JAKARTA - Di tengah upaya pemerintah untuk memperkuat tata kelola sektor pertambangan, rencana pengembalian masa persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dari tiga tahun menjadi satu tahun justru memunculkan kekhawatiran di kalangan pelaku industri. Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menjadi salah satu pihak yang secara terbuka menyampaikan tanggapannya.
Alih-alih dianggap sebagai solusi, pengembalian masa persetujuan RKAB ke satu tahun dinilai justru berpotensi menimbulkan persoalan baru, khususnya dari sisi efisiensi, birokrasi, dan beban biaya tambahan yang harus ditanggung oleh pelaku usaha. Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Jenderal APNI, Meidy Katrin Lengkey.
Tantangan dalam Implementasi Kebijakan Baru
Meidy menyampaikan bahwa pemerintah seharusnya mempertimbangkan berbagai aspek sebelum memutuskan untuk memangkas masa berlaku RKAB. Sebab, perubahan ini tidak hanya berdampak pada perusahaan tambang skala besar, tetapi juga menambah beban administratif bagi perusahaan menengah dan kecil.
“Langkah ini perlu dikaji ulang dari aspek efisiensi waktu, biaya, dan kapasitas evaluasi pemerintah,” tegas Meidy dalam pernyataan resminya.
Menurutnya, perpanjangan masa RKAB menjadi tiga tahun yang diterapkan sebelumnya telah memberi angin segar bagi industri tambang. Perusahaan dapat merencanakan kegiatan eksplorasi dan produksi dengan lebih matang, sehingga aktivitas operasional dapat berjalan lebih stabil dan berkelanjutan.
Dengan dikembalikannya masa berlaku RKAB ke satu tahun, dikhawatirkan akan muncul ketidakpastian dalam perencanaan investasi. Perusahaan harus kembali mengurus persetujuan setiap tahun, yang berarti mereka harus mengalokasikan kembali sumber daya untuk proses administratif alih-alih fokus pada kegiatan produksi dan ekspansi.
Keterbatasan Kapasitas Pemerintah
Salah satu catatan penting yang disampaikan oleh APNI adalah soal kapasitas evaluasi pemerintah. Dalam praktiknya, evaluasi RKAB tidak hanya membutuhkan dokumen teknis, tetapi juga analisis yang mendalam, termasuk dari aspek lingkungan, keselamatan kerja, hingga perencanaan produksi dan pemanfaatan sumber daya.
“Jika semua perusahaan tambang harus mengajukan RKAB setiap tahun, maka beban evaluasi di pihak pemerintah akan meningkat signifikan,” ujar Meidy.
Kondisi ini bisa memicu penumpukan berkas dan memperlambat proses persetujuan, apalagi jika tidak diiringi dengan peningkatan jumlah dan kapasitas sumber daya manusia di kementerian atau instansi teknis terkait. Hal ini berpotensi menciptakan backlog administratif dan menghambat kegiatan operasional tambang di berbagai wilayah.
Konsekuensi terhadap Daya Saing Industri
Indonesia saat ini tengah bersaing dengan negara-negara lain dalam mengembangkan ekosistem hilirisasi mineral, terutama nikel yang menjadi bahan utama dalam industri baterai kendaraan listrik. Dengan rencana perubahan masa berlaku RKAB ini, pelaku industri khawatir bahwa daya saing Indonesia bisa melemah.
Meidy mengingatkan bahwa ketidakpastian regulasi menjadi salah satu indikator utama yang dinilai oleh investor global. Ketika regulasi berubah secara cepat dan tanpa transisi yang matang, maka persepsi risiko terhadap berinvestasi di Indonesia akan meningkat.
"Ketidakpastian dalam aspek perizinan akan membuat investor berpikir ulang untuk menanamkan modalnya di sektor tambang Indonesia. Ini bisa menjadi bumerang bagi target hilirisasi nasional yang selama ini dikampanyekan,” ucap Meidy.
Alternatif dan Solusi dari APNI
Alih-alih memperpendek masa berlaku RKAB secara menyeluruh, APNI menawarkan alternatif yang dinilai lebih adaptif. Salah satunya adalah skema hybrid di mana perusahaan tambang dengan rekam jejak kinerja baik dapat diberikan persetujuan RKAB tiga tahun, sementara perusahaan baru atau yang belum memenuhi kriteria tertentu tetap mendapatkan RKAB satu tahun.
Skema ini tidak hanya memberi fleksibilitas, tetapi juga mendorong perusahaan untuk memperbaiki tata kelola dan kepatuhan operasional mereka.
“Pemerintah bisa menerapkan sistem reward and punishment. Perusahaan yang patuh diberi insentif dalam bentuk RKAB jangka panjang. Sebaliknya, yang tidak patuh tetap dievaluasi ketat tiap tahun,” usul Meidy.
Tanggapan Pelaku Usaha Lain
Senada dengan APNI, sejumlah pengusaha tambang nikel juga menyampaikan kekhawatiran serupa. Beberapa di antaranya bahkan mengaku sudah menyiapkan investasi jangka menengah berdasarkan RKAB tiga tahun, dan kini harus menyesuaikan ulang.
“Kalau tahun depan harus mulai dari awal lagi, itu butuh waktu dan biaya. Padahal perencanaan kami sudah jalan dengan asumsi jangka panjang,” ujar seorang pelaku usaha tambang di Sulawesi Tenggara.
Ia menambahkan bahwa proses pengurusan RKAB cukup rumit dan seringkali membutuhkan waktu lebih dari satu bulan, belum termasuk potensi revisi atau koreksi dari pemerintah.
Harapan untuk Dialog Terbuka
Dalam situasi yang semakin dinamis ini, APNI berharap pemerintah membuka ruang dialog dengan para pemangku kepentingan, terutama asosiasi dan pelaku industri yang terdampak langsung.
Keterlibatan industri dalam perumusan kebijakan, menurut Meidy, akan memperkuat efektivitas implementasi kebijakan itu sendiri.
“Kami berharap ada diskusi terbuka sebelum keputusan final diambil. Tujuannya bukan menolak, tetapi mencari jalan terbaik agar efisiensi pemerintah tetap terjaga, namun pelaku industri juga tidak dirugikan,” kata Meidy.
Perdebatan mengenai masa berlaku RKAB memang mencerminkan dinamika antara keinginan pemerintah untuk meningkatkan pengawasan dan efisiensi tata kelola dengan kebutuhan dunia usaha akan stabilitas dan kepastian regulasi.
Ke depan, tantangan pemerintah adalah merumuskan kebijakan yang adaptif, berkeadilan, dan mampu menjembatani kepentingan semua pihak—agar sektor pertambangan tetap tumbuh dengan baik sekaligus berkontribusi optimal terhadap perekonomian nasional.