KPR

Pekerja Fleksibel Meningkat, Akses KPR Masih Sulit Dijangkau

Pekerja Fleksibel Meningkat, Akses KPR Masih Sulit Dijangkau
Pekerja Fleksibel Meningkat, Akses KPR Masih Sulit Dijangkau

JAKARTA - Ketika pola kerja masyarakat Indonesia mulai bergeser menuju sistem yang lebih fleksibel, sistem pembiayaan perumahan justru masih belum cukup inklusif untuk mengakomodasi perubahan ini. Perubahan lanskap ketenagakerjaan yang tengah terjadi tampaknya belum dibarengi oleh penyesuaian sistem perbankan, khususnya dalam hal penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR).

Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2024 menunjukkan bahwa penyaluran KPR masih mayoritas diperuntukkan bagi kelompok pekerja dengan status tetap dan pendapatan tetap. Hal ini menunjukkan bahwa sistem KPR saat ini masih cenderung menyasar kelompok pekerja formal yang memiliki slip gaji rutin bulanan. Di sisi lain, seiring perkembangan teknologi dan perubahan gaya hidup generasi muda, jumlah pekerja sektor informal dan pekerja lepas (freelancer) terus meningkat, terutama di kalangan usia 25 hingga 34 tahun.

Tren ini diperkuat oleh laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat bahwa pekerja usia muda di sektor informal mengalami peningkatan signifikan dalam lima tahun terakhir. Banyak dari mereka yang bekerja sebagai kreator digital, pengemudi ojek online, pekerja lepas di bidang desain, penulis konten, hingga pelaku UMKM digital.

Sayangnya, meskipun memiliki pendapatan yang cukup layak dan berkelanjutan, kelompok ini masih belum dianggap bankable oleh lembaga keuangan untuk dapat mengakses pembiayaan rumah jangka panjang. Struktur pendapatan yang fluktuatif dianggap sebagai risiko tinggi oleh perbankan, sehingga membuat proses pengajuan KPR bagi pekerja fleksibel menjadi sulit, bahkan tertolak.

KPR Masih Terjebak Pola Lama

Sistem perbankan di Indonesia masih sangat mengandalkan dokumen formal seperti slip gaji, surat keterangan kerja, dan bukti penghasilan tetap bulanan sebagai prasyarat utama pengajuan KPR. Hal ini tentu menyulitkan kelompok pekerja nonformal yang cenderung tidak memiliki dokumen administratif serupa, walaupun penghasilannya mungkin setara atau bahkan lebih tinggi dibanding pekerja tetap.

Kondisi ini memperlihatkan adanya ketimpangan dalam akses terhadap hak dasar berupa kepemilikan rumah. Padahal, di tengah laju pertumbuhan ekonomi digital yang cukup pesat, inklusi finansial semestinya turut menyesuaikan realitas di lapangan.

“Pekerja freelance sering kali dianggap tidak layak hanya karena tidak memiliki slip gaji rutin. Ini memperlihatkan bahwa sistem pembiayaan rumah kita belum mampu menjawab dinamika lapangan kerja yang berubah,” ujar seorang analis keuangan di Jakarta.

Fleksibilitas Kerja Tak Diiringi Fleksibilitas Finansial

Pergeseran minat generasi muda dari pekerjaan tetap ke pekerjaan fleksibel tidak lepas dari keinginan akan kebebasan waktu, lokasi, dan kontrol terhadap penghasilan. Namun, kebebasan tersebut seolah menjadi bumerang saat mereka ingin mengakses layanan keuangan jangka panjang seperti KPR.

Sebagian pekerja freelance bahkan harus mengandalkan sistem cicilan informal, pinjaman dari keluarga, atau sewa jangka panjang karena sulitnya akses ke pembiayaan rumah. Ini jelas tidak sejalan dengan program pemerintah dalam menyediakan hunian terjangkau bagi semua kelompok masyarakat.

Fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa pekerja fleksibel yang berpenghasilan Rp5 juta–Rp10 juta per bulan, tetap menghadapi kendala dalam memenuhi syarat pengajuan KPR, seperti syarat DP minimal 10–15%, jaminan pekerjaan tetap, dan histori kredit di sistem perbankan.

Perlu Inovasi Skema Pembiayaan Baru

Melihat kondisi ini, banyak pihak mendorong agar sistem pembiayaan rumah di Indonesia segera melakukan inovasi. Salah satunya adalah melalui penyusunan skema KPR khusus bagi pekerja nonformal atau fleksibel. Skema ini bisa mengakomodasi model pendapatan yang tidak tetap, dengan sistem analisis risiko yang disesuaikan dan tidak semata mengandalkan dokumen formal.

Beberapa startup di sektor teknologi finansial (fintech) bahkan sudah mulai merancang skema alternatif seperti penggunaan cash flow history digital, data pembayaran dari dompet digital, hingga skor kredit berbasis transaksi e-commerce untuk menilai kelayakan peminjam dari kalangan nonformal.

Pemerintah dan OJK pun mulai terbuka untuk mendukung inisiatif-inisiatif pembiayaan alternatif ini, terutama dalam mendukung inklusi keuangan yang berkeadilan.

“Dengan tingginya proporsi anak muda yang bekerja secara fleksibel, sudah seharusnya sistem pembiayaan perumahan ikut berevolusi,” ungkap seorang pakar perumahan dari Universitas Indonesia.

Menjembatani Realita dan Regulasi

Jika dibiarkan tanpa perubahan kebijakan, maka jutaan anak muda yang produktif di sektor nonformal akan semakin terpinggirkan dari akses terhadap perumahan. Akibatnya, ketimpangan pemilikan rumah di masa depan akan terus melebar, dan urbanisasi yang tak terkendali pun bisa menjadi risiko sosial ekonomi baru.

Langkah awal yang bisa dilakukan adalah dengan mendorong perbankan dan lembaga pembiayaan untuk mengembangkan produk KPR mikro, KPR untuk freelancer, atau mengadopsi pendekatan teknologi dalam proses penilaian risiko. Pemerintah juga bisa memberikan insentif atau subsidi kepada institusi keuangan yang mau membuka akses lebih luas bagi pekerja fleksibel.

Transformasi dunia kerja yang terjadi belakangan ini merupakan keniscayaan. Namun, sistem pembiayaan perumahan di Indonesia belum sepenuhnya mampu menyesuaikan diri dengan kenyataan tersebut. Dominasi penyaluran KPR kepada pekerja tetap menunjukkan bahwa regulasi dan pendekatan yang digunakan oleh lembaga keuangan masih terjebak pada paradigma lama.

Dengan semakin banyaknya anak muda yang memilih jalur karier fleksibel dan mandiri, Indonesia memerlukan sistem pembiayaan yang lebih inklusif, adaptif, dan cerdas dalam menilai kelayakan pemohon KPR. Tanpa perubahan mendasar, impian memiliki rumah bagi generasi muda Indonesia hanya akan menjadi wacana tanpa solusi nyata.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index