JAKARTA - Kebijakan tarif timbal balik yang diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, pada 2 April 2025, telah memicu dinamika baru dalam dunia perdagangan internasional. Tidak hanya mengejutkan komunitas global, langkah ini juga membuka kembali perdebatan panjang tentang praktik penetapan harga transfer (transfer pricing) dan bagaimana negara-negara mengelola kebijakan fiskal mereka dalam sistem ekonomi yang semakin terkoneksi secara digital dan global.
Langkah yang diambil oleh pemerintahan Trump secara garis besar bertujuan untuk menyeimbangkan kembali neraca perdagangan Amerika Serikat dengan sejumlah negara yang selama ini dinilai memberi dampak negatif terhadap industri domestik AS. Inti dari kebijakan tersebut adalah pengenaan tarif tambahan terhadap produk dari negara-negara tertentu yang dituduh mengeksploitasi akses pasar AS secara tidak adil.
Meskipun kebijakan ini kemudian ditangguhkan selama 90 hari mulai 9 April 2025, sebagai hasil dari tekanan diplomatik dan negosiasi intensif, respons dari pasar dan para pelaku usaha global sudah menunjukkan ketegangan yang nyata. Keputusan lebih lanjut yang diambil pada 14 Mei 2025, yakni pengurangan tarif secara bilateral antara AS dan Tiongkok, dinilai oleh banyak pihak sebagai solusi sementara yang tidak menjawab persoalan struktural yang lebih dalam.
Menurut kesepakatan tersebut, tarif AS terhadap produk Tiongkok dipangkas dari 145% menjadi 30%, sementara tarif Tiongkok terhadap produk AS dipotong dari 125% menjadi 10%, berlaku selama masa tenggang 90 hari. Kesepakatan ini menjadi semacam "gencatan senjata" dalam perang dagang, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar dari para analis pajak dan regulator global: apa konsekuensi jangka panjang kebijakan ini terhadap sistem perpajakan internasional dan metodologi transfer pricing antarperusahaan multinasional?
Transfer Pricing: Titik Tekan Baru dalam Perang Dagang?
Transfer pricing, atau penetapan harga antarperusahaan afiliasi lintas negara, merupakan salah satu aspek paling krusial dalam sistem perpajakan internasional. Ketika perusahaan multinasional memindahkan barang, jasa, atau aset tak berwujud antar cabang di berbagai negara, mereka harus menentukan harga transfer internal yang sesuai dengan prinsip kewajaran atau arm’s length principle.
Dalam konteks ini, tarif tinggi yang diberlakukan oleh AS bisa menjadi alat tekanan untuk memaksa perusahaan mengubah rantai pasoknya, termasuk cara mereka menyusun struktur pajak dan harga transfernya. Ketika tarif meningkat secara sepihak dan tajam, insentif perusahaan untuk tetap memindahkan produk antar negara dengan menggunakan harga internal menjadi berkurang. Akibatnya, struktur global perusahaan multinasional pun ikut terpengaruh.
Muncul kekhawatiran bahwa kebijakan semacam ini, jika diterapkan secara luas oleh negara lain sebagai bentuk balasan atau kebijakan serupa, akan mendorong distorsi dalam alokasi laba perusahaan lintas negara, mengganggu efisiensi ekonomi, dan menciptakan ketidakpastian dalam penerapan prinsip pajak internasional yang selama ini dikembangkan oleh OECD dan G20 melalui proyek BEPS (Base Erosion and Profit Shifting).
Lebih jauh, kebijakan tarif seperti ini juga membuka kemungkinan konflik antar yurisdiksi pajak. Negara-negara berkembang bisa merasa dirugikan karena pengalihan basis pajak, sementara negara-negara maju seperti AS merasa perlu memproteksi basis ekonominya dengan langkah-langkah sepihak. Ketidakseimbangan ini dapat memicu disintegrasi pendekatan multilateral dalam perpajakan global.
Dampak Sistemik terhadap Pajak Global
Meski kesepakatan AS–Tiongkok sementara meredakan ketegangan, banyak ahli melihat bahwa ini bisa menjadi preseden berbahaya. Negara-negara lain mungkin akan mengikuti jejak AS dalam mengatur kebijakan tarif berdasarkan neraca perdagangan bilateral, bukan atas dasar kesepakatan bersama. Bila ini terjadi, maka akan muncul tekanan tambahan terhadap:
Negara-negara dengan porsi ekspor besar ke AS.
Perusahaan yang mengandalkan optimalisasi pajak melalui struktur multinasional.
Lembaga internasional yang selama ini berfungsi sebagai pengatur dan mediasi (seperti OECD dan WTO).
Situasi ini juga memperumit perjanjian bilateral tentang penghindaran pajak berganda (tax treaty). Tarif tinggi bisa memaksa negara-negara merevisi kesepakatan sebelumnya, karena struktur tarif bisa mengganggu prinsip dasar kesetaraan perlakuan dalam perjanjian perpajakan internasional.
Dalam hal ini, muncul desakan bagi komunitas internasional untuk memperkuat sistem kerjasama lintas negara dalam:
Reformasi harga transfer yang lebih adil.
Penetapan batasan atas tarif unilateral.
Penerapan sistem pelaporan pajak global yang lebih transparan seperti CbCR (Country by Country Reporting).
AS dan Tiongkok: Akankah 90 Hari Jadi Awal Reformasi atau Awal Kekacauan Baru?
Dengan hanya 90 hari sebagai masa tenggang, pertanyaannya bukan hanya soal apakah kesepakatan bisa diperpanjang, tetapi lebih kepada bagaimana dua kekuatan ekonomi terbesar dunia ini akan memanfaatkan waktu tersebut: apakah untuk membangun kesepahaman jangka panjang, atau sekadar meredam gejolak politik dan pasar sementara?
Jika tidak diikuti dengan kerangka kerja permanen yang berpihak pada stabilitas perdagangan dan sistem perpajakan global, maka langkah-langkah tarif semacam ini berpotensi menjadi bom waktu yang bisa mengguncang fondasi sistem ekonomi global.
Kebijakan tarif timbal balik yang diinisiasi oleh Presiden Trump pada April 2025 bukan hanya soal ekspor-impor, tetapi tentang ujian besar terhadap tatanan ekonomi global, termasuk sistem pajak internasional. Dalam lanskap perdagangan modern yang sarat dengan hubungan antarperusahaan lintas negara, perubahan dalam tarif bisa berimbas langsung pada praktik transfer pricing, struktur pajak, dan strategi global perusahaan.
Negara-negara, lembaga internasional, dan pelaku usaha kini dihadapkan pada pilihan penting: beradaptasi dengan sistem yang lebih nasionalistik dan proteksionis, atau bersama-sama membangun kerangka kerja baru yang adil, transparan, dan berkelanjutan untuk pajak dan perdagangan global.