JEPANG

Jepang Hadapi Lonjakan Gempa, Tegas Lawan Misinformasi

Jepang Hadapi Lonjakan Gempa, Tegas Lawan Misinformasi
Jepang Hadapi Lonjakan Gempa, Tegas Lawan Misinformasi

JAKARTA - Di tengah lonjakan aktivitas seismik di wilayah barat daya, Jepang kembali menegaskan posisinya sebagai negara yang tangguh menghadapi bencana. Peringatan pemerintah soal potensi gempa bumi besar yang bisa terjadi di sekitar pulau-pulau utama, bukan semata bentuk alarm, melainkan juga panggilan untuk tetap rasional dalam menyikapi informasi bencana—terutama yang berasal dari sumber tak valid, termasuk ramalan komik atau teori kiamat.

Lebih dari seribu gempa telah mengguncang kepulauan Prefektur Kagoshima dalam dua minggu terakhir. Salah satu gempa berkekuatan 5,5 skala Richter bahkan menyebabkan guncangan yang cukup kuat hingga membuat warga kesulitan berdiri. Sebagai langkah antisipatif, otoritas Jepang mengevakuasi penduduk dari pulau-pulau terpencil yang berada di dekat episentrum. Namun, isu besar bukan hanya datang dari dalam perut bumi, melainkan juga dari dunia maya.

Antara Fakta Ilmiah dan Prediksi Manga

Situasi darurat seismik ini secara tak terduga diperkeruh oleh beredarnya prediksi dari sebuah manga populer berjudul The Future I Saw. Komik ini, yang pertama kali terbit pada 1999 dan kembali dirilis pada 2021, oleh sebagian kalangan ditafsirkan sebagai ramalan bahwa Jepang akan mengalami bencana besar bulan ini.

Tafsiran itu menyebar luas, terutama di kalangan pengguna media sosial dari luar negeri. Bahkan, imbas langsung mulai terasa terhadap sektor pariwisata. Otoritas mencatat bahwa kunjungan wisatawan asal Hong Kong—salah satu kawasan yang menjadi pusat penyebaran rumor—menurun hingga 11 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Padahal, Jepang sedang mencetak rekor jumlah wisatawan. Data bulan April menunjukkan angka tertinggi sepanjang sejarah, yakni 3,9 juta pengunjung dalam sebulan. Pemerintah pun segera merespons gencarnya isu bencana kiamat ini.

Pemerintah Tegaskan Pendekatan Ilmiah

Dalam konferensi pers yang diadakan tak lama setelah gempa susulan berkekuatan 5,4 mengguncang kawasan selatan, Ayataka Ebita dari Badan Meteorologi Jepang menegaskan pentingnya menyikapi bencana berdasarkan ilmu pengetahuan, bukan spekulasi.

"Dengan pengetahuan ilmiah kita saat ini, sulit untuk memprediksi waktu, tempat, atau skala gempa bumi yang tepat," kata Ebita.

Pernyataan tersebut menjadi pengingat kuat bahwa meskipun Jepang memiliki sistem pemantauan gempa terbaik di dunia, prediksi gempa masih sangat kompleks dan belum bisa dilakukan secara presisi. Oleh karena itu, ia mengajak masyarakat agar memahami risiko bencana berdasarkan data dan analisis resmi, bukan narasi fiksi.

"Kami meminta agar orang-orang mendasarkan pemahaman mereka pada bukti ilmiah," tegas Ebita.

Reaksi Sang Pembuat Komik

Ryo Tatsuki, seniman di balik manga yang menjadi pusat polemik, juga angkat bicara. Dalam pernyataan resmi yang dirilis penerbitnya, ia membantah anggapan bahwa dirinya adalah seorang peramal.

“Saya bukan seorang nabi,” ujar Tatsuki, menanggapi interpretasi pembaca yang mengaitkan karyanya dengan bencana.

Walau karyanya menceritakan beberapa kejadian serupa gempa yang kemudian terjadi, Tatsuki menjelaskan bahwa semua itu murni hasil imajinasi dan bukan prediksi masa depan.

Jepang, Negeri Rawan Gempa yang Siaga

Tak bisa dipungkiri, Jepang memang berada di salah satu zona seismik paling aktif di dunia. Sekitar 20 persen gempa bumi berkekuatan 6 atau lebih besar di dunia terjadi di wilayah ini. Letak geografis di pertemuan beberapa lempeng tektonik besar membuat negeri ini harus hidup berdampingan dengan potensi bencana setiap saat.

Namun, justru karena pengalaman panjang itulah, Jepang menjadi negara dengan sistem mitigasi bencana paling maju. Sistem peringatan dini, simulasi rutin, pembangunan tahan gempa, serta edukasi publik tentang keselamatan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan warganya.

Komunikasi Krisis dan Tantangan Era Digital

Di era digital saat ini, tantangan mitigasi bencana tidak hanya berada pada aspek teknis dan infrastruktur, tetapi juga pada komunikasi publik. Penyebaran rumor dan narasi tak berdasar bisa mengganggu respons masyarakat terhadap situasi darurat, bahkan memicu kepanikan atau pengambilan keputusan yang keliru.

Fenomena yang terjadi baru-baru ini menjadi pelajaran penting tentang bagaimana misinformasi dapat memperburuk situasi di tengah krisis. Pemerintah Jepang, melalui pernyataan dan langkah konkret, berusaha meredam spekulasi serta mengembalikan fokus publik pada informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Masyarakat Diminta Tetap Tenang dan Siaga

Walau aktivitas seismik meningkat di kawasan barat daya, otoritas Jepang tidak pernah mengeluarkan peringatan akan datangnya bencana besar atau kiamat. Justru sebaliknya, mereka menekankan kesiapsiagaan sebagai bentuk adaptasi hidup dalam lingkungan yang rawan.

Evakuasi penduduk dari daerah dekat episentrum adalah langkah antisipatif, bukan indikator akan terjadinya bencana dahsyat. Pihak berwenang juga terus melakukan pemantauan secara ketat terhadap aktivitas gempa.

Dalam situasi seperti ini, sinergi antara pemerintah, media, dan masyarakat menjadi sangat penting. Informasi yang valid, transparansi data, serta edukasi kebencanaan akan menjadi kunci utama menjaga ketenangan publik sekaligus kesiapan menghadapi kemungkinan terburuk.

Antara Sains, Budaya Pop, dan Ketahanan Sosial

Kasus ini bukan semata soal gempa bumi, melainkan juga bagaimana masyarakat modern merespons narasi krisis di tengah informasi berlimpah. Jepang, dengan seluruh pengalamannya menghadapi bencana alam, sekali lagi menunjukkan bahwa kesiapsiagaan bukan hanya soal infrastruktur, tetapi juga soal kedewasaan dalam memilah informasi dan membangun literasi kebencanaan.

Jika ada pelajaran yang bisa dipetik dari lonjakan gempa dan rumor kiamat ini, maka itu adalah pentingnya tetap tenang, berpikir kritis, dan berpegang pada fakta dalam menyikapi krisis. Sebab, di era banjir informasi, gempa bisa datang.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index