JAKARTA - Rencana pemerintah untuk memperkuat kebijakan energi bersih melalui peningkatan campuran biodiesel menjadi salah satu latar belakang penting di balik usulan kuota bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengajukan kuota BBM bersubsidi, yakni minyak tanah dan solar, sebesar 19,05 juta–19,28 juta kilo liter (KL), sedikit lebih rendah dibanding kuota APBN 2025.
“Usulan volume BBM bersubsidi dalam RAPBN tahun 2026 sebesar 19,05 juta–19,28 juta KL,” ujar Bahlil dalam Rapat Kerja dengan Komisi XII DPR di Jakarta.
Bahlil merinci kuota itu terdiri atas minyak tanah sebesar 0,52 juta–0,54 juta KL, dan solar sebesar 18,53 juta–18,74 juta KL. Angka ini menandakan pemangkasan kuota solar dibanding kuota APBN 2025 yang mencapai 18,88 juta KL.
Pemangkasan kuota solar tersebut tidak lepas dari keyakinan pemerintah bahwa dengan penerapan B50, impor solar bisa ditekan atau bahkan dihapuskan, selama produksi minyak sawit dalam negeri tetap terjaga. “Kalau untuk impor solar, kalau kita akan konversi ke B50, Insya Allah kita tidak akan impor lagi, dengan catatan produksi kita tidak boleh turun,” kata Bahlil.
Namun, Bahlil mengakui jika penerapan biodiesel hanya berhenti pada B40, maka impor solar tetap dibutuhkan untuk menutup kesenjangan antara produksi dalam negeri dengan konsumsi nasional. “Jadi, mungkin masih impor sedikit,” tambahnya.
Dalam periode Januari–Mei 2025, realisasi penyaluran BBM bersubsidi sudah mencapai 7,41 juta KL, yang terdiri atas 0,21 juta KL untuk minyak tanah dan 7,20 juta KL untuk solar. Angka ini menunjukkan tren konsumsi yang relatif stabil di tengah upaya pemerintah mengendalikan subsidi energi.
Selain kuota BBM bersubsidi, Bahlil juga mengajukan kuota LPG 3 kg dalam RAPBN 2026 sebesar 8,31 juta metrik ton (MT), naik dari 8,17 juta MT dalam APBN 2025. Realisasi penyaluran LPG 3 kg pada Januari–Mei 2025 telah mencapai 3,49 juta MT.
Meski demikian, Komisi XII DPR menilai kuota LPG 3 kg yang diajukan pemerintah masih di bawah kebutuhan riil masyarakat. Oleh karena itu, Komisi XII mengusulkan agar kuota dinaikkan menjadi 8,79 juta MT. Dalam rapat tersebut, akhirnya disepakati penggunaan kisaran kuota 8,31 juta–8,79 juta MT yang akan dibahas lebih lanjut dalam Badan Anggaran (Banggar) DPR RI.
Isu kuota BBM bersubsidi dan LPG ini menjadi semakin strategis di tengah kebijakan transisi energi yang gencar didorong pemerintah. Bahlil secara tegas mengaitkan kebijakan kuota solar dengan rencana implementasi B50, yang dinilai mampu mengurangi ketergantungan impor solar secara signifikan. Namun, ia juga mengingatkan risiko yang mengintai bila produksi minyak sawit nasional terganggu, yang dapat memaksa pemerintah kembali membuka keran impor.
Di luar pembahasan kuota BBM dan LPG, rapat kerja tersebut juga menyepakati sejumlah asumsi makro sektor energi untuk RAPBN 2026. Salah satunya adalah asumsi harga patokan minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Oil Price/ICP) pada kisaran 60–80 dolar AS per barel. Selain itu, target lifting minyak dan gas bumi (migas) juga ditetapkan dalam rentang 1,558–1,637 juta barel setara minyak per hari (boepd), dengan rincian lifting minyak 605–620 ribu barel per hari dan lifting gas bumi 953 ribu–1,017 juta boepd.
Menariknya, target lifting minyak yang disepakati dalam simpulan rapat berbeda dengan usulan awal Kementerian ESDM yang hanya menargetkan 605–610 ribu barel per hari, mencerminkan harapan DPR agar produksi minyak nasional dapat lebih ditingkatkan demi mendukung ketahanan energi.
Tak kalah penting, rapat juga menyetujui besaran usulan anggaran subsidi listrik dalam RAPBN 2026 sebesar Rp97,37 triliun–Rp104,97 triliun. Angka ini meningkat signifikan dibanding subsidi listrik pada APBN 2025 yang hanya Rp87,72 triliun. Kenaikan ini menandakan komitmen pemerintah dan DPR untuk menjaga keterjangkauan tarif listrik bagi masyarakat.
Sebelumnya, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) juga mengajukan kuota Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan (JBKP) Pertalite untuk RAPBN 2026 pada kisaran 31,229 juta–31,23 juta KL. Usulan tersebut nyaris setara dengan kuota APBN 2025 sebesar 31,23 juta KL. Hingga Mei 2025, realisasi penyaluran Pertalite tercatat 11,6 juta KL, mencerminkan konsumsi masyarakat yang masih stabil meski terdapat wacana pembatasan BBM bersubsidi demi menekan beban fiskal.
Dinamika pembahasan kuota BBM bersubsidi, LPG 3 kg, hingga subsidi listrik pada RAPBN 2026 menunjukkan tantangan pemerintah dalam menyeimbangkan kebutuhan subsidi energi bagi masyarakat dengan kebijakan konversi energi bersih. Kebijakan ini tidak hanya menuntut perencanaan matang, tetapi juga sinergi antara pemerintah pusat, DPR, dan industri energi nasional agar transisi energi dapat berjalan mulus tanpa membebani fiskal berlebihan maupun mengorbankan akses energi rakyat kecil.