding sebagai penghancur industri. Laman Apptunik melaporkan bagaimana AI digunakan untuk menciptakan konten secara massal dengan kecepatan tinggi namun minim nilai artistik. Alhasil, gim-gim yang dihasilkan kerap kehilangan sentuhan manusia—kreativitas, emosi, dan nuansa yang hanya bisa lahir dari imajinasi seniman sejati.

Dalam gim tertentu, musuh yang digerakkan AI menjadi sangat sulit dihadapi, menciptakan ketidakseimbangan yang memicu frustrasi pemain. Konten yang dihasilkan AI pun sering kali terkesan generik dan tanpa jiwa. Kesenangan yang semestinya menjadi inti dari bermain malah tergantikan dengan rasa jenuh dan kebingungan.

Para pengamat pun mengkritik AI sebagai alat produksi yang hanya menciptakan “tumpukan data digital tak berharga”. Gim yang dirancang cepat dan murah lewat AI mungkin menjanjikan efisiensi, tapi kehilangan kedalaman dan kualitas yang membuatnya dicintai.

Sosiolog Prancis, Roger Caillois, pernah mendefinisikan permainan sebagai aktivitas yang bersifat sukarela, menyenangkan, tidak dapat diprediksi, serta memiliki aturan tersendiri. Salah satu syarat utama dari permainan adalah menghadirkan kesenangan bagi pelakunya.

Namun, banyak pihak menilai bahwa AI justru menghapus aspek menyenangkan itu. Dalam konteks pertandingan tenis, misalnya, keputusan mesin terasa dingin, kaku, dan tidak manusiawi. Tidak ada lagi perdebatan seru, ekspresi wasit yang penuh tekanan, atau drama yang muncul dari keputusan manusia yang bisa salah dan diperbaiki.

Begitu pula dalam dunia gim video. Ketika dunia permainan sepenuhnya dikendalikan oleh algoritma, pemain kehilangan kejutan-kejutan yang hanya bisa lahir dari tangan manusia. Pemain tak lagi merasakan ikatan emosional karena karakter dan dunia dalam gim terasa seperti salinan datar dari ribuan skenario yang sama.

Meski demikian, tak sedikit pula yang justru memuji potensi AI dalam permainan. Laman Enablis memprediksi bahwa pada masa mendatang, AI dalam gim tidak hanya akan menciptakan karakter non-pemain yang lebih cerdas, tapi juga dunia permainan yang dinamis. Pemain akan berinteraksi dengan dunia yang berevolusi secara real-time, di mana keputusan mereka akan memberikan dampak permanen.

Bayangkan gim yang mampu “mengingat” setiap pilihan Anda, atau di mana alur cerita berubah sesuai dengan perilaku Anda sepanjang permainan. Ini adalah bentuk keterlibatan baru yang digadang-gadang menjadi masa depan dunia gim.

Dengan teknologi seperti ini, sebagian orang melihat AI bukan sebagai ancaman, tapi sebagai alat yang memperluas batas imajinasi manusia. Mereka beranggapan bahwa AI bisa menjadi mitra dalam menciptakan dunia baru yang lebih kompleks dan mendalam.

Kini, perdebatan pun semakin mengemuka. Akankah permainan tetap menjadi milik manusia dengan segala keunikannya? Ataukah perlahan-lahan akan diambil alih oleh sistem otomatis yang mengedepankan efisiensi ketimbang emosi?

Yang pasti, baik pendukung maupun penentang teknologi AI sepakat pada satu hal: permainan bukan sekadar alat hiburan, melainkan ruang tempat manusia mengekspresikan diri. Maka, selama teknologi tetap menghormati hakikat itu, mungkin keduanya bisa hidup berdampingan. Namun jika tidak, ancaman terbesar bukan pada kerusakan sistem, tapi pada hilangnya jiwa dalam setiap permainan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index