JAKARTA - Emiten properti yang berfokus pada kawasan industri menghadapi tekanan pasar yang masih fluktuatif hingga paruh kedua tahun 2025. Berbagai sentimen global dan domestik menjadi faktor utama yang mempengaruhi pergerakan saham dan kinerja sektor ini.
Sejak awal tahun 2025, pergerakan saham perusahaan properti kawasan industri menunjukkan tren yang beragam. PT Puradelta Lestari Tbk (DMAS) tercatat mengalami penurunan saham sebesar 8,05% secara year to date (YTD), sementara PT Jababeka Tbk (KIJA) juga mengalami penurunan 3,23% YTD. Di sisi lain, PT Surya Semesta Internusa Tbk (SSIA) mampu mencatat kenaikan signifikan mencapai 26,77% YTD.
Namun, pergerakan saham ini belum sepenuhnya mencerminkan kondisi keuangan aktual emiten tersebut. Misalnya, SSIA melaporkan penurunan pendapatan sebesar 2,1% menjadi Rp 1,06 triliun pada kuartal I 2025 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp 1,09 triliun.
Berbeda dengan SSIA, KIJA justru menunjukkan kinerja keuangan yang solid dengan pertumbuhan pendapatan konsolidasi sebesar 87%, naik dari Rp 690 miliar menjadi Rp 1,29 triliun pada kuartal I 2025. Untuk mengantisipasi tantangan pasar di semester II 2025, KIJA menyiapkan sejumlah strategi guna menghadapi dinamika yang dipengaruhi oleh ketidakpastian global.
Sekretaris Perusahaan KIJA, Mulyadi Suganda, mengungkapkan bahwa sentimen ketidakpastian global terutama dipicu oleh isu tarif resiprokal antara Amerika Serikat dan mitra dagangnya, pelemahan indeks dolar AS, serta ketegangan geopolitik di kawasan Eropa Timur dan Timur Tengah. Meskipun demikian, KIJA melihat peluang pertumbuhan dari tren relokasi dan diversifikasi rantai pasok industri, khususnya di kawasan industri yang mereka kembangkan di Cikarang dan Kendal.
“Kami mencatat adanya peningkatan minat investor asing, terutama dari Asia, meskipun beberapa masih dalam posisi wait and see,” ungkap Mulyadi. Ia juga menambahkan bahwa fluktuasi nilai tukar akibat volatilitas indeks dolar AS berdampak pada biaya pendanaan dan risiko valuta asing, sehingga perusahaan menjalankan manajemen risiko dengan melakukan konversi pinjaman sebesar US$ 87,4 juta menjadi rupiah sekitar Rp 1,4 triliun untuk mengurangi risiko tersebut.
Menurut Ekky Topan, Investment Analyst dari Infovesta Kapital Advisori, kinerja emiten properti kawasan industri pada kuartal II 2025 diprediksi masih akan bervariasi, bergantung pada realisasi proyek yang sedang berjalan. SSIA diperkirakan akan memperoleh pertumbuhan positif berkat penjualan lahan kepada BYD serta dimulainya proyek konstruksi ekosistem kendaraan listrik (EV). Sementara itu, DMAS diharapkan mampu mempertahankan kinerja yang solid karena penjualan kawasan Greenland International Industrial Center (GIIC) yang mencapai area seluas 1.846 hektare. Namun, keterbatasan cadangan lahan menjadi hambatan bagi pertumbuhan jangka panjang.
Dukungan makroekonomi juga menjadi katalis penting, termasuk keberlangsungan proyek strategis nasional (PSN) dan pertumbuhan konstruksi industri berbasis EV. Potensi penurunan suku bunga acuan juga dinilai dapat meningkatkan minat investasi ke sektor ini.
Namun, Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, menilai bahwa kinerja emiten properti kawasan industri masih tertekan oleh dinamika geopolitik global dan perang tarif yang menyebabkan kontraksi aktivitas industri secara global. Ditambah dengan masalah domestik berupa sengketa lahan dan konflik sosial dengan organisasi masyarakat yang memicu ketidakpastian hukum.
“Risiko global dan domestik ini berpotensi memperlambat masuknya investasi asing serta memberi tekanan negatif terhadap sektor properti kawasan industri,” kata Ekky. Ia juga menambahkan bahwa masalah perizinan dan gangguan sosial merupakan tantangan tambahan yang harus diatasi.
Dari sisi pasar modal, saham SSIA menunjukkan tren kenaikan yang mencerminkan apresiasi pasar terhadap prospek bisnisnya, terutama terkait proyek kendaraan listrik. Saat ini, saham SSIA berada di level Rp 1.705 per saham dengan target teknikal selanjutnya di Rp 2.000 per saham. Namun, analis mengingatkan untuk mewaspadai potensi pembalikan tren apabila harga turun di bawah Rp 1.600 per saham.
Sementara itu, DMAS dan KIJA meskipun menunjukkan kinerja operasional yang relatif stabil, belum mendapatkan apresiasi kuat dari pasar dengan pergerakan saham yang cenderung stagnan. Harga saham KIJA saat ini berada di sekitar Rp 180 per saham dengan potensi kenaikan jika mampu menembus resistance di Rp 186 per saham.
Nafan memperkirakan pemulihan emiten properti kawasan industri baru akan terjadi jika sentimen perang dagang mereda dan kebijakan moneter mulai longgar dengan penurunan suku bunga acuan. Kondisi tersebut diharapkan dapat menstabilkan rantai pasokan global dan mendorong ekspansi sektor manufaktur.
Untungnya, industri di Indonesia masih didukung oleh perdagangan regional ASEAN dan kawasan Asia lainnya yang tidak terlalu terdampak langsung oleh konflik global, dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Hal ini menjadi modal positif bagi peningkatan kinerja emiten properti kawasan industri.
Meski demikian, hingga saat ini analis belum memberikan rekomendasi beli untuk DMAS dan KIJA karena pergerakan saham yang belum signifikan, sementara rekomendasi “sell on strength” tetap disarankan untuk SSIA.