JAKARTA - Meskipun industri kendaraan listrik (EV) di Indonesia mengalami lonjakan pesat sejak awal 2010-an dan kini berhasil menempatkan Indonesia dalam kategori emerging EV market, tantangan fundamental terkait infrastruktur servis dan regulasi baterai masih menjadi pekerjaan rumah besar yang harus segera diselesaikan.
Isu ini mengemuka dalam diskusi panel bertema strategi, inovasi, dan dinamika kompetitif yang membentuk pasar kendaraan listrik Indonesia, yang diselenggarakan oleh Populix bekerja sama dengan Forum Wartawan Otomotif Indonesia (FORWOT).
Hambatan Utama: Bengkel Enggan Tangani EV
Dalam kesempatan tersebut, Susan Adi Putra, Associate Head of Research for Automotive Populix, menyoroti persoalan minimnya ketersediaan bengkel yang bersedia melakukan servis kendaraan listrik. Meskipun kendaraan listrik telah beredar lebih dari satu dekade di Indonesia, masih banyak bengkel yang menolak melakukan perbaikan — bahkan untuk masalah non-kelistrikan.
“Hingga kini, hambatan terbesar justru pada perawatan. Ini jadi keluhan banyak pemilik kendaraan listrik,” ujar Susan.
William Kusuma, Head of CEO Office ALVA, mengatakan pihaknya menyadari persoalan ini. Oleh karena itu, ALVA telah melakukan langkah konkret dengan menjalin kerja sama bersama bengkel-bengkel di sekitar jaringan dealer mereka. “Hingga saat ini ALVA telah mendukung hadirnya 46 bengkel yang mendukung servis kendaraan listrik di Indonesia. Harapannya langkah serupa juga bisa dilakukan oleh para pelaku industri kendaraan listrik lainnya, sehingga proses adopsi ini semakin lancar,” tegasnya.
Ketersediaan SPKLU Masih Terbatas
Selain masalah bengkel, keterbatasan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) juga masih membatasi kenyamanan pengguna EV di Indonesia. Data Populix menunjukkan sekitar 63% pengguna mobil listrik dan 29% pengguna motor listrik lebih memilih mengisi daya di SPKLU dibandingkan di rumah karena dianggap lebih cepat.
Namun, ketergantungan pada SPKLU ini tidak bisa diimbangi dengan jumlah SPKLU yang memadai di berbagai wilayah, sehingga kerap menjadi kendala bagi pengguna EV untuk beraktivitas jarak jauh. Kondisi ini mengancam laju adopsi kendaraan listrik yang telah tumbuh signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Kebutuhan Mendesak Standarisasi Baterai
Di samping infrastruktur, standarisasi baterai juga menjadi sorotan utama. Evvy Kartini, pendiri National Battery Research Institute (NBRI), menegaskan pemerintah harus segera menetapkan regulasi standarisasi baterai agar mendukung interoperabilitas. Saat ini, perbedaan tipe baterai dan piranti pengisian dari masing-masing merek kendaraan menjadi penghalang utama pengembangan ekosistem EV.
“Harapannya dengan standarisasi yang sama, masyarakat semakin mudah untuk me-charge kendaraan listrik mereka, dan kemudian mendorong adopsi kendaraan listrik,” ujar Evvy.
Interoperabilitas, lanjutnya, adalah kunci agar baterai dari berbagai merek atau model dapat digunakan secara bergantian dalam satu sistem pengisian. Hal ini akan meningkatkan kenyamanan konsumen karena tidak perlu khawatir baterainya hanya kompatibel dengan SPKLU tertentu.
Ukuran Baterai dan Keamanan Masih Terabaikan
Selain standarisasi tipe baterai, Evvy juga menggarisbawahi pentingnya keseragaman ukuran baterai yang mendukung penerapan interoperabilitas. Ketidaksamaan ukuran baterai antar produsen saat ini membuat proses swap battery (penukaran baterai) sulit untuk dilakukan secara masif.
Tak hanya itu, Evvy menekankan aspek keamanan baterai yang belum terjamin sepenuhnya karena regulasi yang ada belum diterapkan dengan tegas. Meski Indonesia sudah memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI) sertifikasi keamanan baterai SNI 8872 sejak 2019, implementasi di lapangan belum wajib. “Padahal regulasi tersebut berkaitan langsung dengan keselamatan konsumen kendaraan listrik,” tegas Evvy yang juga Guru Besar di Universitas Mcmaster.
Optimisme Tetap Terjaga di Tengah Tantangan
Kendati menghadapi sejumlah kendala krusial, perkembangan kendaraan listrik di Indonesia tetap menunjukkan tren positif. Hal ini ditunjukkan dengan semakin banyaknya merek yang masuk ke pasar EV nasional, serta meningkatnya kesadaran masyarakat akan kendaraan ramah lingkungan.
Langkah ALVA yang berinisiatif memperbanyak mitra bengkel bisa menjadi contoh bagi pelaku industri EV lainnya untuk turut memperkuat ekosistem kendaraan listrik. Di sisi lain, percepatan pembangunan SPKLU oleh pemerintah dan swasta mutlak dibutuhkan agar kendaraan listrik tidak hanya menjadi simbol tren, tetapi juga solusi transportasi berkelanjutan yang benar-benar praktis bagi masyarakat.
Pemerintah diharapkan segera menetapkan regulasi terkait standarisasi baterai dan memastikan sertifikasi keamanan diterapkan secara wajib. Tanpa fondasi regulasi yang kokoh, ekosistem kendaraan listrik di Indonesia hanya akan berkembang setengah hati.
Keberhasilan Indonesia menjadi pemain utama dalam pasar EV Asia tak hanya ditentukan oleh angka penjualan kendaraan, tetapi juga kesiapan infrastruktur pendukung yang memastikan kenyamanan dan keamanan pengguna. Dengan demikian, hambatan-hambatan yang dihadapi saat ini harus menjadi prioritas penyelesaian agar pertumbuhan industri kendaraan listrik di Tanah Air dapat berkelanjutan dan kompetitif secara global.